KEJADIAN
Kitab Kejadian dibagi
menjadi 2 bagian:
1. Kej. 1-11 : Penciptaan
dan putusnya hubungan manusia.
2. Kej. 12-50 : Panggilan
kepada Abraham dan perjanjian kepada dirinya dan keturunannya.
Penulis: Musa
Waktu penulisan : Zaman
Musa
Tujuan Penulisan: Untuk
mengetahui tujuan penulisan, maka kita harus mengajukan pertanyaan-pertanyaan
mengenai konteks.
Analisa
Kejadian 1-11: Penciptaan & Putusnya Hubungan Manusia
Konteks Sastra
Apabila isi dan susunan Kejadian 1-11
diperhatikan dengan saksama, banyak hal yang
dapat diamati yang akan menolong kita menentukan jenis sastra yang dipakai,
meskipun sebagian besar masalah tetap ada. Dalam pasal-pasal ini terdapat dua jenis sastra yang sangat berbeda, masing-masing dengan gaya dan kaidahnya.
Jenis sastra yang
pertama (meliputi Kej 1; 5; 10; 11:10-26) mempunyai ciri khas, yaitu susunan logis yang cermat
dan bersifat skematis serta hampir mengikuti rumusan tertentu. Sebagai contoh,
Kejadian 1 terdiri atas rangkaian
yang mempunyai susunan kalimat-kalimat ringkas yang hampir seperti rumusan; bagian-bagiannya dapat diuraikan dengan mudah.
Setiap perintah penciptaan terdiri atas:
kata pemberitahuan yang bersifat pengantar, "Allah
berfirman" (1:3,6,9,11,14,20,24,26). kata
perintah penciptaan, "Jadilah" (1:3,6,9,11,14-15,20,24,25). kata
rangkuman mengenai penyelesaian "dan jadilah demikian" (1:3,7,9,11,15,24,30). kata
penjelasan mengenai penyelesaian "Allah menjadikan", "bumi mengeluarkan"
(1:4,7,12,16-18,21,25,27). kata
penjelasan mengenai nama atau berkat, "Allah menamai", "Allah
memberkati" (1:5,8,10,22-30). kata
penilaian, "Allah melihat bahwa
hal itu baik" 1:4,10,12,18,21,25,31).
A kata penutup tentang waktu,
"Jadilah petang dan jadilah pagi itulah
hari" (1:5,8,13,19,23,31).
Meskipun setiap perintah
penciptaan mengikuti skema yang disengaja dan seragam dengan ungkapan-ungkapan yang sama, namun tidak memberi kesan
yang membosankan oleh karena susunan, panjangnya dan adanya unsur-unsur ini
cukup bervariasi.
Penataan perintah-perintah
tersebut mengikuti susunan yang ketat,
yang secara nyata dibagi dalam dua kurun waktu. Pertama, penciptaan
dan pemisahan unsur-unsur kosmos, mulai dari hal yang umum sampai hal yang khusus (empat perintah pertama, ay
1-13). Kedua, pengaturan kosmos,
dari yang tidak sempurna menjadi yang paling sempurna (empat perintah kedua, ay 14-31). Riwayat penciptaan itu memuncak pada perintah kedelapan, yaitu
penciptaan manusia. Kejadian 1 ini
sesungguhnya bukanlah kisah, tetapi laporan serangkaian perintah yang disusun dengan saksama. Demikian
juga dengan Kejadian 5 dan Kejadian 11:10-32 yang
merupakan silsilah yang disusun secara saksama dengan struktur yang sama diulangi untuk setiap generasi. Dan Kejadian 10 merupakan daftar bangsa-bangsa
dengan ciri yang bersifat skematis
pula.
Jenis sastra yang kedua (Kejadian 2 - 3; 4; 6 - 9; 11:1-9) jelas berbeda. Di sini juga
terdapat keteraturan dan peningkatan tetapi yang dipergunakan adalah bentuk
cerita. Kejadian 2-3 umpamanya, membentuk kisah yang sangat indah, suatu karya sastra
yang hampir-hampir merupakan suatu drama. Tiap adegan digambarkan secara
luas dengan memakai banyak lambang.
Pengarang mencintai antropomorfisme yang naif, tetapi ekspresif. Tuhan Allah tampil sebagai salah satu tokoh dalam
drama itu. Ia bagaikan seorang penjunan (2:7,19),
tukang kebun (ay 8), ahli bedah (ay 21) dan
pemilik tanah yang penuh damai (3:8).
Perbedaan-perbedaan dalam konsep dan kaidah sastra antara Kejadian 1 dan 2 juga ditemukan dalam cara yang
berbeda untuk mengungkapkan penciptaan.
Keduanya menggunakan istilah umum asa 'membuat', tetapi Kejadian 1 menggunakan kata bara
'menciptakan', sebuah kata
kerja yang hanya digunakan dengan Allah sebagai subyek dan tidak pernah dihubungkan dengan bahan yang
digunakan untuk menciptakan obyek. Kejadian 2
memakai istilah yatsar 'membentuk',
istilah teknis untuk kegiatan seorang
penjunan yang membentuk tanah liat menjadi bentuk yang dikehendakinya.
Kedua kata kerja ini memainkan peranan penting dalam menggambarkan cara penciptaan. Kejadian 1 menyatakan dengan singkat, "Allah menciptakan
manusia menurut gambarNya ... laki-laki dan perempuan diciptakanNya
mereka" (ay 27). Dalam Kejadian 2 Tuhan Allah adalah penjunan yang membentuk manusia dari
tanah, "menghembuskan nafas" kehidupan ke dalam lubang hidungnya dan "membangun" perempuan
dari tulang rusuk laki-laki.
Dalam Kejadian 1 Allah menciptakan dengan firman-Nya,
dalam Kejadian 2 dengan perbuatan-Nya.
Dalam pandangan dunia Yahudi pengertian "kata" dan "perbuatan" tidak dibedakan dengan teliti
atau berdiri sendiri-sendiri, sehingga perbedaan ini bukan merupakan
pertentangan (keduanya menggambarkan Allah secara antropomorfis). Keduanya menekankan
dengan jelas aspek-aspek yang saling mengisi dari karya Allah dalam penciptaan.
Unsur sastra juga terdapat dalam nama-nama yang digunakan. Kesesuaian antara nama dan peranan orang sering
menarik perhatian. Adam berarti 'manusia’ dan Hawa adalah '(ia yang
memberi) hidup.’ Bila pengarang
memberi nama Manusia dan Kehidupan kepada kedua tokoh utamanya, pastilah ia
hendak menjelaskan bahwa kisah itu tidak dimaksudkan
secara harfiah semata-mata. Kain berarti 'pandai besi'; Henokh dihubungkan dengan 'pengabdian' (4:17;
5:18); Yubal dihubungkan dengan alat
tiup dan terompet (4:21); sedangkan
Kain dikutuk menjadi nad, seorang 'pengembara' yang mengembara dan hidup di tanah Nod, suatu nama yang jelas berasal dari
akar kata Ibrani yang sama, sehingga artinya
adalah tanah pengembaraan!
Hal-hal di atas memberi kesan bahwa .pengarang menulis sebagai seorang seniman, seorang pembawa cerita
yang menggunakan gaya dan seluk-beluk sastra. Kita harus berusaha keras untuk
membedakan apa yang hendak diajarkan oleh
pengarang dengan bentuk-bentuk sastra yang digunakannya.
Konteks Historis
Latar Belakang Timur Dekat Kuno, khususnya Mesopotamia
melatarbelakangi kisah penciptaan dalam Kejadian 1. Kejadian
11:1-9. Kisah ini khusus terjadi di Babel (ay 2). Bahan bangunan yang dipakai adalah bahan yang biasa dipakai di
Mesopotamia. Pengarang menyebut keunikannya dengan nada menghina (ay 3).
Menara tersebut jelas menunjuk kepada
ziggurat, bentuk kuil yang paling khas di Mesopotamia,
yakni gunung buatan yang tangga-tangganya terbuat dari tanah liat (ay 4). Kota itu dinamai Babel,
mencerminkan nama Bab-ill 'Gerbang Tuhan' (ay 9).
Persamaan dan kesejajaran
ini tidak membuktikan apa-apa selain sumber-sumber yang sama antara kisah Alkitab dan kisah dari Mesopotamia. Bukti-bukti tersebut jelas tidak
memperlihatkan ketergantungan langsung.
Kisah-kisah Kitab Kejadian dalam bentuknya sekarang tidak kembali ke tradisi Babel. Sebaliknya, meskipun ada persamaan
yang dekat seperti dalam kisah air bah, semua bukti itu hanya memberikan kesan tentang pengaruh atau suasana kebudayaan yang umum. Hal itu hanya membuktikan bahwa kisah
Alkitab bergerak dalam lingkungan pemikiran yang sama. Dan penulis Alkitab yang mendapat ilham Allah dan menulis riwayat zaman permulaan
mengetahui serta menimba bahan dan cara
bercerita yang menjadi bagian kebudayaan dan tradisi sastranya.
Isi (Pesan Teologis)
Kalau kita menyelidiki dari segi studi kata (word study), maka ada kata-kata kunci yang
terus menerus diulang dalam Kej. 1-11, yaitu: Allah, dosa, penghakiman, dan
anugerah.
Dari sini kita mendapatkan tujuan dari penulisan
kitab kejadian 1-11, yaitu:
1.
Allah sebagai Pencipta
2.
Masalah dosa
3.
Penghakiman Allah atas dosa
manusia
4.
Anugerah Allah yang tidak
berkesudahan
Jadi, jelaslah bahwa maksud
utama kisah zaman permulaan adalah bersifat teologis, sehingga kita perlu
memperhatikan beritanya lebih jelas. Penulis menjalin empat tema teologis utama
dalam pola yang berulang-ulang dan berkesinambungan:
pertama, hakikat dan dampak-dampak dari kenyataan
bahwa Allah adalah Pencipta; kedua, akibat dosa yang mendalam; ketiga, cara Allah menjatuhkan hukuman atas
dosa manusia dalam segala hal; dan
keempat, anugerah-Nya yang mengherankan yang memelihara ciptaan-Nya.14
(Analisis ini mengikuti von Rad (1972: him. 152
dst.). Lihat juga Clines (1979: him. 61-79).
Von Rad mendasarkan pandangannya atas riwayat-riwayat
itu, sementara Clines memperluas analisisnya sampai sisa bahan dari Kejadian
1 - 11. la berusaha untuk memperlihatkan bahwa
tema "penciptaan - penghancuran - penciptaan
kembali" juga terdapat dalam
bahan itu. Ia menarik kesimpulan sebagai berikut: "Betapapun hebatnya dosa manusia . . . anugerah Allah tidak pernah gagal untuk melepaskan manusia dari akibat-akibat dosanya. Bahkan ketika manusia diberi
kesempatan mulai lagi dan mereka…..”
a.
Allah sebagai Pencipta
Dalam Kejadian 1:1 - 2:4a penulis memakai bahasa
Ibrani dengan keindahan yang mempesona untuk
menegaskan bahwa segala sesuatu ada semata-mata
karena perintah dan kuasa Allah. Dengan demikian, ia
menolak pandangan dunia yang keliru pada
zamannya, yang sangat ber beda
dengan masa kini.
Pada zaman dahulu orang
memandang alam dan kekuatan-kekuatannya
sebagai makhluk-makhluk ilahi. Manusia dan alam dipahami dengan cara yang berbeda. Gejala alam dipandang
menurut pengalaman manusia.
Manusia hidup di dunia yang bersifat sangat pribadi di mana semua benda dianggap berjiwa (lihat
Frankfort dkk. 1949: hlm. 11-36). Karena itu, ilah-ilah
memiliki banyak pribadi dan biasanya pribadinya teratur dan seimbang. Tetapi kadang-kadang pribadinya berubah-ubah, tidak stabil dan sangat
menakutkan. Pandangan seperti inilah yang ditolak oleh
penulis Kejadian 1 dengan menegaskan, "Pada mulanya Allah menciptakan
langit dan bumi" (ay 1).
Dalam pandangannya, alam diciptakan atas perintah Allah. Allah ada sebelum alam ini ada
dan tidak bergantung padanya. Matahari, bulan, bintang-bintang dan
planet-planet yang dianggap orang Babel
sebagai dewa-dewa yang mengatur peristiwa-peristiwa
dalam hidup manusia, sama sekali tidak disebut. Benda-benda angkasa itu hanyalah penerang yang menyinari bumi (ay 16-18). Laut dan darat tidak lagi merupakan
ibu dunia yang melahirkan hal-hal
yang lain, melainkan ditempatkan pada keadaan sebenarnya (ay 10).
Penulis tidak menganggap
alam sebagai ilah, karena pendewaan terhadap alam menuju politeisme.
Pemikiran Yunani juga
menyimpang dari konsepsi politeis ini. Filsuf-filsuf Yunani memandang pemikiran rasional dan spekulatif lebih unggul daripada pemikiran yang intuisional dan kabur. Dengan
demikian, mereka meninggikan nalar, proses
pemikiran manusia.
Sebagai ganti ilah-ilah mitologis adalah alam yang terwujud
dalam berbagai realitas dunia. Akibatnya, untuk
orang banyak, Allah sepenuhnya digeser dari alam dan menghilang dari ufuk realitas sama sekali. Terhadap pandangan dunia yang demikian, penulis Kitab Kejadian juga
berbicara dengan menegaskan bahwa Allah
adalah Pencipta, yang ada sebelum dan di atas ciptaan-Nya;
kepada-Nyalah bergantung semua ciptaan dan kepada-Nya semua ciptaan akan
bertanggung jawab.
Penulis Kejadian 1
mempergunakan kata Ibrani bara 'menciptakan', suatu kata
dalam Perjanjian Lama yang hanya dipakai untuk Allah saja tanpa menyebut sama sekali bahan yang dipakai
untuk menciptakan. Kata ini
menggambarkan pekerjaan yang tidak ada kesamaannya dengan pekerjaan
manusia dan tidak dapat diterjemahkan dengan istilah seperti
"membuat" atau "membangun". Dengan demikian pasal ini
melukiskan jenis pekerjaan yang hanya dapat
dilakukan oleh Allah saja. Hanya Allah yang
menciptakan, sebagaimana hanya Allah yang menyelamatkan.
Unsur yang sangat penting
dalam Kejadian 1 ialah adanya penegasan
bahwa dunia ciptaan Allah itu baik (ay 4,10,12,18,21,25,31). Ringkasan akhir (ayat 31), "Maka Allah
melihat segala yang dijadikanNya itu, sungguh amat baik" memperlihatkan dengan jelas bahwa bahasa pasal itu singkat, biasa dan tidak berlebih-lebihan.
Allah tidak menaruh kejahatan apa pun di dunia ciptaan-Nya. Dunia mempunyai nilai yang agung,
tetapi hanya karena Allahlah yang menciptakannya. Ajaran tentang kebaikan ciptaan yang asli, termasuk manusia,
penting sekali secara teologis. Pertama,
ajaran itu mempersiapkan jawaban untuk pertanyaan tentang apa yang mengganggu keteraturan yang baik ini - yaitu
dosa. Kedua, ajaran itu mempersiapkan penegasan Alkitab jauh
di kemudian hari bahwa semuanya nanti akan dipulihkan seperti semula
pada akhir zaman. Yakni, pada waktu Allah akan melihat bahwa semua yang telah diciptakan-Nya sangat baik adanya, karena akan ada
"langit baru dan bumi baru"
(Why 21:1).
Akhirnya, puncak tertinggi
dari penciptaan ini adalah manusia (Kej 1:26-28). Rumusan
yang sama dan berulang tidak dipakai lagi di sini. Penulis memperkenalkan penciptaan manusia dengan mengumumkan keputusan Allah, "Marilah Kita menjadikan
manusia". Hanya di sinilah sang
penulis meninggalkan prosa yang dirancangnya dengan teliti dan dipakai berulang-ulang. Dengan demikian, penulis memperlihatkan keindahan
dan kekuatan paralelisme puisi Ibrani:
"Allah menciptakan manusia itu menurut
gambarNya,
Menurut gambar Allah diciptakanNya dia,
Laki-laki dan perempuan diciptakanNya mereka" (ay 27).
Pemakaian kata bara 'menciptakan' sebanyak tiga kali dan adanya perbedaan gaya sastra yang tajam dalam ayat ini, menandakan bahwa inilah
puncak yang hendak dituju oleh pasal ini.
Ayat-ayat sebelumnya menggambarkan
tahap-tahap penciptaan yang selalu meningkat setiap kali perintah
penciptaan diberikan dan dilaksanakan.
Hubungan manusia yang unik dengan Allah dari antara ciptaan-Nya yang
lain, dinyatakan dengan sengaja dalam
ungkapan yang samar-samar, "gambar dan rupa Allah". Latar belakang pemilihan kata-kata ini pastilah
berkenaan dengan sikap Perjanjian Lama yang tegas dan adanya larangan khusus
terhadap usaha untuk menggambarkan Allah dalam rupa apa pun. Dengan demikian ungkapan ini merupakan ungkapan
yang paling dekat yang dapat dipakai
penulis untuk menempatkan manusia dalam hubungan khusus dengan Allah, yang membedakannya dengan ciptaan lainnya. Khususnya karena kata tselem 'gambar'
dijelaskan lebih lanjut dan tepat oleh kata demut 'rupa' (1:26).
Dalam teks Ibrani tidak ada kata penghubung
"dan" di antara kedua kata itu, sehingga bagian yang kemudian
mendefinisikan lebih jelas bagian yang terdahulu. Dan kedua kata tersebut secara bersama-sama berarti 'menurut
gambaran yang serupa tetapi tidak sama'.
Dengan latar belakang ini dan latar belakang kesusastraan Timur Dekat Kuno pada
umumnya di mana dewa membuat manusia dalam
bentuk ilahi, maka tafsiran yang mengerti "gambar" disini hanya dalam
arti rohani atau moral manusia,
haruslah ditolak. Sebenarnya, maksud penulis
dalam mempergunakan konsep ini tampaknya jauh lebih bersifat fungsional daripada konseptual. Ia lebih menaruh minat pada akibat-akibat pemberian itu daripada sifatnya.
Keserupaan itu bersifat dinamis, yakni
manusia (adam) dalam hubungan pribadinya dengan makhluk-makhluk lain menjadi wakil Allah. la diberi hak
untuk menyelidiki, menguasai dan
mempergunakan segala sesuatu di sekitarnya. Hal ini diperlihatkan paling jelas dalam kalimat berikut, "dan biarlah
mereka berkuasa atas . .
.". Karena mereka adalah gambar dan
rupa Allah, maka laki-laki dan perempuan memerintah dunia atas nama
Allah. Ini serupa dengan gambaran seorang
maharaja yang menunjuk pelaksana-pelaksana dalam daerah kekuasaannya dan mendirikan patung dirinya, sehingga
rakyatnya mengetahui siapa yang memerintah mereka.
Kejadian 2 juga menggambarkan penciptaan, tetapi
dengan gaya yang sangat berbeda dengan Kejadian 1. Kejadian
1 berisi serangkaian perintah, sedangkan Kejadian 2 - 3 mengisahkan sebuah cerita dengan gambaran yang indah berupa lambang dan perumpamaan untuk mengemukakan kebenaran teologisnya.
Ada pandangan yang menonjolkan perbedaan-perbedaan
dalam pasal-pasal tersebut seakan-akan ada dua. Jadi dari ayat 24 disimpulkan
bahwa penciptaan perempuan menerangkan
mengapa seorang laki-laki memutuskan hubungan dekatnya dengan orang tuanya untuk menjadi satu dengan
istrinya, sama seperti asal mulanya. Meskipun
"daging" di sini tidak menyebut salah satu bagian tubuh manusia melainkan manusia seutuhnya, namun
ada tekanan atas segi jasmani yang
kelihatan, sehingga di sini segi jasmani dari perkawinan diakui (bnd. Ef 5:31).
Demikianlah penulis memulai kisahnya dengan makna
dan pentingnya penciptaan. Yang
ditekankan ialah keutuhan dan keteraturan dunia yang diciptakan.
b.
Masalah Dosa
Setelah dalam Kejadian 1 berulang kali dikatakan,
"Allah melihat bahwa semuanya itu baik" dalam Kejadian 2 - 3 diperlihatkan bagaimana dosa mulai merusak dunia ciptaan Allah itu.'
Berlawanan dengan Kejadian 1 yang mengajarkan kebenaran-kebenaran teologis
tentang mengapa ada dunia, Kejadian 2 - 3 berbicara tentang mengapa dunia penuh dengan penyelewengan, akibat pengaruh jahat secara fisik
dan moral. Penyelewengan ini merupakan
pengalaman yang mau tak mau dialami sesudah orang menjadi dewasa, menjalani
hidupnya sendiri dan harus bergumul
dengan kejahatan manusia terhadap sesamanya, sikap bermuka dua dalam diri sendiri, dan akhirnya, kematian.
Kejadian 2 - 3 seluruhnya didominasi oleh masalah ini. Bagaimana hal
tersebut dapat dihubungkan dengan kebaikan,
keadilan dan kasih Allah serta dengan kebenaran bahwa segala sesuatu bersumber dari Allah? Kitab ini menunjukkan bahwa tidak ada kesinambungan yang
sempurna antara dunia sebagaimana dialami manusia
dan dunia seperti yang semula diciptakan Allah. Allah menciptakan dunia dalam keadaan baik, tetapi manusia merusaknya melalui pemberontakannya. Jadi
Kejadian 2 - 3 menggambarkan manusia,
terutama sebagai orang yang berdosa.
Pengarang memulai gambarannya tentang dunia
sebagai dunia yang sempurna, sesuai dengan
pengertiannya tentang Allah sebagaimana dinyatakan dalam seluruh sejarah Israel. Inilah makna taman Eden dalam Kejadian 2. Lalu dalam Kejadian 3 is menempatkan
pula dunia seperti yang dialami manusia,
terpecah belah, terasing dan penuh kekacauan. Bukan Allah, melainkan
manusialah, yang harus dipersalahkan untuk kenyataan yang berbeda ini. Di Eden (2:8-17), manusia hidup dalam taman yang penuh pohon-pohon dan kesuburan.
Semuanya berada dalam keselarasan, mulai dari
bentuk kehidupan yang tertinggi sampai yang terendah. Manusia dan hewan hanya
mempergunakan tanaman sebagai makanan.
Meskipun ada tugas yang harus dilaksanakan (ay
15), namun tidak ada pergumulan atau
kesakitan untuk memperoleh rezeki dari bumi yang sukar ditundukkan. Semak duri dan onak tidak ada. Jadi, ada sesuatu yang tidak sesuai dengan kenyataan
tentang taman Eden, karena pengarang
tidak berusaha menggambarkan dunia seperti yang dialami manusia. Sebaliknya is menggambarkan suatu dunia
yang sempurna, yang mencerminkan keadaan rohani
manusia yang hidup dalam damai dan bersekutu dengan Allah. Untuk itu pengarang mengambil contoh dari dunia
seperti yang dialami manusia dengan menghilangkan semua hal yang buruk dan tidak menyenangkan, baik fisik
maupun mental. Kesemuanya itu menyatakan
keadaan manusia yang tidak bersalah. Dosa belum ada pada waktu itu.
Di tengah taman itu ada dua pohon, pohon
kehidupan dan pohon pengetahuan tentang baik
dan jahat. Pohon yang kedua telah banyak dibahas, karena kisah berikutnya tidak membuat maknanya menjadi jelas.
Pengarang memang sengaja bercerita secara samar-samar. Meskipun demikian, dari kisah pada bagian lainnya (2:16a;
3:3-7,22) diketahui bahwa pohon itu melambangkan
kebebasan penuh untuk memilih yang baik atau jahat. Dengan memakan buah pohon itu, pasangan manusia pertama bermaksud menjadi "seperti
Allah" (3:5,22), yakni dengan menentukan untuk dirinya sendiri
apa yang baik dan buruk. Mereka ingin memiliki otonomi moral, menentukan
sendiri apa yang baik dan jahat dan dengan demikian merampas hak ilahi.
Otonomi moral tersebut dinyatakan dalam Kejadian
3 melalui kelicikan ular. Tipu
muslihatnya menyebabkan perempuan itu meragukan pertama-tama firman Allah (ay 1) dan kemudian kebaikan-Nya (ay 4a). Dengan melihat pohon itu dari sudut pandang yang
berbeda sama sekali (ay 6), ia mengambil buahnya
dan memakannya, lalu hal itu diikuti oleh laki-laki pula. Begitu sederhana yang
dilakukannya "ambil . . . dan makan", tetapi begitu drastis akibatnya: manusia kehilangan keadaan
tak bersalah untuk selamanya. Begitu hebat kehancurannya sehingga Allah sendiri harus merasakan kemiskinan dan kematian
sebelum ungkapan "ambil dan makan"
tersebut menjadi kata kerja yang menyangkut keselamatan (Kidner 1967: hlm. 68).
Selanjutnya, pengarang melukiskan dimensi-dimensi
baru mengenai hubungan manusia dengan
Allah. Sesudah ini, disampaikan
cerita air bah (Kej 6:5-8) yang sangat berbeda sumber dan bentuknya. Dalam semua bagian cerita terdahulu, pengarang telah mengambil alih tradisi yang ada. Meskipun ia
mengambilalih, mengubah dan acapkali
menentang pandangan tentang Allah dan manusia
yang terkandung di dalam tradisi-tradisi itu, ia tetap mempergunakan bahan tradisional. Ini
berarti bahwa penulis tidak menciptakan rincian, lambang dan kiasan yang baru dalam ceritanya,
melainkan menggunakan tradisi-tradisi sastra tentang asal usul dunia yang terdapat dalam kebudayaannya di Timur Dekat Kuno.
Situasi dalam Kejadian 6:5-8 sangat berbeda, sebagaimana terlihat sekilas dari bahannya. Selanjutnya pengarang
menggambarkan fakta tentang dosa yang
menyebar dengan cepat, namun sekarang
ia mengemukakan suatu keputusan teologis dari Allah sendiri tentang manusia serta dosanya yang menyedihkan
sebagaimana telah dikemukakan sebegitu jauh.
Dengan demikian, cerita ini memperlihatkan bahwa tema teologis yang utama dalam cerita-cerita itu adalah “sifat
dosa yang radikal.” Hal ini juga
merupakan salah satu pokok utama cerita air bah yang panjang. Dosa manusia sedemikian
dahsyat dan mengerikan sehingga Allah
tidak mempunyai pilihan selain menghapus ciptaan-Nya dan memulai lagi dengan Nuh, seorang yang tulus
hati dan jujur dalam generasinya.
Akhirnya, pengarang menutup riwayat zaman
permulaan dengan kisah menara Babel (11:1-9). Di sini ia melukiskan
kehidupan manusia dalam masyarakat
yang tidak berpindah-pindah tetapi menetap dalam keadaan beradab. Mereka mendirikan sebuah kota dan menara, tetapi tujuan mereka didorong oleh nafsu untuk menjadi
termasyhur dan berkuasa, "Marilah
kita cari nama, supaya kita jangan terserak ke seluruh bumi" (ay 4). Penilaian Allah terhadap
situasi ini (ay 6) menyoroti kecenderungan
jahat dalam usaha manusia. Di sini pengarang melukiskan masyarakat yang
memberontak terhadap Allah. Dosa tidak
hanya merusak orang perorangan secara
radikal, tetapi juga masuk ke dalam struktur
dan kesatuan masyarakat yang melekat pada kekuasaan dan penguasaan yang
dimilikinya. Dengan demikian, tema utama yang terjalin melalui Kejadian 1 - 11 adalah
dalamnya dosa yang radikal, yang telah merusak karya Allah yang baik
sejak awal pemberontakan manusia.
c. Penghakiman Allah atas dosa manusia
Dalam setiap kisah
tersebut, dosa manusia diperhadapkan dengan penghakiman Allah. Dalam kisah taman Eden, Allah menghakimi pertama-tama ular (Kej 3:14-15), lalu
perempuan (ay 16) dan akhirnya laki-laki (ay 17-24). Penghakiman itu berupa keadaan di mana laki-laki atau perempuan harus hidup dalam dunia yang sudah
diwarnai oleh dosa dan kejatuhan.
Ular menjadi makhluk melata yang hina, menjijikkan dan ditakuti manusia.
Dalam ayat 15, pertempuran
berlarut-larut antara manusia dan ular dengan
jelas melambangkan perjuangan berat yang tak mengenal kasihan antara manusia dan kuasa jahat dalam dunia. Dan ini telah menjadi keadaan yang tetap sejak saat itu
hingga kini. Ayat ini sebenarnya hanya mengungkapkan penghakiman atas
ular saja, sebagaimana tampak dalam
perbandingan tiga pasang pertentangan yang terdapat dalam dua bagian utama ayat tersebut. Ayat 15a menempatkan ular berlawanan
dengan perempuan dan keturunan ular berlawanan dengan keturunan perempuan. Tetapi, ayat 15b menempatkan keturunan perempuan berlawanan dengan ular itu sendiri, bukan
dengan keturunan ular. Jadi, seteru sesungguhnya adalah ular taman Eden, yang
digambarkan sebagai kuasa rohani yang
selalu bertentangan dengan keturunan perempuan.
Dengan demikian, pengarang menyatakan dengan jelas bahwa keturunan perempuan akan berperang tanpa berkesudahan melawan kuasa jahat yang memperbudak, yang dilambangkan
oleh ular. Dalam arti luas, pengarang
menunjuk pada kemenangan yang akan menjadi milik mereka kelak. Di sini tidak dinyatakan dengan jelas bahwa hal itu akan terjadi
melalui seorang yang mewakili manusia. Tetapi kemungkinan itu ada karena keturunan perempuan itu secara kolektif
disebut dengan kata ganti
"dia". Orang-orang Kristen dengan tepat menerjemahkan pengharapan
yang tak dijelaskan ini bahwa realisasinya telah tercapai dalam kemenangan Kristus atas dosa dan maut (bnd. Luk
10:17-20).
Yang penting diperhatikan ialah mengenai penghakiman
atas laki-laki dan perempuan. Perempuan dan
laki-laki dihukum tetapi tidak dikutuk,
hanya ular saja yang dikutuk. Meskipun demikian, seperti halnya dengan ular, hukuman yang dijatuhkan atas
laki-laki dan perempuan adalah keadaan di mana mereka harus hidup dalam dunia
yang telah jatuh ke dalam dosa.
Perempuan harus melahirkan
anak dengan kesakitan dan bergantung pada suaminya yang berkuasa atasnya. Laki-laki harus mendapat rezekinya dengan kerja keras
dari keringat, dari bumi yang tak mudah diolah.
Dan pada akhirnya melalui kematian, ia kembali pada tanah yang menjadi asalnya.
Keputusan-keputusan ini
memperlihatkan adanya pengaruh budaya dan mencerminkan lingkungan sosial serta pranata-pranata masyarakat Israel kuno karena merekalah yang merumuskan
keputusan-keputusan itu di bawah ilham Allah. Hal
ini secara khusus dicerminkan oleh kedudukan perempuan yang merupakan milik suaminya pada zaman dahulu. Oleh karena
itu, kita tidak perlu memanfaatkan ayat 16 untuk membuktikan bahwa istri harus
mengabdi pada suaminya sebagaimana kita tidak perlu memanfaatkan ayat 17-19 untuk membuktikan bahwa
laki-laki harus menggarap tanah sambil bermandi keringat dan
tidak boleh memakai alat pendingin. Keadaan
yang dilukiskan itu merupakan akibat dosa, bukan akibat rencana Allah yan semula
bagi ciptaan-Nya. Kita berusaha mengalahkan dosa dan karena itu akibat-akibat buruk
yang dihasilkan oleh dosa dalam dunia ini tidak harus menjadi norma untuk
kehidupan kita.
Sebagai hukuman lebih
lanjut atas dosa laki-laki dan perempuan Allah mengusir
keduanya dari taman Eden dan menutup jalan kembali ke taman itu. Dengan usahanya sendiri, manusia tidak akan memperoleh jalan
untuk kembali ke dalam persekutuan dengan Allah.
Penghakiman atas Adam dan
Hawa sungguh dahsyat, namun penghakiman atas Kain (Kej 4) lebih dahsyat lagi. Karena bumi telah meminum darah adiknya oleh perbuatannya, maka
bumi tidak akan menghasilkan apa-apa untuk
Kain. Ia dihukum menjadi pelarian dan pengembara di dunia. Ia meninggalkan hadirat Allah untuk hidup dengan mengembara terus-menerus di daerah Timur yang sangat jauh.
Akan tetapi, contoh dan
pola utama penghakiman Allah atas dosa manusia adalah kisah air bah. Melalui kisah ini, pengarang menyatakan dengan cara yang paling menakutkan bahwa dosa
manusia mendatangkan hukuman Allah. Cerita ini
sudah begitu dikenal sehingga terkadang kita tidak
merasakan lagi kedashyatannya.
Sifat naif pada masa kanak-kanak dan keadaan pada waktu mempelajari cerita itu
membuatnya menjadi cerita
petualangan zaman dahulu yang menarik - dongeng tentang Nuh yang patut diagungkan dan baik hati; pembuatan
bahtera berukuran raksasa; hewan-hewan dari segala bentuk dan ukuran masuk ke
ruangan besar, sepasang demi sepasang;
pecahnya mata air samudra raya dan terbukanya
tingkap-tingkap langit; bahtera dan isinya berlayar dengan aman di atas air deras sementara tetangga-tetangga Nuh
yang jahat (yang memang tidak dianggap
sama dengan kita) lenyap dari pandangan.
Namun konteks asli cerita
tersebut berbeda jauh dari cerita yang sudah biasa kita dengar. Bagi orang Mesopotamia kuno, kisah itu berhubungan dengan alam dan kekuatan alam - kenyataan yang amat mempengaruhi
kehidupan dan keberadaan orang-orang
kuno. Sebagaimana telah dikemukakan
di atas mengenai Kejadian 1, kekuatan-kekuatan itu dipersonifikasikan sebagai ilah. Alam bukanlah
"sesuatu" tetapi sejumlah ilah yang berpribadi. Pandangan Alkitab
tentang Allah, sama sekali menolak. pandangan seperti ini mengenai alam. Allah Israel sebagai Pencipta
berada di luar alam dan kekuatan-kekuatannya; Ia mempergunakan kekuatan-kekuatan itu sebagai alat untuk mencapai
tujuan-Nya. Namun, sekalipun alam
adalah ciptaan Allah, bagi orang Israel kuno, alam adalah suatu tata pribadi yang berdenyut dengan kehadiran
kuasa dan keagungan Allah yang penuh
misteri dan bersifat pribadi.
Dipandang dari latar belakang ini, kekuatan dan kedahsyatan badai dan
kerusakan yang membawa perubahan besar akibat
air bah digambarkan dengan tiada taranya sebagai pernyataan penghukuman Allah atas dosa manusia. Di sinilah terdapat gambaran yang sesuai dengan penghukuman Allah yang menakutkan yang menimpa manusia bila "kecenderungan
hatinya jahat semata-mata" (6:5).
Bagian ini merupakan contoh atau pola
penghukuman Allah atas dosa tersebut.
Demikian pula, penghukuman
Allah berhadapan dengan dosa manusia dalam kisah menara Babel. Untuk menghadapi kecenderungan jahat yang terdapat dalam masyarakat, Allah
menyebarkan manusia dengan mengacaukan
bahasa mereka, memecah belah mereka menjadi sejumlah bangsa dan negara. Demikianlah yang terjadi pada
akhir riwayat zaman permulaan: manusia berada dalam keadaan yang dikenal sejak
masa itu, yakni hidup terasing serta
terpisah dari Allah dan sesamanya oleh dosa dalam dunia yang terpecah belah oleh permusuhan dan kematian. Individu berlawanan dengan individu, unsur
sosial melawan unsur sosial, bangsa melawan bangsa.
d.
Anugerah Allah yang tidak berkesudahan
Namun, ada tema teologi yang keempat yang mengherankan melalui
riwayat zaman permulaan, yakni anugerah Allah yang menopang dengan tidak berkesudahan. Anugerah itu ada di dalam dan
sepanjang setiap penghakiman kecuali penghakiman terakhir.
Dalam kisah di taman Eden, hukuman
akibat memakan buah terlarang adalah kematian pada hari itu (2:17).
Meskipun demikian Allah menunjukkan kesabaran-Nya sehingga kematian itu,
sekalipun sudah pasti akan dialami, ditunda hingga waktu yang tertentu pada masa yang akan datang (3:19).
Selanjutnya, Allah sendiri memberi pakaian kepada pasangan yang berdosa itu supaya mereka dapat hidup beserta rasa malunya. Lagi pula, kisah
Kain tidak berhenti pada saat Kain
yang bersalah, menangisi nasibnya dengan putus asa dan hanya merenungkan hukumannya. Dalam kemurahan-Nya
yang besar, Allah menanggapi keluhan
yang pahit ini dengan menetapkan pembalasan
tujuh kali lipat atas orang yang mengambil nyawa Kain, menempelkan tanda padanya sehingga hubungan yang
melindungi dirinya menjadi nyata bagi semua orang.
Kisah air bah, meskipun merupakan contoh
terbaik mengenai penghakiman Allah atas dosa manusia, juga
membuktikan dengan luwes anugerah
pemeliharaan-Nya. Pada akhir kisah air bah, ada firman Allah yang merupakan
pandangan sekilas mengenai isi hati Allah sendiri (Kej 8:21-22). Di sini
kisah air bah merupakan ukuran anugerah Allah yang hidup seperti juga penghakiman-Nya. Kontras ini meliputi seluruh Alkitab
dan disuguhkan di sini dengan tegas; keadaan yang sama yang dikemukakan sebagai dasar penghakiman Allah yang
dahsyat ("segala kecenderungan
hatinya selalu membuahkan kejahatan semata-mata", 6:5) diperlihatkan pula di sini sebagai dasar bagi
anugerah dan pemeliharaan-Nya
("sekalipun yang ditimbulkan hatinya adalah jahat dari sejak kecilnya", 8:21).
Hal ini merupakan ukuran anugerah Allah yang luar
biasa, yang menopang ciptaan-Nya. Meskipun dosa
manusia tetap berlanjut, kita dapat saksikan kemurahan Allah itu dalam
keteraturan-keteraturan alam:
"Selama bumi masih ada, takkan berhenti-henti musim menabur dan menuai, dingin dan panas, kemarau
dan hujan, siang dan malam" (ay 22). Kejahatan manusia tidak
berubah, meskipun demikian Allah memindahkan
manusia ke dalam suatu dunia yang diatur secara baru dan menjamin kejadian-kejadian alam berlangsung terus.
Akan tetapi, tema anugerah Allah yang menopang dan memelihara ciptaan-Nya tidak terdapat pada titik tertentu
dalam cerita itu, yakni pada akhir
sekali. Dalam kata-kata von Rad (1972: hlm. 153):
"Kisah menara Babel berakhir dengan
penghakiman Allah atas manusia tanpa kata anugerah. Karena itu, seluruh sejarah
zaman permulaan seperti terputus
dalam ketidakselarasan sehingga ... timbul pertanyaan yang lebih mendesak:
apakah hubungan Allah dengan bangsa-bangsa
akhirnya terputus? Apakah kesabaran Allah sudah habis? Apakah Allah telah menolak bangsa-bangsa dalam kemurkaan-Nya untuk selama-lamanya? Semuanya itu
merupakan pertanyaan yang tak dapat dihindarkan oleh pembaca Kejadian 11
yang sungguh-sungguh. Sebenarnya dapat
dikatakan bahwa melalui seluruh
rencana sejarah zaman permulaan, pembawa cerita sengaja memancing pertanyaan ini dan memperlihatkannya
dengan setajam-tajamnya. Baru kemudian pembaca benar-benar disiapkan untuk menerima hal baru yang menyusul setelah
kisah pembangunan menara itu, yaitu pemilihan dan pemberkatan Abraham
oleh Allah. Di situ sekarang kita berada pada
titik bertemunya sejarah zaman
permulaan dan sejarah suci, yaitu pada salah satu tempat terpenting dalam seluruh Perjanjian Lama".
Dengan cara saksama namun
tidak mencolok, pengarang membawa riwayat zaman permulaan dan sejarah keselamatan dalam hubungan antara
masalah dan pemecahannya, suatu hal yang terpenting untuk memahami seluruh
Alkitab. Masalah yang mendesak mengenai dosa manusia yang digambarkan dengan jelas dalam Kejadian 1 - 11, dipecahkan oleh karya dan prakarsa anugerah Allah yang
diawali dengan janji kepada Abraham mengenai tanah dan keturunan. Namun, sejarah
keselamatan itu tidak akan tergenapi
sampai mencapai puncaknya dalam diri
Putra Abraham (Mat 1:1). Kematian
dan kebangkitan-Nya akan memberi kemenangan akhir atas dosa dan maut
yang sedemikian cepat telah merusak karya
Allah yang baik.
Implikasi
Untuk Pemahaman Kejadian 1 - 11
Mengenali teknik dan bentuk
sastra serta memperhatikan latar belakang sastra Kejadian 1 - 11 tidak
berarti fakta-fakta yang digambarkan tidak' benar-benar terjadi. Kitab
Kejadian bukanlah mitos, namun bukan juga "sejarah" dalam pengertian
modern berupa laporan obyektif oleh saksi mata.
Kitab ini sebenarnya
menyampaikan kebenaran teologis tentang peristiwa-peristiwa yang pada umumnya digambarkan dalam jenis sastra simbolis. Hal ini tidak berarti bahwa Kejadian 1 - 11 menyampaikan sejarah yang palsu. Kesimpulan tersebut hanya benar
sekiranya pasal-pasal itu bertujuan
memberi gambaran yang obyektif. Ternyata, tidak demikian tujuan dari kisah-kisah tersebut. Di lain pihak, keliru sekali
jika kebenaran yang diajarkan dalam
pasal-pasal Kitab Kejadian dianggap tidak mempunyai dasar obyektif.
Pasal-pasal ini menegaskan kebenaran yang
mendasar: penciptaan segala sesuatu oleh Allah; campur tangan Allah yang khusus dalam penciptaan manusia
pertama; kesatuan umat manusia;
keadaan dunia dan manusia yang semula diciptakan baik; masuknya dosa
melalui ketidaktaatan pasangan manusia pertama; dosa yang merajalela setelah kejatuhan manusia ke dalam dosa.
Semua kebenaran ini adalah
fakta dan kepastiannya menjamin bahwa fakta-fakta itu benar-benar nyata.
Dengan kata lain, penulis
Kitab Kejadian memakai tradisi sastra semacam ini untuk melukiskan kejadian-kejadian zaman purba yang unik. Kejadian-kejadian ini tidak memiliki kesejajaran
dengan pengalaman manusia biasa yang
terbatas oleh waktu sehingga hanya dapat dilukiskan dengan lambang-lambang. Masalah yang sama timbul pada saat membicarakan
akhir zaman. Pengarang Kitab Wahyu, misalnya, memakai gaya apokaliptik yang aneh sehingga tidak mudah
dipahami.
Hal yang jauh lebih
mencolok adalah ketidaksamaan dan perbedaan kisah Alkitab
dengan tradisi-tradisi sastra Mesopotamia. Dengan memperhatikan kesamaan dengan tradisi-tradisi Mesopotamia saja, bisa timbul
kesan bahwa kesamaan tersebut adalah ciri-ciri Kitab Kejadian yang paling menonjol, padahal justru sebaliknyalah yang
benar.
Ciri-ciri kesusastraan Alkitab yang unik dengan jelas membedakannya dari lingkungan dan sastra bangsa-bangsa sekitar Israel
sehingga pembaca umum segera dapat melihat perbedaan itu. Dalam
kisah-kisah seperti kisah air bah, nyatalah
bahwa apa yang memisahkan kisah Kejadian 1 - 11 dari tradisi sastra Mesopotamia, jauh lebih penting dan lebih jelas daripada
apa yang mempersatukan keduanya. Kesusastraan Mesopotamia sarat dengan
politeisme. Ilah-ilahnya adalah perwujudan kekuatan-kekuatan alam yang tidak mengenal prinsip moral, seperti berdusta, mencuri, berzinah dan membunuh. Dalam kesusastraan
Babel, manusia tidak mempunyai peranan
khusus sebagai makhluk ciptaan tertinggi yang diciptakan menurut gambar Penciptanya. Sebaliknya, manusia hanyalah hamba yang hina dari para ilah dan diciptakan untuk
memberi mereka makanan dan sajian.
Sama sekali berbeda dengan
itu, kisah-kisah Alkitab mengisahkan tentang Allah yang
esa, benar, maha kudus dan maha kuasa. Sebagai Pencipta, la ada sebelum dunia dijadikan dan tidak bergantung pada alam,
Ia menciptakan dunia dengan firman-Nya saja dan unsur-unsur pun terjadilah. Karya-Nya baik, seimbang dan
utuh.
Meskipun manusia memberontak, Allah memperlunak hukuman-Nya dengan
murah hati, mendukung serta memelihara
mereka dengan anugerah dan kesabaran. Meskipun dikaburkan oleh penulis manusia, keagungan dan kesempurnaan Penulis Agung
itu, meresapi Kitab Suci dengan sifat dan daya tariknya sendiri sehingga membuat kitab itu unik. Hal ini tampak bahkan dalam bagian Kitab Suci yang paling dekat dengan bentuk-bentuk
pemikiran zamannya.
Akhirnya, bagaimana jenis
sastra ejadian 1 - 11 yang
unik itu dapat dipahami? Jelaslah
bahwa penulis Alkitab itu diberi petunjuk oleh penyataan Allah kepada Israel mengenai hakikat dunia dan manusia serta
dosa yang mengakibatkan terpisahnya manusia dari Allah dan sesamanya. Ia
telah dibimbing Allah kepada pemahaman yang benar tentang asal usul dunia dan mengungkapkannya dalam bahasa zamannya.
Lagi pula penulis menyusun tradisi sastra zamannya untuk mengajarkan fakta-fakta
teologis yang benar tentang sejarah awal
manusia. Penulis Kejadian 1 - 11
tidak bermaksud menjawab keingintahuan
manusia dalam bidang biologi dan geologi.
Sebaliknya ia ingin menceritakan tentang siapa dan apa manusia itu berdasarkan asal usulnya, yakni manusia
diciptakan Allah menurut gambar Sang Pencipta, tetapi dicemari oleh dosa
yang segera merusak karya Allah yang baik
itu.
Kej. 12-50 :
Panggilan kepada Abraham dan perjanjian kepada dirinya dan keturunannya
Konteks Sastra
1. Lebih menekankan pada silsilah keluarga (toledot)
2. Rangkaian kisah-kisah lebih banyak pada satu
keturunan
Konteks
Historis
1. Zaman Pra Sejarah
Pada waktu itu, muncul
suatu kebudayaan yang kaya dan maju
di lembah sungai besar di Mesopotamia dan Mesir. Di Mesopotamia pertanian
telah maju dengan irigasi yang cermat. Kota-kota_ didirikan dan usaha kerja sama yang diperlukan
oleh proyek-proyek irigasi yang besar
mengharuskan didirikannya negara kota dengan sistem administrasi yang rumit. Teknologi telah maju dan seni menulis telah dikembangkan. Hal yang sama berlaku di Mesir.
Dengan dimulainya sejarah, Mesir
merupakan negeri yang dipersatukan di bawah firaun sebagai kepala negaranya.
2.
Timur
Dekat Kuno, sebelum tahun 2000 SM
Mesopotamia, Mesir, Siria
palestina telah mengelilingi peradaban situasi pada zaman Abraham dan
keturunannya. Kebudayaan, politik sudah
mulai maju. Namun ingat di tengah-tengah
bangsa-bangsa yang besar dan maju, Allah menjanjikan kepada Abraham bapa dari
segala bangsa, keturunannya akan diberkati, itu bertujuan untuk semakin
menguatkan iman Abraham
3.
Zaman bapak leluhur sekitar
tahun 2000-1500 SM
Pada zaman ituj, Mesir lebih
berkembang berkembang daripada
Mesopotamia, Siria Palestina, sehingga seolah-olah Firaun menjadi
penguasa, ingat peristiwa Yusuf menjadi orang kedua
Isi
Ada kata-kata yang sering dipakai yaitu:
Pilihan, iman, Perjanjian.
Tujuan dari penulisan Kej. 12-50 ini adalah:
1.
Pemilihan dan janji-janji Allah
2.
Iman yang teruji
3.
Perjanjian Allah selama-lamanya
4.
Latar belakang berada di
perbudakan Mesir
Sejarah bapak-bapak leluhur
Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, sejarah
bapak-bapak leluhur (Kej 11:27 - 50:26)
dibagi atas lima bagian berdasarkan rumusan toledot
yang juga digunakan dalam
Kejadian 1 - 11. Ada
tiga contoh di mana struktur sastra ini sesuai dengan pembagian menurut
isinya, yakni kisah tentang Abraham (11:27 - 25:18),
Yakub (25:19 - 37:1) dan Yusuf (37:2 - 50:26).1
Dua rumusan toledot
lainnya memperkenalkan
silsilah pendek sesudah dua pembagian utama yang pertama. Masing-masing silsilah
ini melengkapi isi bagian tersebut dengan silsilah tokoh sekunder di dalamnya,
yaitu Ismael pada akhir kisah Abraham (25:12-18) dan Esau pada akhir kisah Yakub (36:1-34). Hal ini
memperlihatkan peranan Ishak bersifat
sekunder dalam tradisi bapak-bapak leluhur karena tidak ada rangkaian
kisah terpisah yang menyangkut dia.
8.1 Latar belakang historis
Panggilan dan pemberkatan
Abraham merupakan suatu perkembangan baru yang radikal.
Di sini Allah berkarya dalam sejarah untuk memulai serangkaian peristiwa yang akan menjembatani jurang yang telah diakibatkan oleh dosa antara Dia dan ciptaan-Nya.
Karena itu, penting
ditinjau secara singkat latar belakang sejarah
keselamatan ini dan tempatnya dalam
sejarah umum setepat mungkin.
Menurut pandangan Wellhausen tentang kritik
sastra yang umum dianut pada akhir abad yang lampau, kisah bapak leluhur hampir
tidak mempunyai nilai sebagai sejarah. Isi
religius dari kisah itu dianggap mencerminkan kepercayaan pada zaman
penulisan kisah itu - masa permulaan kerajaan (abad ke-9-ke-8 sM) atau masa
sesudah pembuangan (abad ke-6-ke-5
sM).2 Bapak-bapak leluhur
sendiri dipandang Wellhausen sebagai
tokoh mitos, dewa-dewa Kanaan, pahlawan-pahlawan cerita rakyat pra-Israel, atau personifikasi suku-suku, yang sejarahnya
tercermin dalam gerak dan
hubungan-hubungan bapak-bapak leluhur itu 3 Pada saat pandangan ini dikembangkan, sejarah dan kebudayaan zaman itu sebenarnya belum dikenal. Sejak saat itu
ratusan lokasi sudah digali di Palestina,
Siria dan Mesopotamia' di mana ratusan ribu naskah ditemukan.s Benda-benda ini memungkinkan rekonstruksi yang
agak terinci mengenai sejarah Timur Tengah, setidak-tidaknya pada pusatpusat utama kebudayaan seperti Mesir dan
Mesopotamia. Meskipun banyak
persoalan dan pertanyaan yang belum terjawab, penemuanpenemuan ini banyak mengubah pengetahuan tentang
masa itu sehingga tidak lagi
merupakan zaman yang tak dikenal. Garis besar singkat tentang
peristiwa-peristiwa penting dalam zaman itu adalah sebagai berikut 6
.
2.
Wellhausen (1885: him. 318-319) menulis, "Kita tidak mempunyai pengetahuan
historis mengenai para bapak leluhur, hanya tentang zaman ketika cerita-cerita
tentang mereka menjadi populer di Israel. Zaman yang kemudian secara tidak
sadar diproyeksikan ke
dalam
zaman terdahulu."
3.
Pandangan-pandangan itu dibahas berikut dengan kepustakaannya oleh Rowley
(1965: him. 283) dan Parrot (1968: him. 3). Sejarah dan perkembangan pandangan
itu diuraikan oleh Weidmann (1968).
4. Lihat Hunt (1967: him. 2-11) untuk daftar lokasi dan
kepustakaan tentang hal itu.
5. Kumpulan naskah yang penting sehubungan dengan sejarah
zaman bapak leluhur adalah sebagai berikut:
(1)
Naskah-naskah Man, abad ke-18 sM (ANET:
him. 482-483);
(2)
Naskah-naskah Nuzi, abad ke-15 sM (ANET:
him. 219-220);
(3)
Naskah-naskah Kapadokia, abad ke-19 sM;
(4)
Lempeng-lempeng Alalakh, abad ke-17 dan ke-15 sM;
(5) Berbagai kumpulan hukum, misalnya
undang-undang Hammurabi (abad ke-18 sM), hukum-hukum Asyur Tengah (abad ke-13
sM), hukum-hukum Het (abad ke-15 SM); (6) Naskah-naskah dan Dinasti I Babel
(abad ke-19-16 sM);
(7)
Naskah-naskah Ugarit, abad ke-14 sM (ANET:
him. 129-149);
(8)
Naskah-naskah kutuk Mesir, abad ke-19-18 sM (ANET: him. 328-329); (9) Lempeng-lempeng
Amarna, abad ke-14 sM (ANET: him.
483-490).
a. Zaman prasejarah
Sejarah dalam arti
sebenarnya7 dimulai kira-kira
tahun 3000 sM di Timur Tengah kuno. Pada
waktu itu, muncul suatu kebudayaan yang kaya dan maju di lembah sungai besar di Mesopotamia dan Mesir. Di Mesopotamia
pertanian telah maju dengan irigasi yang cermat. Kota-kota_ didirikan dan usaha kerja sama yang diperlukan oleh
proyek-proyek irigasi yang besar
mengharuskan didirikannya negara kota dengan sistem administrasi yang
rumit. Teknologi telah maju dan seni menulis telah' dikembangkan. Hal yang sama berlaku di Mesir. Dengan dimulainya sejarah, Mesir merupakan negeri yang dipersatukan
di bawah firaun sebagai kepala
negaranya. Bukti-bukti yang ada memperlihatkan bahwa' pada masa pra-sejarah, wilayah-wilayah setempat
yang banyak jumlahnya telah membentuk
dua kerajaan besar, satu di daerah utara delta dan lainnya di selatan. Tulisan hieroglif telah maju
melampaui tahap-tahap primitif. Pada
awal masa sejarah Dinasti IV (kira-kira 2600 sM), raja-raja.
dapat mengerahkan dan mencukupi
sumber-sumber manusia serta peralatan yang diperlukan untuk
mendirikan piramida-piramida besar di Giza.
Lagi pula, Mesir dan Mesopotamia yang terletak dekat ujung dunia Alkitab, telah mengadakan hubungan yang
menghasilkan pertukaran kebudayaan yang
penting. Pada awal sejarah, kira-kira 1500 tahun sebelum Israel muncul,
Timur Tengah telah melihat bangkitnya semua unsur
penting dalam dua kebudayaannya yang utama.
b. Timur Tengah kuno, sebelum tahun 2000 sM
Mesopotamia
Bangsa
Sumer adalah pencipta kebudayaan yang telah mencapai puncak.,
nya ketika sejarah dimulai di Mesopotamia.
Asal mula dan perkembang' an
kebudayaan mereka tidak dapat ditelusuri. Secara politis Mesopotamia terdiri atas negara-negara kota merdeka (Zaman
Dinasti Awal, kira-kira 2800-2360 sM).
Cara hidup bangsa Sumer diatur sekitar kuil, dengan kekuasaan agama dan
politik yang terpadu siecara erat. Para ahli tulisan telah mengembaligkan tulisan bersegi (kuneiform) dan kebanyakan syair kepahlawanan dale mitos dalam sastra Asyur dan
Babel kemudian, pertama kali ditulis
pada masa ini. Perdagangan, perniagaan dan kehidupan ekonomi telah berlembang.
Meskipun bangsa Sumer
paling menonjol, namun bangsa Semit juga hidup di daerah
Mesopotamia bawah pada masa ini. Orang-orang ini dinamakan orang Akkad menurut
nama negara-kota Akkad, di tempat mereka
pertama kali tampil. Mereka amat dipengaruhi oleh kebudayaan maupun agama Sumer dan mengambil alih tulisan
bersegi ke dalam bahasa mereka.
Akhirnya, seorang penguasa Semit, Sargon, merebut kekuasaan dan mendirikan
kerajaan yang bertahan selama 180 tahun (2360-2180 sM). Keturunannya memerintah seluruh Mesopotamia, daerah yang terbentang sampai ke Elam di timur dan
Laut Tengah di barat 8
Kerajaan Akkad diakhiri oleh suku barbar Guti,
yang menyerang mulai dari Pegunungan Zagros
di timur kira-kira tahun 2180 sM. Sangat sedikit diketahui tentang abad berikutnya, tetapi kira-kira tahun 2050
sM negara kota Sumer selatan
mematahkan kekuasaan Guti. Di bawah Dinasti III kota Ur (Ur III, 2060-1950 sM),
kebudayaan Sumer mencapai puncak
yang terakhir. Ur-nammu, pendiri dinasti itu, termasyhur khususnya karena kumpulan hukumnya. Selama masa
ini, bangsa Sumer dan Akkad hidup
berdampingan dalam keharmonisan bangsa dan kebudayaan, sedangkan bahasa dan
kebudayaan Akkad lambat laun menggantikan bahasa dan kebudayaan Sumer.
Meskipun bahasa Sumer tetap merupakan bahasa
suci dan tradisional dalam tulisan, namun kegunaannya sebagai bahasa sehari-hari tidak berfungsi lagi. Pada waktu Allah memanggil Abraham dari Ur-Kasdim, kebudayaan
Sumer telah bangkit, berkembang dan
lenyap, meskipun mereka sangat mem. pengaruhi orang Akkad dan pengganti-penggantinya.
Ur III runtuh setelah tahun 2000 sM, diperlemah oleh kedatangan
orang-orang bare, terutama orang Amori yang
akan membentuk sejarah Mesopotamia selatan dan utara untuk beberapa abad
kemudian.
8. Penemuan baru di Tel Mardikh (Ebla) di Siria barat laut akan mengubah dan menambah pengetahuan mengenai zaman itu. Ibrum, Raja
Ebla, menguasai kerajaan besar, dan negara-kota sejauh Yerusalem di Palestina membayar
upeti kepadanya. Kebudayaan setempat sangat tinggi, ada kamus dua bahasa yang
menerangkan arti kata-kata Sumer dalam bahasa setempat (bahasa Ebla).
Bagian-bagian dari kumpulan hukum
yang kira-kira 400 tahun lebih awal dari kumpulan hukum Ur-nammu telah
ditemukan.
KITAB KEJADIAN III 141
Mes1-
'S~elama tujuh ratus
tahun Mesir tetap berdiri sebagai bangsa yang bersatu dan memiliki kebudayaan yang tinggi. Peninggalan yang paling mengesankan
dari kebudayaan besar ini adalah piramida-piramida - tugu-tugu raksasa yang erat hubungannya dengan
pemujaan orang mati yang masih
mengagumkan para penelitinya 4500 tahun kemudian. Kebudayaan tinggi yang berkembang ini adalah
Kerajaan Tua (kira-kira 2900-2300 sM),
didirikan oleh raja-raja dari selatan dan mencapai puncaknya di bawah Dinasti III dan IV (kira-kira
2600-2400 sM). Selama masa ini semua
ciri yang menjadi tanda kebudayaan Mesir yang unik dimantapkan. Dari hasil penemuan, terdapat karya
para firaun Dinasti V dan VI lebih dikenal meskipun tidak semegah
Dinasti III dan IV. Mereka melapisi dinding
piramida-piramida dengan gambar-gambar dan mantera-mantera magis yang diukir dan diwarnai dengan hati-hati -
naskah-naskah piramida, yang merupakan
tulisan-tulisan keagamaan tertua yang kita kenal.
Pada
abad ke-23 sM, kesatuan negara itu dihancurkan oleh persain-: gan penguasa-penguasan wilayahnya ketika tidak ada
pmerintah pusat yang kuat. Lalu Mesir masuk
ke dalam masa kekacauan sosial dan kerun tuhan
ekonomi yang dikenal sebagai Periode Pertengahan Pertama (kira-kira 2200-2050 sM). Kesusastraan masa itu
mencerminkan" kesulitan hidup dan
kesuraman nasional (lihat ANET: him. 405-410): Akhirnya, pada pertengahan abad ke-21 sM,
Dinasti XI yang berasal dark Tebe
mempersatukan negara Mesir dan membawanya ke Kerajaan Tengah, suatu masa stabilitas dan kejayaan Mesir
yang kedua. Lama sebelum Abraham,
Mesir telah mengalami kemajuan dan kebudayaan selama seribu tahun.
Siria-Palestina I
Pengetahuan tentang Siria dan Palestina sebelum
abad ke-20 sM masihkabur. Penemuan hampir
dua puluh ribu lembaran tanah liat di Tel Mardikh (Ebla) dekat Aleppo pada tahun 1975-76 menyebabkan para cendekiawan
percaya bahwa ada suatu kerajaan besar yang berpusat di sini sekitar abad ke-25 sM dan kerajaan itu mempunyai kota-kota jajahan sampai ke Siprus, Sinai, Anatolia dan dataran
tinggi Mesopotamia. Pembacaan dan publikasi teks-teks tulisan bersegi dan
analisis peninggalan arkeologis
belum memungkinkan penafsiran yang memadai, tentang
kebudayaan Zaman Perunggu Awal dan pengaruhnya terhadap penelitian Alkitab. Sekitar abad ke-30 sM yang menjadi ciri
utama Palestina adalah perkembangan
kota-kota kecil yang dibangun dengan baik dan diperkuat oleh benteng, seperti terlihat dari penggalian di
Yerikho, Megido, BetSean dan Lakhis.
Penduduknya biasa dikenal sebagai bangsa Kanaan dari nama daerah yang terdapat dalam teks-teks kemudian.
Bukti arkeologis memperlihatkan bahwa
menjelang abad ke-20 sM setiap kota Kanaan yang kita ketahui telah dihancurkan
sehingga berakhirlah kebudayaan Zaman
Perunggu Awal. Penyebab-penyebab
kehancuran ini tidak diketahui,
meskipun mereka kerapkali diduga termasuk kelompok Amori yang mulai memasuki Mesopotamia.
c.
Zaman bapak leluhur sekitar tahun 2000-1500 sM
Mesopotamia_
Kira-kira tahun 1950 sM, Ur III baru saja
kehilangan kekuasaannya, antara lain karena masuknya
orang-orang Semit barat yang dikenal sebagai
orang Amori. Kemerosotan ini mengakibatkan pertentangan selama dua abad antara negara kota Mesopotamia Bawah,
sehingga pada akhirnya hampir setiap negara
kota di Mesopotamia Atas dan Bawah diperintah
oleh dinasti Amori. Meskipun penduduk ash di Mesopotamia bagian selatan tetap orang Akkad, di bagian barat laut
orang Amori menggantikan mereka secara
menyeluruh. Walaupun ada kekacauan politik
dan ekonomi, namun masa ini bukan merupakan abad yang gelap. Dua kumpulan hukum telah ditemukan, satu dalam bahasa
Akkad di Esynunna, dan satu lagi dari Isin, yang disusun
oleh Lipit-Isytar. Keduanya mempunyai
persamaan yang erat dengan "Kitab Perjanjian" dalam Perjanjian Lama (Kel 21 - 23).
Pada
masa ini untuk pertama kalinya Asyur dan Babel yang menguasai sejarah Akkad dalam zaman berikutnya, memainkan
peranan penting dalam sejarah.
Kira-kira tahun 1900 sM, Asyur yang diperintah oleh dinasti Akkad, mendirikan koloni perniagaan jauh di bagian barat laut, di kota Anatolia kuno di Kanis (kini Kultepe dekat
Kayseri di Turki). Koloni ini dikenal dari
naskah-naskah Kapadokia - beberapa
ribu lembaran tanah liat yang
ditemukan di Kanis memberi keterangan tentang kebudayaan dan bangsa di daerah itu. Dinasti Akkad itu tetap berkuasa hingga kira-kira tahun 1750 sM. Lalu dinasti ini
digantikan oleh dinasti Amori yang
didirikan oleh Syamsi-adad yang menguasai Mesopotamia Atas untuk waktu yang singkat. Lawan utamanya
adalah kota Mari, yang membebaskan
diri dari penjajahan Asyur kira-kira tahun 1730 sM. Penggalian di Mari telah memperlihatkan adanya
kebudayaan tinggi, yang
dikenal berdasarkan lebih
dari 20.000 lembaran tanah liat yang sangat penting
untuk latar belakang zaman bapak leluhur Israel. Untuk sementara Mari merupakan pusat kekuasaan pada masa itu.
Namun,
baik Mari maupun Asyur kalah dalam pertempuran melawan Babel di bawah Hammurabi (1728-1686 sM), dari dinasti
Amori yang memerintah Babel sejak 1830 sM. Pada waktu naik takhta, Hammurabi tidak saja berhadapan dengan Mari dan
Asyur tetapi juga dengan Larsa, yang pada zaman dinasti Elam memerintah seluruh Mesopotamia sebelah selatan Babel. Dalam
serbuan-serbuan yang gemilang,
Hammurabi mengalahkan lawan-lawannya dan memerintah mulai dari Niniwe hingga Teluk Persia. Kebudayaan yang dikembangkan Dinasti Pertama Babel mengubah kota itu, dari kota
yang tidak penting menjadi pusat
kebudayaan terbesar pada zaman itu. Banyak sekali naskah yang
mengungkapkan kesusastraan dan pengajaran yang jarang dicapai pada zaman dahulu. Yang terpenting adalah kumpulan hukum Hammurabi, yang didasarkan pada tradisi hukum yang meliputi abadabad terdahulu (sebagaimana diperlihatkan oleh
kumpulan hukum Ur-nammu, Lipit-Isytar dan Esynunna) dan mempunyai banyak
persamaan mencolok dengan hukum-hukum
Taurat. Walaupun demikian jaya, kerajaan
Hammurabi berakhir dengan mangkatnya Hammurabi. Di bawah penggantinya sebagian
besar negara jajahannya memisahkan diri. Meskipun Babel tetap sebagai negara merdeka selama lebih dari satu abad, pada akhirnya kerajaan itu harus
mempertahankan diri dari bangsa Kassit,
pendatang baru dari Pegunungan Zagros di timur.
Sebagian
alasan merosotnya kekuasaan Babel ialah membanjirnya pendatang baru ke daerah mereka, terutama dari sebelah
utara. Perpindahan bangsa-bangsa
sangat mengganggu keamanan dan mengakibatkan
banyak bukti naskah hilang, sehingga selama dua abad hampir tidak ada bukti tentang berdirinya negara dan kerajaan
baru. Yang terpenting di antara pendatang
baru ialah bangsa Hurri, bangsa non-Semit yang
berdiam di barat laut Mesopotamia sejak abad ke-20 sM, namun sekarang bergerak
ke daerah itu. Dari bukti tertulis sekitar tahun 1500 sM, bangsa Hurri diketahui menguasai kerajaan Mitanni
yang terbentang mulai dari Alalakh Dada
belokan Sungai Orontes dekat Laut Tengah di barat,
hingga kaki Gunung Zagros, melewati Sungai Tigris di timur. Negara Asyur berada dalam kekuasaan mereka, dan selama
beberapa waktu pada awal abad ke-15
sM, bangsa Hurri bersaing dengan Mesir untuk
menjadi kerajaan dunia. Bangsa Indo-Eropa- datang
bersama dengan bangsa Hurri namun
dalam jumlah yang jauh lebih kecil dan kebanyakan merupakan golongan bangsawan
yang memerintah. Namanama raja kerajaan Mitanni
pada umumnya adalah nama Indo-Eropa.
Di Asia Kecil bangsa Het
yang bahasanya termasuk rumpun bahasa Indo-Eropa lalu tampil ke muka. Menjelang
abad ke-20 sM, mereka telah bergerak ke
pusat Asia Kecil, tempat mereka mulai berjaya di antara negara-negara kota. Pada kira-kira tahun 1550 sM mereka
mendirikan kerajaan di bagian tengah
dan timur Asia Kecil dengan ibu kota Hattusas (Boghazkoy pada masa kini) dan segera terlibat dalam konflik dengan
kerajaan Hurri Mitanni. Kekalahan Dinasti Pertama Babel pada tahua 1530 sM
bukan disebabkan oleh kuasa Mesopotamia tetapi karena serangan kilat Mursilis I, penguasa pertama kerajaan Het
kung. Meskipun demikian, orang Het
belum menguasai Asia Kecil dan tidak dapat
mendirikan kerajaan pada abad berikutnya. Dengan demikian, tak lama setelah tahun 1500 sM, Mesopotamia baru keluar dari
masa kemelut dan kekacauan dengan
membentuk perserikatan politik yang segera menyulut
peperangan untuk mendirikan kerajaan dunia. Kekalutan yang disebabkan
gerakan etnis itu mempengaruhi Mesir pula.
Mesir
Kerajaan Tengah adalah masa perkembangan kedua
bagi kebudayaan dan stabilitas Mesir.
Kerajaan itu mencapai puncaknya pada Dinasti XII yang memerintah Mesir selama dua ratus tahun dengan Memfis sebagai ibu kotanya (kira-kira 1991-1786 sM). Masa ini merupakan
masa kemakmuran dan kecermelangan
bagi Mesir. Sastra dan kesenian mencapai tingkat
tinggi yang jarang dicapai lagi dengan melimpahnya tulisan-tulisan hikmat dan kisah-kisah. Dari masa ini berasal
"naskah-naskah kutukan", yakni mantera-mantera melawan musuh-musuh
Mesir di Palestina yang ditulis pada mangkuk, lalu
dibanting agar kutukan itu terjadi. Nama-nama dalam naskah-naskah ini menunjukkan bahwa Mesir tidak menguasai sebagian
besar Palestina secara ketat.
Namun,
pada bagian kedua dari abad ke-18 sM dinasti-dinasti saingan (Dinasti XIII dan XIV) menunjukkan tanda-tanda
kemunduran. Kerajaan Tengah menjadi
lemah sehingga orang asing dari Palestina dan Siria bagian selatan menyusup dan
akhirnya merebut kekuasaan. Mereka disebut
Hiksos, yang dalam istilah Mesir berarti 'pemimpin asing'. Identitas mereka masih diperdebatkan, tetapi tampaknya
kebanyakan mereka adalah orang Semit
Barat (orang Kanaan atau Amori). lbu kotanya
di Avaris di bagian timur laut daerah Delta. Mereka memerintah Mesir dan sebagian Palestina selama hampir satu abad (kira-kira
1650-1542
sM). Mungkin saja, Yusuf dan saudara-saudaranya datang ke Mesir pada masa ini.
Perjuangan untuk
kemerdekaan dari kekuasaan asing itu dimulai di selatan, di Mesir Hulu. Ahmosis, pendiri Dinasti XVIII merebut Avaris dan
mengejar Hiksos ke Palestina. la menaklukkan Saruhen, pusat utama mereka di sana, setelah penyerangan selama tiga tahun.
Dengan kemerdekaannya kembali, Mesir
memastikan bahwa pertahanan yang terbaik adalah
melakukan penyerangan dan untuk pertama kalinya mereka mulai membangun kerajaan di Asia. Strategi ini mengakibatkan
konflik langsung untuk menjadi
penguasa dunia dengan kekuatan-kekuatan baru yang sudah berpusat di sana. Perjuangan ini memulai apa yang disebut
oleh Breasted sebagai "internasionalisme pertama". Peristiwa keluaran
dari Mesir paling baik dijelaskan dalam kaitan
dengan masa ini.
Siria-Palestina
Dibandingkan dengan bukti untuk masa ini dari
Mesir dan Mesopotamia, maka bukti dari daerah
Siria-Palestina sangat sedikit. Sebagian alasannya ialah belum banyak yang ditemukan dari masa ini, tetapi
sebagian besar disebabkan oleh sejarah dan
kebudayaan fisik dari Palestina itu. Dever (1977:
him. 74-75) menuliskan:
"Sekarang
kita dapat menempatkan Palestina dalam konteks seluruh Timur Tengah kuno. Jelaslah bahwa negara itu selalu
terbelakang dalam kebudayaan, miskin
dalam kesenian maupun ekonomi. Lagi pula,
sejarah politiknya yang selalu bergolak telah membuka peluang untuk perampasan, penghancuran dan pembangunan kembali
oleh sederetan panjang
orang-orang dari berbagai kebudayaan, sehingga stratifikasi lapisannya sangat rumit dan bahan-bahan peninggalannya kurang terpelihara. Akhirnya, iklim lembab di daerah
Palestina tengah serta penggunaan papirus dan perkamen sebagai media untuk penulisan telah menyisakan bagi kita hanya sedikit
sekali peninggalan tertulis (Alkitab merupakan suatu pengecualian). Bila kita cukup beruntung mendapat peninggalan tertulis, bahan peninggalan itu biasanya begitu terpencar sehingga sulit
dimengerti, dan kaftan dengan peninggalan benda-benda hasil kecerdasan acapkali sangat sulit dilihat. Pendeknya, dibandingkan dengan kebudayaan daerah sekitarnya, kebanyakan arkeologi Palestina
sebelum adanya Israel sebenarnya
adalah prasejarah".
Akibatnya, sejarah Palestina
pada masa ini tidak dapat ditulis, kecuali pernyataan-pernyataan
yang sangat umum saja.
Setelah
zaman peralihan yang tak jelas menjelang abad ke-20 sM biasanya
dikenal sebagai Zaman Perunggu Tengah 19- muncullah paduan kebudayaan baru yang menghasilkan peradaban
perkotaan yang semakin berkembang.
Karena tidak ada bahan-bahan tertulis, peradaban ini disebut Zaman Perunggu II, meskipun acapkali
dinamai "kebudayaan orang
Kanaan" sesuai dengan nama daerah itu dalam naskah-naskah yang kemudian.10 Masa ini
dibagi berdasarkan corak keramiknya menjadi Zaman Perunggu IIA (2000/1950-1800
sM), tahap pembentukan kebudayaan
tersebut; dan Zaman Perunggu IIB-C (1800-1550/1500 sM),tt Zaman
Perunggu II B-C yang merupakan lanjutan Zaman Perunggu IIA, memperlihatkan
bentuk perkembangan penuh dari peradaban "Kanaan". Peradaban ini menimbulkan negara kota
Siria-Palestina yang kuat dan makmur,
yang didirikan pada bagian terakhir dari masa itu sesudah tahun 1600 sM. Berdasarkan data arkeologis, para ahli
mengambil kesimpulan bahwa ada
kesinambungan kebudayaan antara Palestina pada masa ini dengan Siria raya. Kini tidak disangsikan lagi
bahwa peradaban perkotaan inilah yang
membentuk bagian terbesar bangsa-bangsa Hiksos yang menguasai Mesir selama
Periode Pertengahan Kedua. Peradaban ini juga merupakan pusat perlawanan terhadap pembentukan kekuasaan Mesir di Asia di bawah firaun-firaun dari Dinasti XVIII pada
akhir masa penguasaan orang-orang
Hiksos.
Karena belum diperoleh naskah-naskah dari Palestina pada
masa ini, maka identitas
orang-orang yang menciptakan kebudayaan ini tetap merupakan pertanyaan yang belum terjawab. Namun, para
pakar pada Kedua, kesamaan nama-nama dari Palestina dengan nama-nama orang Amori dari Mesopotamia merupakan kesimpulan yang terburu-buru.18 Lagi pula, andaikan
kesamaan ini dapat ditentukan, tetap tidak akan memperlihatkan perpindahan
etnis dari Mesopotamia ke Palestina.
Ada bukti yang jelas bahwa orang Semit Barat kuno telah hadir di Palestina dan di pantai Fenisia jauh sebelum mereka
memasuki Siria (dan Mesopotamia barat
laut), sehingga hampir tidak mungkin mengidentifikasi
pendatang Semit Barat di antara penduduk Semit Barat yang telah ada.19 Setidak-tidaknya sudah
pasti bahwa tidak ada data yang dapat ditafsirkan
untuk menunjang hipotesis mengenai adanya perpindahan etnis besar-besaran orang Amori dari Siria utara-tengah.
Sekiranya data arkeologis dan bahasa
menimbulkan suatu hipotesis adanya perpindahan orang-orang Semit Barat ke
Palestina, lebih mungkin mereka datang dari daerah-daerah
Siria barat daya ke arah utara Palestina (lihat de Vaux 1978: him. 68), atau dari dataran Siria di timur laut.
Akhirnya, mendekati akhir
Zaman Perunggu Tengah II, nama-nama Ur
dan Indo-Eropa muncul dalam naskah tulisan dari daerah itu, yang disebut "negeri Hurru" oleh orang-orang Mesir
dari Dinasti XVIII dan XIX. Ini menunjukkan bahwa
Palestina dipengaruhi oleh gerakan kelompok-kelompok
etnis yang sama dengan apa yang telah dikemukakan di atas tentang Mesopotamia barat laut. Seberapa dalam
pengaruh ini dirasakan dan sejak kapan,
masih diperdebatkan, namun agaknya tidak mungkin
sebelum abad ke-15 sM 20
bandingan hanya diambil dari beberapa teks dari sekitar
tiga ratus teks hukum keluarga yang ditemukan di tempat itu, sehingga
sukar dianggap mewakili adat istiadat masyarakat Nuzi sekalipun (lihat
Selman 1976: him. 116). Kedua, adat istiadat
Nuzi lebih mirip dengan adat- istiadat dunia Mesopotamia daripada yang
diperkirakan semula sehingga adanya hukum keluarga Hurri yang
khas, sangat diragukan (Selman 1980:
Meskipun
demikian, ada sejumlah kesejajaran yang nyata
antara adat istiadat para bapak leluhur dengan adat istiadat TimurTengah kuno. Dari kesejajaran itu dapat dikatakan
bahwa kisah para bapak leluhur mencerminkan dengan tepat keadaan
masyarakat dan sejarah waktu itu sebagaimana digambarkan dalam Alkitab.47
(5) Gambaran umum tentang agama
bapak-bapak leluhur termasuk
gambaran yang tua dan otentik.48 Secara
khusus, Allah digambarkan sebagai Allah bapak leluhur dan keluarga besarnya
secara pribadi, tidak seperti Allah tempat-tempat suci dan kuil-kuil
orang Kanaan. la mengikat diri-Nya sendiri
dalam perjanjian dan berjanji bahwa la akan melindungi mereka. Gambaran ini
sungguh otentik, sehingga jelaslah bahwa agama bapak-bapak leluhur bukan
merupakan gambaran yang diciptakan oleh kepercayaan orang Israel
kemudian. Hal ini ditunjukkan oleh beberapa hal,
misalnya nama El dipakai untuk menyebut Allah, bukan nama Yahweh; nama Baal sama sekali tidak disebut,
apalagi dipakai; ada hubungan yang
langsung antara Allah dengan bapak leluhur tanpa perantaraan imam, nabi atau upacara; dan Yerusalem
sama tidak disebut (lihat Wenham
1980: him. 184-185).
Bukti-bukti lain kurang meyakinkan.49 Apa yang
telah disuguhkan di penting
sebab tujuan itu menentukan pemilihan data sejarah yang hendak ditulis.
Penulis-penulis Alkitab tidak terkecuali dari
kedua pertimbangan ini. Walaupun mereka
menulis dengan ilham Allah (lihat di atas: ps 2) tidak berarti bahwa pengetahuan mereka tentang masa
lampau berbeda dengan orang-orang yang
lain. Ilham tidak memberikan kepada
mereka keterangan-keterangan baru atau membuat jelas hal-hal yang kabur,
seperti yang terlihat dari Alkitab. Mereka
sering menyebut sumbersumber sejarah
yang mereka pakai (Bil 21:14; Yos 10:12-13; 1 Raj 14:19). Perbandingan
antara tulisan-tulisan mereka mengungkapkan perbedaanperbedaan yang luas dalam pengetahuan mereka tentang masa lampau S0
Lagi pula, tujuan para penulis Alkitab terutama bersifat teologis dan pemilihan serta penyajian peristiwa-peristiwa
sangat dipengaruhi oleh pandangan
keagamaan mereka. Yang menjadi perhatian mereka yang utama adalah karya
Allah dalam peristiwa-peristiwa kehidupan manusia, bukan peristiwa-peristiwa itu sendiri. Mereka menulis sejarah untuk menanamkan
teologi, apakah itu fakta-fakta sejarah keselamatan ataupun kebenaran teologis
yang kurang berhubungan dengan sejarah. Mereka tidak memalsukan sejarah, tetapi sering sangat selektif sehubungan dengan
tujuan-tujuan mereka S'
Lalu, apa yang dapat dikatakan tentang jenis sejarah dari
kisah para bapak leluhur Israel?
Pertama, sejarah itu adalah sejarah keluarga, yang kurang memperhatikan
hubungan antara cerita-cerita keluarga dengan peristiwa-peristiwa zaman itu. Cerita-cerita tersebut pasti diwariskan terutama
melalui tradisi lisan. Para peternak semi-nomad biasanya tidak mempunyai catatan tertulis dan kisah-kisah itu
sendiri memberikan pasal yang
menyusul didominasi janji-janji ini dan dimaksudkan untuk memperlihatkan cara Allah memenuhi janji-janji-Nya
sekalipun Abraham tidak mempunyai seorang ahli waris (lihat di bawah
ini: ps 8.5.a). Penulisan semacam ini harus
diakui sebagai "masa lampau yang diingat" - ingatan populer suatu bangsa. Perbedaannya dengan
penulisan sejarah kerajaan Israel
tidak terletak dalam realitas suatu peristiwa tetapi dalam cara penurunannya.
Tradisi lisan menjadi jembatan dari abad ke abad 52 Dalam masyarakat yang
sederhana dan di antara bangsa yang sebagian besar buta huruf, tradisi lisan jauh lebih tepat dan kuat daripada yang dapat dibayangkan oleh manusia modern yang lazim
membaca 53 Lagi pula,
kebudayaan bapak-bapak leluhur merupakan cara yang ideal, dapat dipercaya
dan tepat untuk menurunkan tradisi. Yang menjadi ciri kebudayaan itu adalah
lingkungan sosial yang tertutup dan diikat oleh ikatan darah dan agama (mula-mula satu keluarga, kemudian bangsa besar).
Mereka diikat bersama terus-menerus karena hidup bersama secara terpencil dan sama-sama harus menghadapi
tekanan dari luar. Karena itu,
kisah-kisah para bapak leluhur adalah tradisi umum, yang dipelihara berabad-abad lamanya melalui ingatan
umat Israel secara bersama-sama, dan rangkaian kisah-kisah itu kemudian dianyam bersama-sama dengan keterampilan beberapa penutur
cerita yang ulung.
8.4 Agama bapak-bapak leluhur
Tidaklah mungkin
mengumpulkan gambaran lengkap mengenai keyakinan dan praktik agama bapak-bapak leluhur dari kisah-kisah dalam Kejadian 12-50. Meskipun demikian, keterangan yang cukup
dapat dikumpulkan untuk
memperoleh gambaran umum dan menempatkan agama
mereka dalam konteks budayanya, sebagaimana diberikan oleh penemuan kembali latar belakang sejarah dan kebudayaan
zaman mereka.
akan mendapat berkat oleh
dia. Pada awal sejarah keselamatan ini, sudah terdapat pernyataan tentang
akhirnya, yakni keselamatan yang dijanjikan Allah
kepada Abraham akhirnya akan mencakup semua manusia. Allah dalam murka-Nya tidak menyingkirkan umat manusia untuk
selamanya, melainkan la bertindak lagi
untuk memulihkan hubungan yang terputus antara
Dia dan dunia-Nya sebagai akibat kejatuhan manusia ke dalam dosa. Jadi, dengan hati-hati dan saksama, penulis Kitab
Kejadian menghubungkan prolog riwayat
zaman permulaan dan sejarah keselamatan seperti suatu
masalah dengan pemecahannya. Ini sangat penting untuk memahami seluruh Alkitab.
Tetapi,
vats itu jugs sangat penting untuk memahami kisah-kisah para bapak leluhur yang
berikut, karena vats tersebut mengungkapkan temanya, yakni pemenuhan janji
janji Allah secara bertahap, termasuk suka
dukanya dan akhirnya pemenuhannya yang gemilang. Penulis tidak menyajikan biografi; is mengajarkan teologi dengan
berbagai tema yang dijalin dalam kisahnya.
a. Pemilihan dan janji janji Allah
Apabila panggilan Abraham dipahami dengan jelas,
arah kisah tersebut menjadi jelas. Abraham akan
menjadi bangsa besar (12:2), tetapi
Sara mandul (11:30); tanah itu akan
menjadi milik keturunannya (12:7), tetapi
orang Kanaan mendudukinya (12:6).
Pada awalnya penutur cerita dengan sadar menjajarkan janji Allah dengan keadaan yang
dialami Abraham. Masalah inilah yang
mendapat perhatian utama dalam Kejadian 12.- 21. Janji itu dinyatakan dalam cara yang berlebih-lebihan - keturunan; Abraham akan menjadi "seperti debu tanah banyaknya" (13:16) dari; sebanyak
bintang-bintang di langit (15:5). Dan
Abraham mencoba segala cara untuk memperoleh anak. la mengambil budak yang lahir di rumahnya
sebagai anak (15:2-3). Sara melindungi
kedudukannya sebagai istri Abraham
dengan memberi budaknya, Hagar, sebagai istri kedua dan melalui perkawinan ini lahirlah Ismael (Kej 16).
Tetapi, tak satu pun dari;: kedua
usaha itu memenuhi janji Allah akan seorang putra melalui Sara (15:4;
17:18-19). Akhirnya ketika usia lanjut membuat janji itu menjadi mustahil menurut ukuran manusia, "TUHAN memperhatikan Sara seperti yang difirmankanNya, dan TUHAN melakukan
kepada Sara seperti yang
dijanjikanNya" (21:1). Lalu lahirlah Ishak.
Janji
yang serupa diperteguh pada setiap generasi bapak-bapalc leluhur sesudah itu: kepada Ishak (26:2-4);
kepada Yakub di Betel ketika is meninggalkan
Kanaan karena takut pada Esau setelah mencuri hak
kesulungannya (28:13-14); kemudian kepada Yakub
lagi di Betel sewaktu is hendak kembali
(35:11-12); lalu kepada Yusuf dan putra-putranya (48:1-6).
Hal ini merupakan tema
utama sebagaimana dapat dilihat dalam cara
janji itu dipenuhi dalam peristiwa pembebasan Israel dari Mesir oleh pertolongan
Allah:
"Aku
telah mengadakan perjanjianKu dengan mereka [bapak-bapak leluhur] untuk memberikan kepada mereka tanah Kanaan .
. . dart Aku ingat kepada perjanjian-Ku . . . Aku akan menebus kamu dengan tangan yang teracung ... Dan Aku akan membawa kamu ke negeri yang dengan sumpah telah Kujanjikan
memberikannya kepada Abraham, kepada Ishak dan kepada Yakub" (Kel
6:3-8).
Jadi, sejarah keselamatan
dalam masa bapak-bapak leluhur adalah waktu
pemilihan Abraham dan keturunannya oleh Allah dan waktu janji Allah. Pemenuhan janji itu rupanya ditunda karena tanah
itu didiami orang-orang Kanaan -"
Abraham dan keturunan langsungnya hanya memiliki ladang dan gua Makhpela (Kej 23), tempat
Abraham (25:7-10), Ishak (35:27-29)
dan Yakub (49:29-31) dikuburkan. Hanya dalam kematianlah, mereka bukan pengembara lagi. Bahkan pada akhir masa bapak-bapak leluhur, mereka sama sekali tidak
tinggal di tanah itu, tetapi pindah
ke tanah Mesir.
Kisah Yusuf merupakan tahap
pertama dalam peralihan dari keluarga
bapak leluhur yang semi-nomad menuju bangsa yang merdeka, sesuai dengan janji Allah. Anak kesayangan itu dibenci
oleh saudarasaudaranya, dijual
menjadi budak dan dibawa ke Mesir. Di
sana kebajikan, kebijaksanaan dan
keramahan dengan cepat membuatnya maju, lalu menempatkannya pula dalam
kesulitan (Kej 37 - 39). Karunia yang diberikan Allah untuk mengartikan
mimpi-mimpi membuat Yusuf mendapat
perhatian Firaun dan penafsirannya atas mimpi tentang bencana kelaparan
serta pemecahan yang bijaksana yang diberikannya, membawanya pada kedudukan yang tinggi (Kej 40-41). Pada waktunya hal ini membuka
jalan bagi Yusuf untuk memelihara keluarganya dan membawa mereka ke Mesir (Kej 42 - 47). Kisah yang disusun dengan hati-hati yang sangat berbeda bentuknya dengan kisah Abraham
dan Yakub; merupakan satu pelajaran
panjang - pemeliharaan Allah
meniadakan rencana-rencana manusia dan membuat maksud-maksud jahat mereka.
akan mendapat berkat oleh dia. Pada awal sejarah keselamatan ini, sudab
terdapat pernyataan tentang akhirnya, yakni keselamatan yang dijanjikan
Allah kepada Abraham akhirnya akan mencakup semua manusia. Allah dalam
murka-Nya tidak menyingkirkan umat manusia untuk selamanya, melainkan
la bertindak lagi untuk memulihkan hubungan yang terputus antara
Dia dan dunia-Nya sebagai akibat kejatuhan manusia ke dalam dosa.
Jadi, dengan hati-hati dan saksama, penulis Kitab Kejadian meng. hubungkan
prolog riwayat zaman permulaan dan sejarah keselamatan seperti
suatu masalah dengan pemenahannya. Ini sangat penting untuk memahami
seluruh Alkitab.
Tetapi, vats itu juga sangat penting untuk memahami
kisah-kisah para bapak leluhur yang berikut, karena nats tersebut mengungkapkan
temanya, yakni pemenuhan janji-janji Allah secara bertahap, termasuk suka
dukanya dan akhirnya pemenuhannya yang gemilang. Penulis tidak menyajikan biografi;
is mengajarkan teologi dengan berbagai tema yang dijalin dalam
kisahnya.
a.
Pemilihan dan janji janji Allah
Apabila panggilan Abraham dipahami dengan jelas, arah kisah tersebut menjadi
jelas. Abraham akan menjadi bangsa besar (12:2), tetapi
Sara mandul (11:30); tanah itu akan menjadi milik keturunannya
(12:7), tetapi orang Kanaan mendudukinya (12:6).
Pada awalnya penutur cerita dengan sadar menjajarkan janji Allah
dengan keadaan yang dialami Abraham. Masalah inilah yang mendapat
perhatian utama dalam Kejadian 127 21. Janji itu dinyatakan dalam
cara yang berlebih-lebihan - keturunan Abraham
akan menjadi "seperti debu tanah banyaknya" (13:16) dan sebanyak
bintang-bintang di langit (15:5). Dan Abraham mencoba segala
cara untuk memperoleh anak. Ia mengambil budak yang lahir di rumahnya sebagai
anak (15:2-3). Sara melindungi kedudukannya sebagai istri Abraham
dengan memberi budaknya, Hagar, sebagai istri kedua dan melalui perkawinan ini
lahirlah Ismael (Kej 16). Tetapi, tak satu pun dari kedua usaha itu memenuhi
janji Allah akan seorang putra melalui Sara (15:4; 17:18-19). Akhirnya
ketika usia lanjut membuat janji itu menjadi mustahil menurut
ukuran manusia, "TUHAN memperhatikan Sara seperti yang
difirmankanNya, dan TUHAN melakukan kepada Sara seperti yang dijanjikanNya"
(21:1). Lalu lahirlah Ishak.
Janji yang serupa diperteguh pada setiap generasi
bapak-bapka leluhur sesudah itu: kepada Ishak (26:2-4); kepada
Yakub di Betel ketika is meninggalkan Kanaan karena takut pada Esau setelah
mencuri hak kesulungannya (28:13-14); kemudian kepada Yakub lagi di
Betel sewaktu is hendak kembali (35:11-12); lalu kepada Yusuf dan
putra-putranya (48:1-6).
Hal ini merupakan tema utama sebagaimana dapat dilihat dalam cara janji
itu dipenuhi dalam peristiwa pembebasan Israel dari Mesir oleh
pertolongan Allah:
"Aku telah mengadakan perjanjianKu dengan mereka
[bapak-bapak leluhur] untuk memberikan kepada mereka tanah Kanaan . . . dan Aku
ingat kepada perjanjian-Ku . . . Aku akan menebus kamu dengan
tangan yang teracung ... Dan Aku akan membawa kamu ke negeri
yang dengan sumpah telah Kujanjikan memberikannya kepada
Abraham, kepada Ishak dan kepada Yakub" (Kel 6:3-8).
Jadi, sejarah keselamatan dalam masa bapak-bapak leluhur
adalah waktu pemilihan Abraham dan keturunannya oleh Allah dan
waktu janji Allah. Pemenuhan janji itu rupanya ditunda karena tanah
itu didiami orang-orang Kanaan s9 Abraham
dan keturunan langsungnya hanya memiliki ladang dan gua Makhpela (Kej 23),
tempat Abraham (25:7-10), Ishak (35:27-29) dan Yakub (49:29-31) dikuburkan.
Hanya dalam kematianlah, mereka bukan pengembara lagi. Bahkan pada
akhir masa bapak-bapak leluhur, mereka sama sekali tidak tinggal di
tanah itu, tetapi pindah ke tanah Mesir.
Kisah Yusuf merupakan tahap pertama dalam peralihan dari keluarga
bapak leluhur yang semi-nomad menuju bangsa yang merdeka, sesuai
dengan janji Allah. Anak kesayangan itu dibenci oleh saudarasaudaranya,
dijual menjadi budak dan dibawa ke Mesir. Di sana kebajikan,
kebijaksanaan dan keramahan dengan cepat membuatnya maju,
lalu menempatkannya pula dalam kesulitan (Kej 37 - 39).
Karunia yang diberikan Allah untuk mengartikan mimpi-mimpi membuat Yusuf mendapat
perhatian Firaun dan penafsirannya atas mimpi tentang bencana
kelaparan serta pemecahan yang bijaksana yang diberikannya, membawanya pada
kedudukan yang tinggi (Kej 40-41). Pada waktunya hal ini membuka jalan bagi
Yusuf untuk memelihara keluarganya dan membawa mereka ke Mesir (Kej 42
- 47). Kisah yang disusun dengan hati-hati, yang
sangat berbeda bentuknya dengan kisah Abraham dan Yakub, merupakan
satu pelajaran panjang - pemeliharaan Allah meniadakan rencana-rencana
manusia dan membuat maksud-maksud jahat mereka
melayani tujuan-Nya
sendiri. Hal ini dinyatakan terus terang dalam Kejadian 50:20.
Akibat
pengkhianatan terhadap Yusuf justru merupakan langkah pertama dalam pembentukan
umat pilihan Allah. Melalui itu "anak-anak Israel" menjadi masyarakat
tersendiri dan terlindung serta menetap di tanah Gosyen (umumnya dikenali
sebagai delta timur Sungai Nil). Tema "keselamatan" itu
("memelihara hidup suatu bangsa yang besar", 50:20) menanti-nantikan
peristiwa keluaran (dan puncaknya pada pembebasan yang akhir melalui Kristus).
Tetapi, Israel untuk waktu yang lama dapat berkembang sambil tetap
mempertahankan jati dirinya. Janji Allah akan tanah dan keturunan masih akan
dipenuhi, khususnya melalui penyelamatan dramatis dari perbudakan di Mesir dan
pendudukan tanah Kanaan di bawah pimpinan Yosua.
Di
luar pengertian-pengertian yang paling umum ini, rangkaian kisah-kisah yang
berasal dari berbagai latar belakang yang berbeda, dipergunakan untuk
mengajarkan sejumlah kebenaran teologis yang lain. Hanya dua di antaranya yang
penting dapat dibahas di sini.
Dalam kisah
Abraham, janji Allah mengenai keturunan yang tak terbilang banyaknya, telah
menjadi masalah memperoleh seorang anak laki-laki. Pemenuhan janji itu ditunda
secara aneh dan hampir-hampir bertentangin dengan janji itu sendiri. Jelaslah
bahwa inti kisah itu adalah iman Abraham, seperti yang terlihat dalam
panggilannya. Panggilan kepada Abraham bersifat radikal: is harus meninggalkan
akar-akarnya - negeri, ;anak saudara dan keluarga dekatnya (12:1) - untuk pergi
ke tempat rang tidak pasti, "negeri yang akan Kutunjukkan kepadamu".
Setelah )emanggilan itu, penulis dengan sederhana menyuguhkan respons Abraham:
"Lalu pergilah Abraham seperti yang difirmankan Tuhan cepadanya" (ay
4). Abraham ditampilkan sebagai teladan iman; hal perama yang dikatakan
tentang dirinya adalah ketaatan dan kepercayaannya cepada Allah yang
memanggilnya. Di sini penulis bergumul dengan nasalah iman dan hubungannya
dengan kebenaran, sebagaimana dapat iilihat juga dalam Kejadian 15:6:
"Lalu percayalah Abram kepada CUHAN, maka TUHAN memperhitungkan hal itu
kepadanya sebagai cebenaran". Pentingnya ayat ini bukan diihat dalam
bagian kisah nengenai apa yang terjadi antara Allah dengan Abraham (ay 1-5),
tetapi ialam rangkuman penulis bahwa kebenaran Abraham ialah kepercayaaniya,
yakni is beriman akan janji Allah.
Puncak peristiwa mengenai iman Abr$ham terdapat
dalam Kejadian 22, yakni pengurbanan Ishak. Meskipun kisah tersebut mungkin
melarang pengurbanan anak di Israel, namun bukan itu tujuannya dalam Kitab
Kejadian. Kisah itu bukanlah kisah "pengurbanan Ishak" tetapi
"ujian atas iman Abraham", sebagaimana dinyatalan oleh penulis
sendiri (ay 1). Kisah yang aneh ini menceritakan tentang situasi yang menuntut
kepercayaan Abraham yang sungguh-sungguh. la diminta untuk melakukan apa
yang membahayakan janji yang diberikan oleh Allah sendiri: apakah is akan tetap
setia menaati perintah itu. perasaan pembaca bolak-balik antara Abraham, sang
ayah yang harus meoghadapi tragedi yang sungguh berat, dan Abraham, sang algojo
yang akan menusuk tubuh Ishak dengan pisau (lihat Coats 1973). Abraham dapat
melalui ujian itu dengan satu cara saja - iman yang sepenuhnya kepada Allah
yang menjanjikan Ishak kepadanya dan yang memenuhi janji tersebut melampaui
batas kemampuan manusia. Abraham lulus dalam ujian itu dan menjadi teladan
iman bagi umat Allah.
Seperti tertulis dalam Kejadian 15:6, kebenaran
Abraham terkandung dalam kepercayaannya akan janji Allah. Jika kebenaran itu
dipahami, seperti oleh masyarakat barat modern, sebagai kesesuaian dengan
undang-undang moral yang abstfak, maka ini sungguh sulit dipahami. Tetapi,
kebenaran Alkitab bukanlah etika yang menetapkan norma-norma, melainkan
kesetiaan terhadap suatu hubungan pribadi dengan Allah. Orang yang benar akan
setia kepada tuntutan-tuntutan dari semua hubungannya6° Karena itu, makna yang
penting dari ayat ini ialah bahwa seseorang benar dalam hubungan dengan Allah
bila is beriman (Rm 1:16-17; 4; Gal 3:6-9).
Perwujudan pemilihan oleh
kedaulatan Allah dalam sejarah umat perjanjian Allah (25:26); is adalah seorang
perancang yang licik, tepat seperti ibunya (27:5-17,41-45). Pelayanannya selama
dua puluh tahun pada Laban pamannya merupakan pertarungan terus-menerus antara
dua orang yang cerdik, masing-masing berniat mengalahkan yang lain. Akhirnya,
di tepi Sungai Yabok dalam perjalanan kembali ke Kanaan, Yakub menemukan lawan
yang tak dapat dikalahkan ketika is bergumul dengan "seorang
laki-laki". Kemudian is mengenali orang itu sebagai Allah sendiri yang
bergumul dengan dia. Hanya oleh karya Allah yang langsung, Yakub si pengganti
menjadi Israel sang pemenang (32:28).
Kisah-kisah tentang kehidupan Yakub - berdamai
kembali dengan Esau (33:1-11), menyesali kelakuan putranya (34:30), dipandang
setia karena menyingkirkan patung-patung dewa (35:2-3), hancur hati karena
kehilangan putra kesayangannya, Yusuf, (37:33-35) dan akhirnya yang atas
kehendak Tuhan pergi ke Mesir (46:1-5) - adalah sketsa orang yang dikuasai oleh
Allah.6' Permintaannya sebelum meninggal (49:29-32) agar jasadnya dikuburkan di
gua Makhpela melengkapi kisah itu dan menunjukkan dengan jelas bahwa Yakub
hidup dalam janji yang diikrarkan Allah jauh sebelumnya kepada Abraham.
c.
Perjanjian
Unsur
teologis lain yang sangat penting dalam Kejadian 12 - 50 adalah perjanjian yang
diadakan Allah dengan Abraham dalam Kejadian 15 dan 17. Perjanjian merupakan
salah satu gagasan utama dalam Alkitab. Di dunia kuno perjanjian menghasilkan
suatu hubungan yang tidak berdasarkan ikatan darah atau kebiasaan masyarakat;
istilah itu dipergunakan dengan cara yang sama untuk menyebut perjanjian Allah
dan manusia dalam Alkitab. Perjanjian adalah peneguhan hubungan khusus atau
komitmen pada suatu perbuatan tertentu yang tidak terjadi secara alamiah. Ini
disertai dengan sanksi-sanksi melalui sumpah yang biasanya dilakukan dalam
upacara atau pengesahan yang khidmat (lihat Kline 1968: him. 16 dst.). Dalam
Kejadian 15, Allah merendahkan diri dengan menempatkan diri-Nya secara simbolis
di bawah kutukan untuk menegaskan kepada Abraham kepastian janji-janji-Nya.
Allahlah yang bersumpah, tidak ada apa pun yang diminta dari Abraham (kecuali
upacara sunat sebagai tanda ikatan perjanjian, lihat Kej 17). Dengan demikian,
perjanji
61.
Menurut Kejadian 32:28, Yakub menang. Namun, jelas bahwa pemenang yang
sesungguhnya ialah Allah sebagaimana tampak dalam perubahan hidup Yakub dan
namanya yang baru "Israel" yang berarti 'Allah akan menang'.
KITAB
KEJADIANIT,
a. Allah dengan Abraham
berbeda dengan perjanjian Allah dengan Musa
(lihat
di bawah: ps 10.5). Dalam perjanjian dengan Abraham, Allah menempatkan diri-Nya
di bawah kewajiban; sedangkan dalam perjanjian dengan Musa, Israel yang
menerima perjanjian, dituntut untuk bersum= pah, dan karena itu ditempatkan di
bawah peraturan yang ketat. Kedua perjanjian ini sangat berbeda hasilnya.
Karena Allah dengan sungguhsungguh menempatkan diri-Nya di bawah sumpah untuk
memberi tanah dan menjadikan keturunan Abraham sebagai satu bangsa, maka hal
ini merupakan ikatan janji: pelimpahan anugerah dan berkat Allah hanya
bergantung pada sifat Allah yang tak berubah.
Dengan demikian, dalam Kejadian 12 - 50 disajikan
fakta-fakta dasar mengenai awal sejarah keselamatan: Allah dengan bebas memilih
satu orang dan keturunannya. Melalui dia "semua kaum di muka bumi akan
mendapat berkat" (12:3) dan dengan sungguh-sungguh Allah menjanjikan kepadanya
bahwa la akan memberikan tanah kepadanya dan keturunannya akan menjadi suatu
bangsa. Namun, bagaimana hal ini akan terjadi dan dalam keadaan apa, masih akan
dinyatakan selanjutnya. Pasal-pasal ini juga banyak berbicara tentang gaya
hidup yang harus menjadi ciri orang-orang yang menjawab panggilan Allah dan
melalui komitmen, menjadi anggota umat perjanjian-Nya, yakni hidup dalam
keyakinan dan iman kepada Dia yang memanggil mereka. Kitab Kejadian berakhir
dengan adegan yang disiapkan untuk tindakan berikutnya dalam drama
penyelamatan, yaitu peristiwa pembebasan dari perbudakan di Mesir.
tidaklah sederhana, baik secara historis maupun
teologis, seperti yang ditegaskan oleh penulis Kitab Kejadian. Keteganganketegangan
timbul dari sifat manusia yang diperhadapkan dengan Allah yang mahakuasa. Dari
semua tokoh Alkitab, ketegangan-ketegangan ini paling dramatis tampak dalam
kehidupan Yakub. Kisah Abraham menyajikan gambaran orang beriman yang
sungguh-sunguh percaya pada Allah yang memanggilnya. Sebaliknya, kisah Yakub menyajikan
gambaran seorang yang sangat "duniawi" - menggunakan tipu muslihat
dan bersandar pada diri sendiri. Sejak lahirnya is adalah seorang pengganti
60.
Ini meliputi jugs ketaatan terhadap norma atau hukum. Kesetiaan seseorang dalam
kaitan dengan masyarakatnya menuntut adanya ketaatan terhadap norma dan hukum
masyarakat tersebut. Tentang pengertian kebenaran, lihat von Rad (1962: hlm.
370 dst.).
b. Iman dan kebenaran
KELUARAN
Kitab
Keluaran dibagi menjadi:
1.
Keluaran
1-12 Peristiwa-peristiwa yang terjadi di Mesir
2.
Keluaran
13-18 Perjalanan dari Mesir sampai ke gunung Sinai
3.
Keluaran
19-40 Peristiwa-Peristiwa yang terjadi di gunung Sinai
1.
Keluaran 1-12 Peristiwa-Peristiwa yang terjadi di Mesir
Konteks Historis
Ä
Pada
abad 15 SM, Raja Mesir (Ahmosisi I) yang ingin membebaskan diri dari Hiksos dan
ingin menaklukkan wilayah-wilayah Asia
Ä
Keinginan
itu tercapai setelah raja Tutmosis III
mengalahkan Hiksos di lembah Megido
Ä
Mesir
dibawah Ramesses I dan II memukul mundur bangsa Het yang tujuannya untuk
memperluas daerah kekuasaannya
Ä
Perluasan
wilayah ini mendapat perlawanan dari bangsa-bangsa Laut (bangsa Aegeo-Kreta),
namun karena kekuatan bangsa-bangsa laut ini tidak menandingi Mesir maka
bangsa-bangsa Laut menempati wilayah Palestina yang menempati daerah pantai
yang luas (dikenal dengan nama bangsa Pelest). Bangsa inilah yang akhirnya menjadi musuh
pada zaman kerajaan-kerajaan Israel.
Ä
John
Bright, pakar PL menyatakan bahwa Firaun penindas Israel adalah Seti I-Rameses
II, dan kalau dihitung sejak zaman yusuf dan saudara-saudaranya maka bangsa
Israel beserta keturunannya sudah tinggal di Mesir selama 400 tahun (band. Kej 15:13)
Ä
Awal
sejarah bangsa Israel tinggal di Mesir adalah Keturunan Yakub (saudara-saudara
yusuf) dalam masa kelaparan diundang dan tinggal di Mesir
Ä
Bangsa
Israel merasa nyaman di Mesir, hal itu bisa dilihat ketika bangsa Israel
mengalami masalah, maka Israel selalu ingat tentang hidup di Mesir
Ä
Perkembangan
bangsa Israel begitu dahsyat, sehingga Firaun menetapkan setiap bayi laki-laki
Israel harus dibunuh, dan semua orang Israel wajib menjalani kerja paksa
membangun Pitom dan Raamses (Ke3l. 1:11), serta dipersiapkan menjadi pasukan
melawan musuh-musuh Mesir
Ä
Bangsa
Israel berteriak kesakitan, dan itu di dengar Allah sampai Allah mengingat
perjanjian dengan Abraham, maka Allah memakai Musa untuk memimpin bangsa Israel
keluar dari Mesir menuju tanah perjanjian
Konteks Sastra
John Bright melihat pada Kel. 1-12 ini merupakan
plot dari pengungkapan Allah kepada Israel melalui Musa dengan otoritas Allah,
dengan unsur penekanan dan pengulangan.
Buktinya dengan adanya tulah sampai 10 tulah, pengenalan nama Allah
secara berulang-ulang. Hal ini
disebabkan bangsa Israel tegar tengkuk, melihat fakta baru percaya, hal ini
terpengaruh dengan kebudayaan di Mesir, orang Mesir lebih percaya pada hal-hal
yang bersifat magic, dukun-dukun, dsb.
Konteks Isi
Apa
yang dinyatakan atau isi dalam Keluaran 1-12 ini?
1.
Allah
yang omnipresent tahu dengan pasti
segala masalah yang dihadapi oleh bangsa Israel ketika diperbudak di Mesir.
2.
Musa
dipersiapkan oleh Allah untuk menjadi pemimpin bangsa Israel:
¶ Peristiwa pembunuhan
kepada orang Mesir merupakan kesadaran Musa bahwa dia tahu asal usulnya, dan
mencintai bangsanya
¶ Musa di Midian, walaupun
Musa adalah orang yang berpendidikan tetapi dia tulus melakukan banyak hal,
contohnya menggembalakan
¶ Panggilan Musa, Musa
ragu-ragu dan menolak ketika Allah mengutus dirinya untuk memimpin bangsa
Israel keluar dari Mesir karena Musa tahu keadaan bangsa Israel yang keras
kepala, sehingga dia merasa tidak fasih berbicara
¶ Pengungkapan diri/nama
Allah, bangsa Israel terbiasa dengan kondisi budaya Mesir yang banyak
menggunakan mistis, instant, sehingga pada saat pengutusan, Musa bertanya
siapakah nama Allah? Bangsa Israel pasti
menanyakan siapakah nama Allah tersebut.
Namun Allah menyatakan diri-Nya bahwa Allah tidak menyembunyikan
diri-Nya dan bahkan memberikan jalan
untuk bersekutu atau akrab dengan-Nya.
¶ Musa sebagai nabi Allah,
criteria sebagai nabi haruslah jelas, di mana dirinya pernah bertemu dengan
Allah, yang disampaikan adalah Firman Allah, dan beritanya pasti terjadi
(memenuhi standart criteria seorang nabi).
¶ Paskah, diadakan sebagai
tanda peringatan bahwa bangsa Israel ditolong Tuhan ketika keluar dari Mesir,
peristiwa pengampunan (luput dari hukuman), serta persekutuan yang erat antara
Allah dan bangsa Israel.
2. Keluaran 13-18 Perjalanan dari Mesir sampai
ke gunung Sinai
Konteks
Historis
Ä Di mesir terjadi
perkabungan yang dahsyat, sehingga bangsa Israel “mudah” dilepaskan dari Mesir.
Ä
Bangsa
Mesir adalah bangsa yang berpengalaman dalam berperang.
Ä
Sebaliknya
latar belakang bangsa Israel adalah bangsa yang tidak pernah berperang, hanya
pandai menggembala dan menjalani kerja paksa di Mesir.
Ä
Jelas,
bangsa Israel menghadapi kebingungan ketika dikejar pasukan Mesir, di depan
laut, disamping kiri dan kanan ada gunung.
Ä
Allah
tetap sebagai omnipresent, yang tahu kapan dan saatnya bertindak yaitu
melalui Musa dengan tongkatnya membelah laut Teberau.
Ä
Peristiwa
Keluaran dan laut Teberau ini merupakan peristiwa terbesar karya penyelamatan
Israel.
Konteks
Sastra
John Bright menyatakan
bahwa isi dan sastra ini merupkan rangkaian cerita yang spektakuler (yang
disulit dimengerti oleh logika), namun ini bukan cerita dongeng atau fiksi,
namun harus dipahami sebagai karya Allah yang besar.
Membaca kisah ini
merupakan kisah yang berkaitan dengan kisah sebelumnya yaitu sebelum cerita ini
dan sesudah peristiwa ini (dalam hermeneutika disebut konteks dekat dan konteks
jauh). Konteks sebelumnya Allah telah
menolong bangsa Israel keluar dari Mesir, dan kehadiran Allah di gunung
Sinai. Ini menunjukkan kehadiran dan
kemahakuasaan Allah yang tidak dibatasi oleh ruang dan waktu.
Konteks Isi
Hal-hal
yang sangat ditekankan:
1.
Allah
menolong tepat pada waktunya
2.
Peristiwa
“Keluaran” ini merupakan fokus utama dari karya penyelamatan Allah
3.
Allah
menjadi pembela utama bagi umat pilihan-Nya
4.
Keluaran 19-40 Peristiwa-Peristiwa yang terjadi di gunung Sinai
Rute
Perjalanan Israel:
Raamses----Sukot-----Etam-----Baalzefon-----Laut
Teberau-----Mara-----Elim-----Dofka-----Alus---Rafidim----Gunung Sinai
(Horeb)-----Tabera----Kibrot Taawa-----Hazerot---KadesyBarnea----Padang Gurun
Zin------Horma--Edom-----EzionGeber-----Funon------Obot--------Yeabarim------Dibon------Hesybon------Sungai
Yordan----Yerikho----Ai-------Kanaan
Sebenarnya ada jalur yang lebih singkat lagi, walaupun demikian jelas sekali bahwa orang Israel
tidak menempuh rute umum dari Mesir ke Kanaan, yang disebut
"jalan ke negeri orang Filistin"
(Kel 13:17).
Rute ini dimulai dari Sile (Qantara sekarang) dan sejajar dengan pantai, mencapai Kanaan di
Gaza (lihat peta).
Mengapa tidak memakai rute
ini?
1. Karena Allah tidak ingin bangsa Israel cepat
ingat pada kehidupan di Mesir & memutuskan untuk kembali kesana ketika
hadapi tantangan.
2. Allah ingin melatih orang-orang Israel dalam hal
peperangan.
3. Karena rute ini adalah rute yang biasa dipakai oleh tentara Mesir di mana terdapat benteng-benteng dan tempat-tempat perbekalan pada jarak tertentu, maka konfrontasi dengan tentara Mesir pasti
terjadi (ay 17b)
Konteks Historis
Ä
Bangsa
Israel menghadapi persoalan dan tantangan mengenai kebutuhan hidup, seperti
peristiwa air pahit serta keinginan untuk kembali ke Mesir.
Ä
Oleh
karena itu, maka bangsa Israel sering melakukan perbuatan dosa
(bersungut-sungut, tidak percaya kepada Allah), sehingga perlu diturunkan
peraturan-peraturan untuk larangan berbuat dosa.
Ä
Bangsa
Israel tidak hidup sendiri, ada bangsa-bangsa lain yang mengelilingi bangsa
Israel, mereka sudah maju dalam kebudayaan dan tulisan, terutama mereka yang
mempunyai banyak allah, dengan segala aktivitasnya, oleh karena itu Allah ingin
menunjukkan kekudusan-Nya dengan cara ibadah yang telah ditentukan.
Ä
Di
gunung Sinai ini Allah memberikan Taurat dan peraturan mengenai Kemah Suci.
Ä
Kemah Suci adalah tempat suci yang dapat
dibawa-bawa, terdiri dari rangka kisi-kisi
persegi dari kayu akasia yang ditutupi dua tabir yang besar dari kain lenan. Salah satu tabir itu
membentuk ruang utama, Ruang Kudus,
sedangkan tabir kedua menutupi Ruang Mahakudus, suatu ruang yang lebih kecil di balik ruang utama dan
dipisahkan oleh sebuah tabir. Ruang Kudus itu berukuran 10 m x 5 m x 5 m,
sedangkan Ruang Maha Kudus berukuran
5 m tiap sisi. Di dalam Ruang Mahakudus hanya terdapat Tabut Perjanjian, sebuah peti kayu berisi loh batu yang
ditulisi Dasa Titah. Dalam Ruang Kudus
terdapat mezbah kemenyan, kandil dan meja
untuk roti sajian. Kemah Suci ditempatkan dalam pelataran yang berukuran 50 m x 25 m dan dipagari dari bagian
perkemahan lainnya oleh tabir putih
setinggi 5 m. Dalam pelataran di muka kemah suci terdapat mezbah korban bakaran
dan antara mezbah dan Kemah Suci terdapat tempat pembasuhan.
Ä Istilah
Ibrani mishkan, yang sering
diterjemahkan “Kemah Suci', mula-mula berarti 'tempat
kediaman'. Tetapi, dalam Perjanjian Lama kata itu hanya mengacu pada kemah suci sebelum ada Rumah Allah (Bait Suci). Tafsiran yang
dibuat-buat oleh pembaca dahulu tentang Kemah Suci
dan perlengkapannya, yang menganggap setiap rinciannya sebagai lambang yang mempunyai makna rohani, merupakan
tafsiran yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan lagi. Meskipun demikian, Kemah Suci sangat penting
untuk bangsa Israel yang baru saja menerima perjanjian Sinai. Dalam Keluaran 25:8 Allah berfirman: "Dan mereka harus membuat tempat kudus bagiKu, supaya Aku akan diam di
tengah-tengah mereka." Jadi,
Kemah Suci adalah tempat Allah hadir dengan umat-Nya, lambang yang nyata bahwa Dialah Allah mereka.
Di sini Israel akan beribadat dan mengadakan
pendamaian atas pelanggaran-pelanggaran mereka terhadap ketentuan-ketentuan
perjanjian Allah. Kemah
Suci dengan lambang-lambang dan
persembahannya merupakan cara Allah yang
kudus dan kekal untuk hadir di tengah-tengah umat-Nya, atau "berkemah" di antara mereka. Sebagai
lambang kehadiran-Nya, Kemah Suci menantikan penggenapannya ketika Allah dalam
diri Anak-Nya benar-benar hadir di tengah-tengah umat-Nya, yakni ketika
"Firman itu menjadi daging" dan
"diam di antara kita, penuh
dengan kasih karunia dan
kebenaran" (Yoh 1:14).
Konteks
Sastra
Konteks sastra penulisan ini banyak bersifat
didakhe (ajaran), sehingga tidak kaget sering dijumpai bahwa Allah memberikan
perintah dan umat Israel harus melakukan.
Dalam hal ini konteks sastra di sini menunjukkan hubungan yang erat
antara Allah dan umat-Nya, melalui apa yang dikatakan oleh Allah sendiri.
Konteks
Isi
Apa
yang sering ditekankan dan di ulang?
Mengenai
Taurat dan Kemah Suci, apakah kedua-duanya masih relevan bagi gereja di masa
kini?
1.
Kemah
Suci dan peraturan ibadah merupakan peraturan dari Allah untuk orang Israel
sebelum ada Bait Allah, ingat tempat ini selalu dibawa-bawa. Kurang tepat jikalau detail-detail ini
diungkapkan secara literal untuk arti-arti rohani. Karena PB mengatakan bukan cara ibadah yang
penting, namun hati yang haus dan rindu kepada Allah. Ibadah yang sejati adalah ibadah yang
mempersembahkan hidup berkenan kepada Allah.
Peraturan ibadah cocok diterapkan pada zaman Israel sesuai dengan
konteksnya yang berpindah-pindah sesuai dengan tiang awan tiang api. Makna yang terpenting adalah Allah
memerintahkan demikian supaya Allah hadir dan tidak ada dosa di dalamnya. Ingat segala sesuatu dalam Perjanjian lama
ada hubungannya dengan Perjanjian baru dan sudah disempurnakan oleh Yesus.
2.
Taurat
Bagaimana dengan
relevansinya pada masa kini? Bagaimanakah hubungan orang Kristen dan Taurat?
a.
Taurat
PL adalah suatu perjanjian (covenant)
Allah membentuk taurat
dalam Perjanjian Lama adalah kontrak antara Yahweh dan bangsa Israel (600
peraturan dari Kej-Ul)
b.
Perjanjian
Lama bukanlah wasiat kita
Ada hal-hal seperti
kesetiaan yang dituntut dalam PL dengan cara-cara tertentu, namun dalam PB
kesetiaan masih diharapkan namun caranya berbeda.
c.
Jelaslah
ada ketentuan dalam PL yang tidak dibaharui dalam PB
Penumpahan darah binatang (PL), dalam PB (Ibr.
9:22) yang dimaksud dengan darah adalah darah Yesus.
d.
Sebagian
PL dibaharui dalam PB:
Imamat 19:18---Mat.
22:40 tentang kasih.
Beberapa segi etika
dalam PL diulang dalam PB.
e.
Hanyalah
bagian yang dengan tegas dibaharui dari taurat PL dapat dianggap sebagai hukum
Kristus di PB (Gal. 6:2) dan masih berlaku (band. Mat. 5:21-37; Yoh. 7:23; Ul.
6:5; Im. 19:15).
Hukum-hukum yang perlu
dijelaskan dalam Fee hal. 167-171.
Melalui
penyelidikan konteks kitab ini, maka kita memperoleh tujuan penulisan yaitu:
1.
Untuk
melestarikan kisah-kisah yang menjelaskan bagaimana bangsa Israel dibebaskan
dari perbudakan di Mesir.
2.
Untuk
menceritakan penyataan diri Allah kepada bangsa Israel sebagai perluasan
perjanjian.
3.
Untuk
mengajar bangsa Israel bagaimana memelihara hubungan perjanjian caranya melalui
taat pada hukum.
KITAB IMAMAT
Pendahuluan
Di perkemahan dekat Gunung Sinai, umat Israel mengingat pengalaman mereka akan penyelamatan Allah yang dahsyat -
pembebasan mereka dari perbudakan Mesir -
yang tetap menjadi inti kepercayaan mereka dalam
generasi seterusnya. Mereka telah melihat dan mendengar guntur di gunung Allah (Kel 19:16-19). Allah telah
memberikan perintah-perintah-Nya (Kel
20:1-17). Ia telah menyatakan diri sebagai Allah mereka dan mereka sebagai umat-Nya. Allah adalah Maharaja yang mengikat mereka dengan Dia dalam perjanjian.
Namun, bagaimana ikatan ini dapat dipelihara? Israel tidak dapat tinggal selama-Iamanya di Gunung Sinai, karena hal
itu bukan maksud Allah dalam
janji-Nya kepada bapak-bapak leluhur mereka maupun dalam pembebasan mereka dari Mesir. Mereka akan
diam di tanah tempat mereka dapat
mengalami berkat-berkat sebagai umat-Nya. Selain itu, mereka akan menjadi sumber berkat bagi semua bangsa
(Kej 12:3) dengan cara yang belum
dinyatakan dengan jelas dan akan meneruskan kepercayaan mereka kepada bangsa-bangsa lain. Gurun Sinai juga bukanlah tempat untuk itu. Tanah perjanjian itu adalah
Kanaan.
Di Palestina, Israel akan berhadapan dengan kebiasaan-kebiasaan ibadat orang Kanaan, jadi sebelum memasuki tanah perjanjian itu
mereka harus mempelajari cara-cara yang benar
untuk menyembah Allah. Rincian
tentang ibadat ini diberikan dalam Kitab Imamat.
Tujuan umum dari penulisan kitab Imamat ini
adalah untuk memelihara dan mempertahankan hubungan perjanjian antara Israel
dan Allah.
Konteks
Historis
1.
Bangsa
Israel diajar untuk Mempertahankan ibadah yang benar di tengah-tengah
bangsa-bangsa kafir yang menyembah banyak dewa dengan berbagai macam cara.
2.
Maksud
Allah memberikan tata cara ibadah ini adalah supaya Allah berdiam di antara
ibadah dan persembahan mereka.
3.
Bangsa
Israel dituntut untuk menghormati kekudusan Allah.
Konteks
Sastra
Pada bagian ini banyak berisi tentang peraturan
dan pelaksanaan ibadah, oleh sebab itu sastra dari kitab ini juga terdiri dari
peraturan-peraturan (UU). Meskipun kitab
ini untuk bangsa Israel, namun kitab ini sering dikutip dalam kitab-kitab lain
lebih lagi dalam Perjanjian Baru.
Konteks
Isi
Hal
yang paling ditekankan adalah Kekudusan (Qadosh). Semula qadosh berarti 'dipisahkan' atau 'dikhususkan', yaitu untuk maksud keagamaan.
Sebidang tanah, sebuah bangunan, peralatan dalam tempat ibadat atau bahkan seekor kuda dapat dianggap
kudus, yakni dikhususkan untuk maksud keagamaan atau
peribadatan. Allah menyoroti apa saja
tentang kekudusan?
1. Persembahan
Berkaitan dengan waktu, jenis, dan
tujuan
2. Imam
Harus dari keturunan Harun, dan orang Lewi.
Imam besar masuk ke Ruang Maha Kudus setahun sekali.
Imam tugasnya menjaga api agar tetap menyala (1:7; 6:12-13).
3. Darah
Darah sebagai tanda bahwa dosa itu sudah dihapuskan.
4. Hukum kekudusan
Hukum ini mengatur kehidupan sehari-hari bangsa Israel, sehingga
hidupnya tetap kudus di hadapan Allah.
Setelah mempelajari konteks dalam kitab Imamat
ini, maka dapat diketahui tujuan penulisan kitab Imamat adalah:
1. Bangsa Israel memiliki cara-cara khusus untuk menghampiri Allah
2. Bangsa Israel memiliki cara hidup yang benar di hadapan Allah
3. Di balik syarat-syaratnya yang
keras dan peraturan-peraturannya yang ketat terdapat kasih Allah yang mendambakan persekutuan dengan umat-Nya. Anugerah Allah yang sama yang membebaskan mereka
dari perbudakan di Mesir, mengupayakan
agar persekutuan dengan mereka dapat dipelihara.
Agar persekutuan itu dapat dinikmati, kekudusan Allah menghendaki agar dosa diselesaikan dengan cara yang
berkenan kepada-Nya.
4. Dalam menyatakan kasih-Nya yang menyelamatkan - bahwa la
mengasihi orang berdosa tetapi membenci
dosanya - Allah mempergunakan
lambang-lambang dalam Kitab Imamat sebagai persiapan penyataan yang lebih penuh
tentang diri-Nya dalam Kristus (bnd. Ibr 1:1). Lambang atau tipe ini telah digantikan
dengan wujud nyata. Korban-korban simbolis tidak perlu lagi, karena korban Kristus yang telah mewujudkannya.
Nama dan Isi
a.
Nama
Karena buku-buku kuno biasanya dinamai menurut kata-kata
pertamanya, maka judul Kitab
Imamat dalam bahasa Ibrani adalah wayyiqra – “dan Ia memanggil” (Im 1:1). Nama
"Imamat" berasal dari Septuaginta melalui terjemahan Alkitab dalam bahasa Latin, yang
memberikan judul lengkap “orang Lewi."[1]
Kata "imam" lebih sering dipergunakan dalam Kitab Imamat daripada kata "Lewi".[2] Dalam peristiwa di Sinai, Allah telah menyatakan bahwa
umat perjanjian-Nya adalah "kerajaan imam dan bangsa yang kudus" (Kel 19:6).
Secara ideal bangsa Israel merupakan teokrasi: setiap orang adalah imam dengan Allah sebagai
rajanya. Namun, karena keadaan ini kurang praktis, maka dibentuklah
prinsip perwakilan. Anak sulung laki-laki
dari setiap keluarga harus mewakili keluarganya (13:2,13; 22:29). Tetapi, Allah menunjuk orang-orang Lewi
untuk melayani ganti anak sulung laki-laki tersebut: "Sesungguhnya, Aku
mengambil orang Lewi dari antara orang
Israel ganti semua anak sulung mereka, yang terdahulu lahir dari kandungan di antara umat Israel" (Bil 3:12).
Tampaknya, pandangan yang menganggap Kitab
Imamat sebagai "buku panduan para
imam" dalam arti para petugas peribadatan saja, tidak sesuai dengan ajaran Alkitab karena kitab
ini milik semua orang Israel.[3]
b. Isi
Kadang-kadang dikatakan bahwa Kitab Imamat
mengemukakan hukum-hukum upacara keagamaan
Israel. Pernyataan semacam itu biasanya didampingi penelitian terhadap isi Kitab Imamat sebagai kumpulan hukum saja, tanpa usaha untuk memahami makna
dasar kata Ibrani torah (dalam bahasa Indonesia "Taurat").
Dalam bahasa Ibrani kata itu berarti “pengajaran, hukum” yang mencakup melatih murid dan kalau perlu menghajarnya. Jadi, kata itu melukiskan
pengajaran dari ayah atau ibu (Ams 1:8;
3:1).
Prinsip-prinsip yang berasal dari pengamatan
ilmiah dapat pula disebut
"hukum". Dalam arti demikian, prinsip-prinsip yang memerintah kehidupan umat
perjanjian Allah mungkin dapat disebut "hukum".
Lagi pula dalam Perjanjian Lama
"hukum" mencakup peraturan,
pengadilan, perintah dan ajaran. Karena itu, tepatlah jika torah diterjemahkan dengan “hukum.”
Meskipun demikian, jauh lebih bermanfaat jika Kitab Imamat dipandang sebagai kitab
petunjuk untuk bangsa imam dan wakil-wakil mereka, yaitu para imam.
Petunjuk itu mencakup upacara dan ibadat,
yaitu perbuatan dan sikap yang harus dipelihara umat Allah jika mereka menginginkan persekutuan yang tak
terputus dengan Allah.
Tema inti Kitab Imamat dapat diungkapkan melalui istilah qadosh 'kudus' (Im 19:2). Dua pertanyaan muncul dari tema kekudusan ini. Pertama, bagaimana dosa dapat disingkirkan sehingga orang dapat menjadi kudus? Kedua,
bagaimana orang dapat memelihara kekudusan yang
penting untuk bersekutu dengan Allah yang kudus? Imamat 1 - 16 membahas
pertanyaan pertama dan bagian selanjutnya
membahas pertanyaan kedua.
Konsep Kekudusan
a. Pengertian dasar
Semula qadosh berarti 'dipisahkan' atau 'dikhususkan', yaitu
untuk maksud keagamaan. Sebidang tanah, sebuah bangunan, peralatan dalam tempat ibadah atau bahkan seekor kuda dapat dianggap
kudus, yakni dikhususkan untuk maksud keagamaan atau
peribadatan.
Tokoh utama dalam Kitab Imamat adalah Harun dan
tugas keimaman yang dilukiskan dalam kitab ini terbatas pada putra-putranya. Kepada mereka
diberikan tugas untuk melaksanakan pelayanan imam. Tentunya Harun (seperti halnya dengan saudaranya, Musa) adalah salah seorang dari suku
Lewi. Meskipun demikian, diadakan
pembedaan antara "keimaman Harun" yang adalah keturunan Lewi melalui Harun dan "orang
Lewi" yang bukan keturunan Harun.
Kemudian hari ada pembedaan yang jelas antara "imam" dan mengandung
nilai moral. Mungkin saja orang Israel mempunyai rasa hormat dan takut pada waktu ia menghampiri Kemah Suci,
demikian juga Imam Besar pada waktu ia
menghampiri tempat yang Mahakudus. Namun,
perasaan mengenai kuasa mengagumkan yang terdapat dalam benda-benda kudus ini, tidak boleh disamakan
dengan nilai-nilai moral atau etis.
Orang-orang tertentu dianggap kudus, karena
mereka dikhususkan untuk maksud keagamaan,
contohnya imam-imam Israel dalam pelayanan kepada Allah dan juga para pelacur bakti dalam pelayanan kepada Baal, dewa orang Kanaan.[4]
Perhatikanlah Imamat 10:10: "Haruslah kamu
dapat membedakan antara yang kudus dengan
yang tidak kudus, antara yang najis dengan yang tidak najis." Sesuatu yang kudus (misalnya nama Tuhan) tidak
boleh diperlakukan seolah-olah hal
itu bersifat biasa saja. Sesuatu yang "tidak najis" atau tahir menurut peraturan agama,
boleh dipakai untuk beribadat kepada
Allah, sedangkan sesuatu yang "najis" tidak boleh.
b. Pengertian yang
dikembangkan
Pengertian Alkitab tentang kekudusan tidak
terbatas pada pengkhususan. Sering
dikatakan, "Allah adalah kudus" atau "Aku (Allah) adalah
kudus". Penggunaan seperti ini
berarti bahwa Allah terpisah, sebagaimana telah diterangkan. Allah bersifat
rohani dan manusia bersifat jasmani, Allah tidak kelihatan dan manusia kelihatan. Lebih penting lagi, Allah terpisah
dari dosa dan manusia yang berdosa.
Dalam tradisi Alkitab, Allah menciptakan Adam untuk bersekutu dengan-Nya, tetapi
dosa memutuskan persekutuan itu, sehingga
Adam dan Hawa diusir dari taman Eden. Secara simbolis, Allah berada dalam tempat kudus itu sedangkan keluarga manusia berada di luarnya karena dosa
mereka. Jadi kesempurnaan Allah secara moral
menjadi bagian dari konsep kekudusan-Nya dan tuntutan-Nya agar umat
perjanjian-Nya menjadi kudus, selalu terikat dengan hukum moral. Oleh karena itu, kekudusan mulai mencakup arti kesempurnaan moral.[5]
a. Persembahan
Menurut Imamat 7:37 ada lima korban yang termasuk dalam hukum yang dinyatakan Tuhan Allah kepada Musa di Gunung Sinai. Salah satu di antaranya Korban Keselamatan yang dibagi menjadi tiga jenis, sehingga
jumlah jenis korban ada tujuh.
Semuanya kecuali "Korban Sajian" mencakup penyembelihan hewan. Perkataan Ibrani yang
diterjemahkan persembahan berarti 'penyajian' atau
'barang-barang yang dibawa dekat'.
Ada beberapa istilah tentang korban yang perlu
diperhatikan secara khusus. "Korban
penghapus dosa" mudah dikacaukan dengan "korban penebus salah",
karena keduanya sama, kecuali bahwa korban penebus salah menuntut ganti rugi kepada orang yang
dirugikan oleh dosa tersebut.8 Dalam Ulangan 12:27 korban bakaran dibedakan dengan "korban sembelihan" (zevakh), karena korban bakaran seluruhnya dimakan api di atas mezbah, sedangkan sebagian korban sembelihan boleh dimakan oleh imam dan dalam keadaan
tertentu oleh orang yang mempersembahkannya juga.
b. Peranan orang yang mempersembahkan korban
Penyajian dan penyembelihan korban digambarkan
dengan teliti (lihat Im 1:3-9). Dengan sedikit
pengecualian (seperti misalnya korban penghapus dosa untuk seluruh jemaah atau persembahan binatang kecil bersayap oleh orang yang kurang mampu), upacara pada
semua korban itu lama, sampai pada penempatan korban
itu di atas mezbah.
Korban dan Persembahan
Pembawa korban harus menyajikan korbannya secara
pribadi di mezbah atau pintu kemah pertemuan, "supaya TUHAN berkenan akan dia" (1:3). Persembahan itu mewakili hidup orang yang mempersembahkannya - seekor hewan yang dipelihara atau
biji padi-padian yang dipanennya - dengan mutu terbaik (biasanya seekor hewan jantan
tanpa cacat atau tepung halus atau buah sulung yang terbaik). Status ekonomi orang yang membawa persembahan dipertimbangkan. Di kemudian hari barulah orang yang membawa persembahan dapat
membeli di sekitar Rumah Allah korban
persembahan yang tidak berasal dari usaha pribadinya (bnd. Mrk 11:15 dan ayat-ayat yang sejajar dalam Yoh. 2:15-16).
Pembawa persembahan itu kemudian meletakkan
tangannya atas kepala korban, mungkin sebagai
tanda bahwa korban itu mewakili dirinya sendiri (1:4). Apakah pembawa persembahan mengakui dosanya pada waktu menyajikan korban, tidaklah jelas. Karena
upacara hari raya Pendamaian dengan
jelas menetapkan pengakuan semacam itu (16:21), maka sangat mungkin bila
hal ini merupakan bagian dari setiap upacara persembahan korban.
Dosa-dosa tertentu
disebutkan dalam kaitan dengan korban penghapus dosa dan korban penebus salah
(5:1 - 6:7) dan
apabila orang berdosa mengakui bahwa ia telah berbuat dosa (4:14), atau
dosa itu diberitahukan kepadanya (ay 28), maka ia harus mengadakan persembahan. Karena ia membawa persembahan untuk dosa
tertentu, tentu ia membuat pengakuan
di depan umum atas dosa itu.
Kemudian orang yang membawa
persembahan itu harus menyembelih hewan korbannya, menguliti serta
memotong-motongnya. Perbuatan ini memang tidak menjijikkan, mengingat bahwa
setiap keluarga Israel memelihara dan menyembelih
hewan sebagai makanan. Meskipun demikian setiap orang yang memelihara ternak dapat membayangkan perasaan tak menyenangkan ketika harus membunuh hewan
ternaknya, sekalipun hal itu
dilakukan untuk mengakhiri penderitaannya.
Korban-korban dalam Kitab Imamat tidak dimaksudkan untuk
menimbulkan rasa jijik, tetapi untuk menimbulkan
kesan pada orang yang membawa korban bahwa korban itu mewakili dirinya sendiri (lihat 1:4). Pembawa persembahan tidak hanya mengurbankan seekor hewan
pilihan yang telah diperliharanya,
melainkan juga suatu pengganti bagi dirinya sendiri. Semua yang dilakukannya dalam mempersembahkan korban
itu pasti memberi kesan kepadanya
akan hukuman atas dosa, yakni: menuntut nyawa.
c. Peranan Imam
Imam diwajibkan menjaga agar api tetap menyala di
atas mezbah (1:7; 6:12-13).
Tampaknya ada upacara penerimaan korban, mungkin sebagian terlihat dalam kata-kata "sehingga baginya
persembahan itu diperkenan untuk mengadakan pendamaian baginya"
(1:4). Ketika pembawa persembahan
menyembelih hewan, imam menampung darahnya dalam wadah, memercikkan
sebagian ke sekeliling mezbah dan menempatkan selebihnya di bagian bawah mezbah (ay 5).
Upacara korban penghapus dosa sedikit lebih rumit (bnd. 4:4-7). Bagian yang harus dibakar,
setelah dicuci, diletakkan di atas
mezbah. Untuk korban bakaran, seluruh hewan (kecuali kulitnya) harus dibakar; tetapi untuk korban-korban lain, sebagian korban itu menjadi bagian imam dan boleh dimakan olehnya.
Pembedaan yang teliti harus dilakukan. Dalam hal korban
penghapus dosa, baik yang dipersembahkan imam
untuk dosanya sendiri maupun untuk seluruh
jemaat, imam tidak boleh mengambil bagian, karena ia bertindak sebagai imam dan orang berdosa. Dalam hal itu, ia membawa bagiannya ke luar perkemahan dan
membakarnya. Sedangkan korban keselamatan tidak
menyangkut dosa pembawa persembahan sehingga pembawa persembahan maupun imam mengambil bagiannya.
Setiap rincian mempunyai makna yang penting. Tanggung jawab imam untuk mengajar umat dan hukuman atas mereka bila mereka gagal melaksanakan tugas itu, memegang
peranan yang sangat besar dalam
pemberitaan para nabi sehingga kita tidak boleh
mengabaikannya.
d. Pentingnya darah
Dalam seluruh peraturan mengenai korban, darah ditekankan. Hal itu tidak menyenangkan banyak orang pada masa kini
dan sehingga upacara pengurbanan sehingga
ini kemudian dianggap sebagai "agama jagal". Meskipun demikian, fakta
maupun lambang korban darah harus dipahami. Ini
merupakan inti iman Kristen pula, baik dalam pengurbanan
Kristus di atas kayu salib maupun dalam lambang-lambang Perjamuan Kudus. Arti harfiahnya sederhana saja:
penumpahan darah berarti kematian korban. Arti simbolisnya terletak dalam identifikasi (penyamaan diri) si pembawa korban dengan korban itu sendiri, karena kematian korban melambangkan
kematian orang yang berdosa. Hukuman
atas dosa ialah kematian, tetapi hewan mati sebagai ganti orang yang berbuat dosa.
Korban Bakaran dan Korban Persembahan dalam Kitab
Imamat
Upacara hari raya Pendamaian sangat penting
artinya. Meskipun Rumah Allah dan sistem korban tidak dikenal lagi, namun hari
raya Pendamaian (Yom Kippur) tetap menjadi hari tersuci dalam penanggalan Yahudi.
Istilah "pendamaian" dan "mengadakan
pendamaian untuk" sulit dipahami. Dalam bahasa Ibrani arti dasarnya adalah 'menutupi'. Tidak semua ahli menyetujui bahwa itulah artinya dalam
bahasa Ibrani, namun nampaknya pengertian itu
lebih mendekati pengertian dalam Kitab Imamat daripada pengertian 'menyenangkan
hati Allah'.[6]
Yang ditekankan di sini bukanlah hal menyenangkan hati Allah
melainkan hal menutupi dosa, meskipun
Perjanjian Baru dengan jelas mempergunakan istilah pendamaian sebagai salah satu segi penebusan (misal Rm 3:25; 1 Yoh 2:2). Penebusan melalui darah dan tutup pendamaian dalam Kitab Imamat (16:2) melatarbelakangi ajaran itu.
Imam Besar merupakan perantara antara Allah yang
kudus dengan umat-Nya yang berdosa. Dalam lambang kemah perjanjian (kelak, Rumah Allah), Allah hadir di
antara kerub dalam Ruang Maha Kudus. Pada hari raya Pendamaian, Imam Besar
Harun menanggalkan jubah imamatnya, memakai jubah
putih dan melaksanakan upacara. Pertama-tama, ia mengadakan pendamaian bagi
dirinya sendiri dan keluarganya (16:6), karena ia juga seorang berdosa yang dosa-dosanya
perlu ditutupi. Lalu ia
mempersembahkan seekor domba jantan sebagai korban penghapus dosa bagi umat Israel (ay 15). Dalam kedua
peristiwa ini, ia mengambil darah dan
memercikkannya pada tutup pendamaian di Ruang Maha Kudus (ay 13,17).
Karena kenajisan umat itu, Ruang Kudus dianggap tercemar dan
karenanya memerlukan pendamaian (ay 6). Kemudian Harun mengambil seekor kambing hidup dan
meletakkan kedua tangannya di atas
kepalanya, sambil mengakui di atas kepala kambing itu segala kesalahan orang Israel dan segala pelanggaran mereka,
apa pun juga dosa mereka. Setelah "menanggungkan itu ke atas kepala kambing jantan itu" ia
melepaskannya ke padang gurun (ay 21). Secara khusus dinyatakan bahwa
"kambing jantan itu harus mengangkut
segala kesalahan Israel ke tanah yang tandus" (ay 22, tentu saja dipahami secara simbolis dan bukan harfiah,
seperti yang jelas dipahami oleh para
nabi dan penulis Surat Ibrani).
Kambing itu dilepaskan "bagi Azazel"
(ay 26). Ungkapan ini menimbulkan debat yang berkepanjangan antara para penafsir Yahudi dan Kristen. Apakah Azazel itu nama tempat atau
nama salah satu dewa Sinai atau Iblis?
Apakah kambing dilepaskan "bagi Azazel" itu merupakan korban untuk menenangkan Iblis atau
suatu roh jahat? Setiap pandangan itu
agaknya bertentangan dengan semangat hari raya Pendamaian dan tidak
didukung oleh apa pun dalam upacara korban dalam Alkitab. Istilah "Azazel" tidak disebutkan di tempat lain.
Meskipun ada kesulitan, namun penjelasan terbaik adalah menganggap Azazel
sebagai bentuk yang tidak lazim dari
kata kerja Ibrani 'azal 'menyingkirkan' dan menerjemahkan istilah
itu 'untuk penyingkiran (dosa).[7]
Pengertian ini sangat tepat dengan
perbuatan tersebut sebagai lambang, karena kambing hitam mengangkut dosa-dosa umat ke tempat jauh,
tempat dosa-dosa itu tidak lagi berada
di tengah-tengah Israel dan Allah yang kudus.
Kehidupan
yang Kudus
a.
Hukum Kekudusan
Imamat 17 - 26 kadang-kadang
disebut Hukum Kekudusan. Menurut salah
satu bentuk teori sumber, Hukum Kekudusan
adalah salah satu dokumen yang dipergunakan dalam pembentukan Pentateukh (atau Heksateukh) dan disusun oleh penulis dari kalangan imam dalam abad ke-7 atau ke-6 sM (lihat
Eissfeldt 1965: him. 233-239).
Sebenarnya kurang tepat untuk menyebut bagian ini sebagai suatu "hukum". Bagian ini lebih merupakan
kumpulan prinsip-prinsip hidup untuk
umat Allah yang dipanggil menjadi kudus sehingga mungkin lebih cocok disebut "Taurat Kekudusan".
Prinsip-prinsip itu tidak dinyatakan sebagai patokan-patokan hukum,
tetapi merupakan rincian-rincian yang di dalamnya umat Allah mesti hidup sesuai
dengan konsep kekudusan.
Sebagai contoh, di dalamnya termasuk sejumlah pertemuan kudus (23:1-44) seperti Hari Sabat dan Paskah. Tahun
Sabat harus diperingati setiap tahun
ketujuh sebagai masa istirahat untuk tanah garapan (25:1-7).
Antara Kitab Imamat dan Kitab Yehezkiel ada
banyak persamaan. Para ahli mempersoalkan apakah
Yehezkiel mengutip Kitab Imamat ataukah Kitab Imamat disusun oleh para imam yang mengikuti pandangan Yehezkiel. Sebagaimana diakui sejumlah ahli
sekarang, Kitab Imamat mengandung banyak unsur
kuno dari ibadat orang Israel.
Karena itu, sabat tidak dapat
dianggap sebagai suatu pranata yang diciptakan oleh seorang penulis sesudah masa pembuangan.
Tentang bahan-bahan mula-mula dalam apa yang disebut Dokumen Imamat, lihat Clements (1979: him.
118-119).
Tahun Yobel harus diperingati setiap tahun kelima
puluh sebagai tahun penebusan dan pada tahun itu para budak harus
dibebaskan dan tanah dikembalikan kepada
keluarga atau kaum pemilik asalnya (ay 8-55). Ternyata, orang Israel tidak mengindahkan "sabat-sabat"
ini. Baik Yeremia (34:14-22) maupun Yehezkiel (20:12-16) menyatakan bahwa peristiwa pembuangan adalah
hukuman Allah sebagai akibat pelauggaran sabat.[8]
Ketika Yesus ditanya, "Hukum manakah yang
terutama dalam hukum Taurat?" Yesus
menjawab dengan dua perintah (Mat 22:36-40): yang pertama dikutip dari Kitab
Ulangan ("Kasihilah TUHAN, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu') dan yang kedua dari Kitab Imamat ("Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu
sendiri", bnd. Im 19:18).
Perintah untuk mengasihi sesama dalam Kitab
Imamat terdapat pada akhir dari sekelompok
hukum yang beraneka ragam yang mengungkapkan kekudusan (lihat ay 2), seperti menghormati ayah dan ibu, memperingati sabat, menghindari penyembahan berhala,
mempersembahkan korban keselamatan dan
meninggalkan sebagian hasil panen untuk orang pendatang. Perintah mengasihi
sesama menyusul setelah larangan tentang fitnah atau
mengancam hidup atau menuntut balas atau menaruh dendam terhadap sesama. Perintah itu merupakan ringkasan yang tepat mengenaj hubungan seseorang dengan sesamanya dalam
kehidupan sehari-hari.
Hubungan Kitab Imamat dengan
Kitab Lain
a. Kitab Yehezkiel
Dapat dimengerti jika Yehezkiel,
seorang imam (Yeh 1:1) berbicara kepada orang
Yahudi di pengasingan sesaat sebelum dan sesudah penghancuran Bait Allah di
Yerusalem, mengenai penegakkan kembali
peraturan-peraturan upacara Imamat.
b.
Surat Ibrani
Beberapa kali penulis Surat
Ibrani mengutip Kitab Imamat, terutama fasal 16 (tentang hari raya Pendamaian).[9] Ada dua alasan mengapa Ibrani 8 -
10 menarik perhatian: Pertama, pasal-pasal
itu menguraikan pengertian Perjanjian
Baru (karenanya bersifat kanonik) tentang pentingnya upacara imamat. Kedua, pasal-pasal itu
memberikan keterangan tentang para
penerima Surat Ibrani.
Jika Surat Ibrani ditulis
kepada orang Yahudi Kristen yang menghadapi kenyataan bahwa Bait Allah di
Yerusalem telah (atau akan) dihancurkan
dan sistem upacara korban diakhiri, maka surat ini merupakan jawaban atas masalah tentang menggantikan korban-korban
yang diperintahkan oleh Musa.[10] Penulis surat itu menunjukkan
bahwa korban-korban hewan adalah
sekadar "bayangan dari keselamatan yang akan datang" (10:1) yang tidak mampu menghapuskan dosa. Korban Kristus adalah "wujud yang sebenarnya dari
semua ini", sehingga korban tersebut
tidak perlu diulangi. Sebagai kesimpulannya, peraturan Musa tidak diperlukan lagi; sesungguhnya "apa yang
telah menjadi tua dan usang, telah
dekat kepada kemusnahannya" (8:13).
c.
Hukum dan anugerah
Kadang-kadang dikatakan bahwa keselamatan dalam
perjanjian yang lama diperoleh dengan
melaksanakan hukum, sedangkan dalam perjanjian yang baru, orang diselamatkan oleh anugerah saja berdasarkan korban Kristus. Hal ini sebagian besar didasarkan atas
pengertian yang keliru tentang ajaran Paulus dalam
Surat Galatia.
Penelitian yang saksama tentang Taurat dan
bagian Perjanjian Lama lainnya, menunjukkan bahwa manusia tidak pernah
diselamatkan oleh usahanya sendiri, tetapi
oleh anugerah Allah semata-mata. Manusia pantas menerima kutuk dan maut untuk dosanya, namun Allah dengan kemurahan-Nya bersedia menerima manusia atas dasar
iman dan menyediakan sarana yang dipakai-Nya untuk menebus manusia.
Inilah penebusan yang dinyatakan oleh Alkitab.
Demikianlah pengertian Paulus mengenai
perjanjian pokok antara Allah dengan Abraham.
Ia berkata bahwa hal itu tidak
dihapus oleh Taurat yang diberi oleh Musa (Gal 3:6-18).[11]
Surat Ibrani, dalam membahas upacara korban
Perjanjian Lama, menyatakan dengan
ringkas: "Sebab tidak mungkin darah lembu jantan atau domba jantan menghapuskan dosa" (Ibr 10:4). Demikian juga banyak orang Yahudi memahami bahwa keselamatan diperoleh oleh anugerah Allah yang berkuasa:
"Rabi Yokhanan berkata: 'Kamu harus sadar
bahwa manusia tidak dapat memaksa Allah, karena Musa, yang terbesar di antara
para nabi, datang menghadap Allah
hanya dengan permohonan untuk memperoleh
anugerah"'. (Ulangan Rabba wa'etkhanan 2:1)
"Bukan karena perbuatan mereka atau karena
perbuatan leluhur mereka, maka orang Israel dibebaskan dari Mesir dan bukan
pula oleh perbuatan mereka, maka Laut Merah terbelah, melainkan untuk memasyurkan nama Allah . . . Demikianlah Musa berkata kepada Israel: 'Bukan oleh perbuatanmu maka kamu
ditebus, melainkan agar kamu dapat
memuliakan Allah dan menyatakan kuasanya
di antara bangsa-bangsa"'. (Midrasy Mazmur 44:1)
Banyak doa orang Yahudi menyatakan
kebergantungan mereka pada Allah untuk
memperoleh keselamatan:
"Ya Tuhan Raja seluruh dunia! Bukan
bersandarkan pada kebenaran
perbuatan kami, maka kami menaikkan permohonan kami ke hadapan-Mu, tetapi oleh karena anugerah-Mu yang
berlimpah ... Bapa kami,
Raja kami, meskipun kami tidak mempunyai kebenaran dan perbuatan baik, ingatlah
kami karena perjanjian dengan leluhur kami
dan karena kesaksian kami sehari-hari akan keesaan-Mu yang kekal.[12]
Pengertian tentang korban yang diajarkan dalam
Perjanjian Lama tidaklah bersifat magis. Manusia patut mati untuk dosanya dan dengan mempersembahkan korban, ia menyerahkan dirinya
pada kemurahan Allah. Korban adalah
pengganti bagi dirinya dan darah korban menutupi dosanya. Orang Israel
mengetahui, seperti ditunjukkan para nabi bahwa bukan korban yang berfaedah, tetapi kemurahan Allah dalam perjanjian-Nya
(lihat Mi 6:6-8; Yes 1:11-20; Hos 6:6).
d.
Tipe dan lambang
Sepanjang sejarah gereja" para penafsir
melalui tipologi telah berusaha untuk menemukan keseluruhan Injil dalam hampir setiap ayat Perjanjian
Lama, hingga muncul-lah tafsiran yang dibuat-buat dan tidak masuk akal. Karena itu, pada zaman modern tipologi sering
dikritik bahkan dicemooh. Baru akhir-akhir ini muncul
kecenderungan yang sebaliknya. Von Rad (1965:
363-387), antara lain, telah memulihkan tipologi dalam pemahaman Perjanjian Lama.[13]
Penggunaan lambang dipahami dan dapat diterima sepenuhnya. Banyak hal dapat dinyatakan lebih baik dengan
lambang daripada dengan gambaran
abstrak. Lambang ada di sekeliling kita,
misalnya tangan, dilingkari jam
tangan, kalender, bendera, salib dan sebagainya.
Pada dasarnya lambang adalah alat yang dapat
dilihat yang menyatakan gagasan yang abstrak.[14] Salib adalah lambang kasih, pengurbanan, kematian dan keselamatan.
Kemah ibadat di padang gurun melambangkan kehadiran Allah, tempat pertemuan-Nya dengan
umat-Nya.
Harun adalah seorang manusia biasa, tetapi juga seorang imam besar, dan dalam kedudukan itu ia melambangkan kekudusan (terpisah
untuk pelayanan Allah). Korban-korban yang
ia persembahkan pada hari raya Pendamaian melambangkan dosanya sendiri, dosa bangsanya, dan penyingkiran dosa, sehingga dosa itu tidak diingat lagi.
Apabila suatu lambang kemudian digantikan oleh
wujud nyata yang dilambangkannya, lambang
itu disebut tipe[15] dan wujud nyatanya dapat disebut
antitipe. Kemah ibadat Perjanjian Lama
adalah contoh yang terbaik. Sebagai lambang,
kemah tersebut secara nyata mewakili kehadiran Tuhan Allah yang tidak kelihatan, yang tersirat dengan jelas dalam peristiwa
turunnya kemuliaan-Nya di atas kemah suci (Kel 40:34,38). Tetapi, ketika "Firman itu menjadi manusia, dan diam
di antara kita" (Yoh 1:14), lambang
itu digantikan"oleh suatu wujud nyata. Karena itu, kemah suci adalah tipe (atau contoh) Kristus.[16] Demikian juga, korban-korban imamat dapat disebut tipe-tipe, jika arti
simbolisnya ditentukan dan wujud nyatanya
dikenali. Dengan demikian, dalam Surat Ibrani korban tahunan hari raya
Pendamaian dilihat sebagai tipe atau contoh korban Kristus yang berlaku sekali
untuk selamanya (10:1,11-14).
Relevansi Kitab Imamat Pada Masa Kini
Dalam tafsiran tentang Kitab
Imamat, Micklem (1953: hlm. 4) mempertanyakan: "Apakah kitab seperti itu mempunyai tempat dalam Alkitab Kristen?" dan menurutnya jawabannya ialah "ya". Namun, tidak
sedikit pembaca berpendapat bahwa
kitab itu tidak penting pada zaman modern. Bahkan
Mikha (Mi 6:6-8) maupun para nabi yang lain agaknya mempertanyakan keabsahan korban-korban darah dan penulis
Surat Ibrani tampaknya menyingkirkan sistem imamat untuk selamanya (Ibr
8 - 10).
Akan tetapi, jika kasih
Allah tetap relevan pada zaman sekarang, maka demikian
pulalah Kitab Imamat (lihat Childs 1979: hlm. 188). Di balik syarat-syaratnya yang keras dan peraturan-peraturannya yang ketat terdapat kasih Allah yang mendambakan persekutuan
dengan umat-Nya. Anugerah Allah yang
sama yang membebaskan mereka dari perbudakan di Mesir, mengupayakan agar persekutuan dengan mereka dapat dipelihara. Agar persekutuan itu dapat dinikmati,
kekudusan Allah menghendaki agar
dosa diselesaikan dengan cara yang berkenan kepada-Nya. Dengan demikian
Kitab Imamat lebih dari sekadar kumpulan rincian tentang korban dan perayaan, karena kitab itu menguraikan syarat-syarat persekutuan
manusia dengan Allah itu.
Jika korban Kristus tetap
relevan dan juga pembahasan dalam Surat Ibrani, maka demikian pula halnya dengan Kitab Imamat. Pengurbanan Kristus, sebagaimana digambarkan-Nya sendiri
sebelum peristiwa itu terjadi dan
dilukiskan oleh murid-murid-Nya kemudian, hanya dapat
dipahami dengan latar belakang sistem persembahan korban Yahudi. Surat Ibrani
justru menekankan hal ini.
Kitab Imamat juga relevan
dari segi yang lain. Dalam menyatakan kasih-Nya yang menyelamatkan - bahwa Ia
mengasihi orang berdosa tetapi membenci
dosanya - Allah mempergunakan
lambang-lambang dalam Kitab Imamat sebagai persiapan penyataan yang lebih penuh
tentang diri-Nya dalam Kristus (bnd. Ibr 1:1).
Lambang atau tipe ini
telah digantikan dengan wujud
nyata. Korban-korban simbolis tidak perlu lagi, karena korban Kristus yang telah mewujudkannya. Meskipun demikian, lambang-lambang kuno masih mengandung banyak hal
yang berguna sebagai pelajaran.
Sebenarnya, kita tak dapat memahami sepenuhnya konsep-konsep
Perjanjian Baru tentang dosa dan keselamatan terpisah dari Perjanjian Lama yang
menyiapkan jalan untuk penyataan yang baru.
Kadang dikatakan bahwa Allah dan Bapa Yesus
Kristus tidaklah sama dengan Tuhan Allah
Perjanjian Lama. Yesus Kristus sendiri membantah hal ini dengan keras melalui ucapan-Nya dan pengurbanan-Nya. Bapa Yesus Kristus adalah Allah yang kudus, sama
sekali bertentangan dengan dosa dan
Dia menuntut penumpahan darah untuk menghapuskan dosa. Ia telah
memberikan "domba" pengganti dalam diri Anak-Nya sendiri dan melalui Dia pendamaian sudah terwujud (Rm
5:11). Untuk zaman sekarang Kristus
mengingatkan hal ini ("sampai la datang kembali") dalam Perjamuan
Kudus dan mempergunakan bahasa Perjanjian Lama dalam kata-kata
penetapannya (Mat 26:26-28 sejajar dengan Kel. 24:8; bnd. jugs 1 Kor 10:23-27).
Dalam iman, dosa-dosa
ditanggungkan atas "Domba
Allah", yang seperti kambing korban pada hari raya Pendamaian, menghapus dosa-dosa (lihat Yoh
1:29). Tanpa memahami bahasa dan lambang-lambang
dari Kitab Imamat, bagaimana kita dapat memahami sepenuhnya arti yang terdalam dari Perjanjian Baru?
KITAB IMAMAT
Pendahuluan
Di perkemahan dekat Gunung Sinai, umat Israel mengingat pengalaman mereka akan penyelamatan Allah yang dahsyat -
pembebasan mereka dari perbudakan Mesir -
yang tetap menjadi inti kepercayaan mereka dalam
generasi seterusnya. Mereka telah melihat dan mendengar guntur di gunung Allah (Kel 19:16-19). Allah telah
memberikan perintah-perintah-Nya (Kel
20:1-17). Ia telah menyatakan diri sebagai Allah mereka dan mereka sebagai umat-Nya. Allah adalah Maharaja yang mengikat mereka dengan Dia dalam perjanjian.
Namun, bagaimana ikatan ini dapat dipelihara? Israel tidak dapat tinggal selama-Iamanya di Gunung Sinai, karena hal
itu bukan maksud Allah dalam
janji-Nya kepada bapak-bapak leluhur mereka maupun dalam pembebasan mereka dari Mesir. Mereka akan
diam di tanah tempat mereka dapat
mengalami berkat-berkat sebagai umat-Nya. Selain itu, mereka akan menjadi sumber berkat bagi semua bangsa
(Kej 12:3) dengan cara yang belum
dinyatakan dengan jelas dan akan meneruskan kepercayaan mereka kepada bangsa-bangsa lain. Gurun Sinai juga bukanlah tempat untuk itu. Tanah perjanjian itu adalah
Kanaan.
Di Palestina, Israel akan berhadapan dengan kebiasaan-kebiasaan ibadat orang Kanaan, jadi sebelum memasuki tanah perjanjian itu
mereka harus mempelajari cara-cara yang benar
untuk menyembah Allah. Rincian
tentang ibadat ini diberikan dalam Kitab Imamat.
Tujuan umum dari penulisan kitab Imamat ini
adalah untuk memelihara dan mempertahankan hubungan perjanjian antara Israel
dan Allah.
Konteks
Historis
4.
Bangsa
Israel diajar untuk Mempertahankan ibadah yang benar di tengah-tengah
bangsa-bangsa kafir yang menyembah banyak dewa dengan berbagai macam cara.
5.
Maksud
Allah memberikan tata cara ibadah ini adalah supaya Allah berdiam di antara
ibadah dan persembahan mereka.
6.
Bangsa
Israel dituntut untuk menghormati kekudusan Allah.
Konteks
Sastra
Pada bagian ini banyak berisi tentang peraturan
dan pelaksanaan ibadah, oleh sebab itu sastra dari kitab ini juga terdiri dari
peraturan-peraturan (UU). Meskipun kitab
ini untuk bangsa Israel, namun kitab ini sering dikutip dalam kitab-kitab lain
lebih lagi dalam Perjanjian Baru.
Konteks
Isi
Hal
yang paling ditekankan adalah Kekudusan (Qadosh). Semula qadosh berarti 'dipisahkan' atau 'dikhususkan', yaitu untuk maksud keagamaan.
Sebidang tanah, sebuah bangunan, peralatan dalam tempat ibadat atau bahkan seekor kuda dapat dianggap
kudus, yakni dikhususkan untuk maksud keagamaan atau
peribadatan. Allah menyoroti apa saja
tentang kekudusan?
1. Persembahan
Berkaitan dengan waktu, jenis, dan
tujuan
2. Imam
Harus dari keturunan Harun, dan orang Lewi.
Imam besar masuk ke Ruang Maha Kudus setahun sekali.
Imam tugasnya menjaga api agar tetap menyala (1:7; 6:12-13).
3. Darah
Darah sebagai tanda bahwa dosa itu sudah dihapuskan.
4. Hukum kekudusan
Hukum ini mengatur kehidupan sehari-hari bangsa Israel, sehingga
hidupnya tetap kudus di hadapan Allah.
Setelah mempelajari konteks dalam kitab Imamat
ini, maka dapat diketahui tujuan penulisan kitab Imamat adalah:
5. Bangsa Israel memiliki cara-cara khusus untuk menghampiri Allah
6. Bangsa Israel memiliki cara hidup yang benar di hadapan Allah
7. Di balik syarat-syaratnya yang
keras dan peraturan-peraturannya yang ketat terdapat kasih Allah yang mendambakan persekutuan dengan umat-Nya. Anugerah Allah yang sama yang membebaskan mereka
dari perbudakan di Mesir, mengupayakan
agar persekutuan dengan mereka dapat dipelihara.
Agar persekutuan itu dapat dinikmati, kekudusan Allah menghendaki agar dosa diselesaikan dengan cara yang
berkenan kepada-Nya.
8. Dalam menyatakan kasih-Nya yang menyelamatkan - bahwa la
mengasihi orang berdosa tetapi membenci
dosanya - Allah mempergunakan
lambang-lambang dalam Kitab Imamat sebagai persiapan penyataan yang lebih penuh
tentang diri-Nya dalam Kristus (bnd. Ibr 1:1). Lambang atau tipe ini telah digantikan
dengan wujud nyata. Korban-korban simbolis tidak perlu lagi, karena korban Kristus yang telah mewujudkannya.
Nama dan Isi
a.
Nama
Karena buku-buku kuno biasanya dinamai menurut
kata-kata pertamanya, maka judul Kitab
Imamat dalam bahasa Ibrani adalah wayyiqra – “dan Ia memanggil” (Im 1:1). Nama
"Imamat" berasal dari Septuaginta melalui terjemahan Alkitab dalam bahasa Latin, yang
memberikan judul lengkap “orang Lewi."[17]
Kata "imam" lebih sering dipergunakan dalam Kitab Imamat daripada kata "Lewi".[18] Dalam peristiwa di Sinai, Allah telah menyatakan bahwa
umat perjanjian-Nya adalah "kerajaan imam dan bangsa yang kudus" (Kel 19:6).
Secara ideal bangsa Israel merupakan teokrasi: setiap orang adalah imam dengan Allah sebagai
rajanya. Namun, karena keadaan ini kurang praktis, maka dibentuklah
prinsip perwakilan. Anak sulung laki-laki dari
setiap keluarga harus mewakili keluarganya (13:2,13; 22:29). Tetapi, Allah menunjuk orang-orang Lewi
untuk melayani ganti anak sulung laki-laki tersebut: "Sesungguhnya, Aku
mengambil orang Lewi dari antara orang
Israel ganti semua anak sulung mereka, yang terdahulu lahir dari kandungan di antara umat Israel" (Bil 3:12).
Tampaknya, pandangan yang menganggap Kitab
Imamat sebagai "buku panduan para
imam" dalam arti para petugas peribadatan saja, tidak sesuai dengan ajaran Alkitab karena kitab
ini milik semua orang Israel.[19]
b. Isi
Kadang-kadang dikatakan bahwa Kitab Imamat
mengemukakan hukum-hukum upacara keagamaan
Israel. Pernyataan semacam itu biasanya didampingi penelitian terhadap isi Kitab Imamat sebagai kumpulan hukum saja, tanpa usaha untuk memahami makna
dasar kata Ibrani torah (dalam bahasa Indonesia "Taurat").
Dalam bahasa Ibrani kata itu berarti “pengajaran, hukum” yang mencakup melatih murid dan kalau perlu menghajarnya. Jadi, kata itu melukiskan
pengajaran dari ayah atau ibu (Ams 1:8;
3:1).
Prinsip-prinsip yang berasal dari pengamatan
ilmiah dapat pula disebut
"hukum". Dalam arti demikian, prinsip-prinsip yang memerintah kehidupan umat
perjanjian Allah mungkin dapat disebut "hukum".
Lagi pula dalam Perjanjian Lama
"hukum" mencakup peraturan,
pengadilan, perintah dan ajaran. Karena itu, tepatlah jika torah diterjemahkan dengan “hukum.”
Meskipun demikian, jauh lebih bermanfaat jika Kitab Imamat dipandang sebagai kitab
petunjuk untuk bangsa imam dan wakil-wakil mereka, yaitu para imam.
Petunjuk itu mencakup upacara dan ibadat,
yaitu perbuatan dan sikap yang harus dipelihara umat Allah jika mereka menginginkan persekutuan yang tak
terputus dengan Allah.
Tema inti Kitab Imamat dapat diungkapkan melalui istilah qadosh 'kudus' (Im 19:2). Dua pertanyaan muncul dari tema kekudusan ini. Pertama, bagaimana dosa dapat disingkirkan sehingga orang dapat menjadi kudus? Kedua,
bagaimana orang dapat memelihara kekudusan yang
penting untuk bersekutu dengan Allah yang kudus? Imamat 1 - 16 membahas
pertanyaan pertama dan bagian selanjutnya
membahas pertanyaan kedua.
Konsep Kekudusan
a. Pengertian dasar
Semula qadosh berarti 'dipisahkan' atau 'dikhususkan', yaitu
untuk maksud keagamaan. Sebidang tanah, sebuah bangunan, peralatan dalam tempat ibadah atau bahkan seekor kuda dapat dianggap
kudus, yakni dikhususkan untuk maksud keagamaan atau
peribadatan.
Tokoh utama dalam Kitab Imamat adalah Harun dan
tugas keimaman yang dilukiskan dalam kitab ini terbatas pada putra-putranya. Kepada mereka
diberikan tugas untuk melaksanakan pelayanan imam. Tentunya Harun (seperti halnya dengan saudaranya, Musa) adalah salah seorang dari suku
Lewi. Meskipun demikian, diadakan
pembedaan antara "keimaman Harun" yang adalah keturunan Lewi melalui Harun dan "orang
Lewi" yang bukan keturunan Harun.
Kemudian hari ada pembedaan yang jelas antara "imam" dan mengandung
nilai moral. Mungkin saja orang Israel mempunyai rasa hormat dan takut pada waktu ia menghampiri Kemah Suci,
demikian juga Imam Besar pada waktu ia
menghampiri tempat yang Mahakudus. Namun,
perasaan mengenai kuasa mengagumkan yang terdapat dalam benda-benda kudus ini, tidak boleh disamakan
dengan nilai-nilai moral atau etis.
Orang-orang tertentu dianggap kudus, karena
mereka dikhususkan untuk maksud keagamaan,
contohnya imam-imam Israel dalam pelayanan kepada Allah dan juga para pelacur bakti dalam pelayanan kepada Baal, dewa orang Kanaan.[20]
Perhatikanlah Imamat 10:10: "Haruslah kamu
dapat membedakan antara yang kudus dengan
yang tidak kudus, antara yang najis dengan yang tidak najis." Sesuatu yang kudus (misalnya nama Tuhan) tidak
boleh diperlakukan seolah-olah hal
itu bersifat biasa saja. Sesuatu yang "tidak najis" atau tahir menurut peraturan agama,
boleh dipakai untuk beribadat kepada
Allah, sedangkan sesuatu yang "najis" tidak boleh.
b. Pengertian yang
dikembangkan
Pengertian Alkitab tentang kekudusan tidak
terbatas pada pengkhususan. Sering
dikatakan, "Allah adalah kudus" atau "Aku (Allah) adalah
kudus". Penggunaan seperti ini
berarti bahwa Allah terpisah, sebagaimana telah diterangkan. Allah bersifat
rohani dan manusia bersifat jasmani, Allah tidak kelihatan dan manusia kelihatan. Lebih penting lagi, Allah terpisah
dari dosa dan manusia yang berdosa.
Dalam tradisi Alkitab, Allah menciptakan Adam untuk bersekutu dengan-Nya, tetapi
dosa memutuskan persekutuan itu, sehingga
Adam dan Hawa diusir dari taman Eden. Secara simbolis, Allah berada dalam tempat kudus itu sedangkan keluarga manusia berada di luarnya karena dosa
mereka. Jadi kesempurnaan Allah secara moral
menjadi bagian dari konsep kekudusan-Nya dan tuntutan-Nya agar umat
perjanjian-Nya menjadi kudus, selalu terikat dengan hukum moral. Oleh karena itu, kekudusan mulai mencakup arti kesempurnaan moral.[21]
a. Persembahan
Menurut Imamat 7:37 ada lima korban yang termasuk dalam hukum yang dinyatakan Tuhan Allah kepada Musa di Gunung Sinai. Salah satu di antaranya Korban Keselamatan yang dibagi menjadi tiga jenis, sehingga
jumlah jenis korban ada tujuh.
Semuanya kecuali "Korban Sajian" mencakup penyembelihan hewan. Perkataan Ibrani yang
diterjemahkan persembahan berarti 'penyajian' atau
'barang-barang yang dibawa dekat'.
Ada beberapa istilah tentang korban yang perlu
diperhatikan secara khusus. "Korban
penghapus dosa" mudah dikacaukan dengan "korban penebus salah",
karena keduanya sama, kecuali bahwa korban penebus salah menuntut ganti rugi kepada orang yang
dirugikan oleh dosa tersebut.8 Dalam Ulangan 12:27 korban bakaran dibedakan dengan "korban sembelihan" (zevakh), karena korban bakaran seluruhnya dimakan api di atas mezbah, sedangkan sebagian korban sembelihan boleh dimakan oleh imam dan dalam keadaan
tertentu oleh orang yang mempersembahkannya juga.
b. Peranan orang yang mempersembahkan korban
Penyajian dan penyembelihan korban digambarkan
dengan teliti (lihat Im 1:3-9). Dengan sedikit
pengecualian (seperti misalnya korban penghapus dosa untuk seluruh jemaah atau persembahan binatang kecil bersayap oleh orang yang kurang mampu), upacara pada
semua korban itu lama, sampai pada penempatan korban
itu di atas mezbah.
Korban dan Persembahan
Pembawa korban harus menyajikan korbannya secara
pribadi di mezbah atau pintu kemah pertemuan, "supaya TUHAN berkenan akan dia" (1:3). Persembahan itu mewakili hidup orang yang mempersembahkannya - seekor hewan yang dipelihara atau
biji padi-padian yang dipanennya - dengan mutu terbaik (biasanya seekor hewan jantan
tanpa cacat atau tepung halus atau buah sulung yang terbaik). Status ekonomi orang yang membawa persembahan dipertimbangkan. Di kemudian hari barulah orang yang membawa persembahan dapat
membeli di sekitar Rumah Allah korban
persembahan yang tidak berasal dari usaha pribadinya (bnd. Mrk 11:15 dan ayat-ayat yang sejajar dalam Yoh. 2:15-16).
Pembawa persembahan itu kemudian meletakkan
tangannya atas kepala korban, mungkin sebagai
tanda bahwa korban itu mewakili dirinya sendiri (1:4). Apakah pembawa persembahan mengakui dosanya pada waktu menyajikan korban, tidaklah jelas. Karena
upacara hari raya Pendamaian dengan
jelas menetapkan pengakuan semacam itu (16:21), maka sangat mungkin bila
hal ini merupakan bagian dari setiap upacara persembahan korban.
Dosa-dosa tertentu
disebutkan dalam kaitan dengan korban penghapus dosa dan korban penebus salah
(5:1 - 6:7) dan
apabila orang berdosa mengakui bahwa ia telah berbuat dosa (4:14), atau
dosa itu diberitahukan kepadanya (ay 28), maka ia harus mengadakan persembahan. Karena ia membawa persembahan untuk dosa
tertentu, tentu ia membuat pengakuan
di depan umum atas dosa itu.
Kemudian orang yang membawa
persembahan itu harus menyembelih hewan korbannya, menguliti serta
memotong-motongnya. Perbuatan ini memang tidak menjijikkan, mengingat bahwa
setiap keluarga Israel memelihara dan menyembelih
hewan sebagai makanan. Meskipun demikian setiap orang yang memelihara ternak dapat membayangkan perasaan tak menyenangkan ketika harus membunuh hewan
ternaknya, sekalipun hal itu
dilakukan untuk mengakhiri penderitaannya.
Korban-korban dalam Kitab Imamat tidak dimaksudkan untuk
menimbulkan rasa jijik, tetapi untuk menimbulkan
kesan pada orang yang membawa korban bahwa korban itu mewakili dirinya sendiri (lihat 1:4). Pembawa persembahan tidak hanya mengurbankan seekor hewan
pilihan yang telah diperliharanya,
melainkan juga suatu pengganti bagi dirinya sendiri. Semua yang dilakukannya dalam mempersembahkan korban
itu pasti memberi kesan kepadanya
akan hukuman atas dosa, yakni: menuntut nyawa.
c. Peranan Imam
Imam diwajibkan menjaga agar api tetap menyala di
atas mezbah (1:7; 6:12-13).
Tampaknya ada upacara penerimaan korban, mungkin sebagian terlihat dalam kata-kata "sehingga baginya
persembahan itu diperkenan untuk mengadakan pendamaian baginya"
(1:4). Ketika pembawa persembahan
menyembelih hewan, imam menampung darahnya dalam wadah, memercikkan
sebagian ke sekeliling mezbah dan menempatkan selebihnya di bagian bawah mezbah (ay 5).
Upacara korban penghapus dosa sedikit lebih rumit (bnd. 4:4-7). Bagian yang harus dibakar,
setelah dicuci, diletakkan di atas
mezbah. Untuk korban bakaran, seluruh hewan (kecuali kulitnya) harus dibakar; tetapi untuk korban-korban lain, sebagian korban itu menjadi bagian imam dan boleh dimakan olehnya.
Pembedaan yang teliti harus dilakukan. Dalam hal korban
penghapus dosa, baik yang dipersembahkan imam
untuk dosanya sendiri maupun untuk seluruh
jemaat, imam tidak boleh mengambil bagian, karena ia bertindak sebagai imam dan orang berdosa. Dalam hal itu, ia membawa bagiannya ke luar perkemahan dan
membakarnya. Sedangkan korban keselamatan tidak
menyangkut dosa pembawa persembahan sehingga pembawa persembahan maupun imam mengambil bagiannya.
Setiap rincian mempunyai makna yang penting. Tanggung jawab imam untuk mengajar umat dan hukuman atas mereka bila mereka gagal melaksanakan tugas itu, memegang
peranan yang sangat besar dalam
pemberitaan para nabi sehingga kita tidak boleh
mengabaikannya.
d. Pentingnya darah
Dalam seluruh peraturan mengenai korban, darah ditekankan. Hal itu tidak menyenangkan banyak orang pada masa kini
dan sehingga upacara pengurbanan sehingga
ini kemudian dianggap sebagai "agama jagal". Meskipun demikian, fakta
maupun lambang korban darah harus dipahami. Ini
merupakan inti iman Kristen pula, baik dalam
pengurbanan Kristus di atas kayu salib maupun dalam lambang-lambang Perjamuan Kudus. Arti harfiahnya sederhana saja:
penumpahan darah berarti kematian korban. Arti simbolisnya terletak dalam identifikasi (penyamaan diri) si pembawa korban dengan korban itu sendiri, karena kematian korban melambangkan
kematian orang yang berdosa. Hukuman
atas dosa ialah kematian, tetapi hewan mati sebagai ganti orang yang berbuat dosa.
Korban Bakaran dan Korban Persembahan dalam Kitab
Imamat
Upacara hari raya Pendamaian sangat penting
artinya. Meskipun Rumah Allah dan sistem korban tidak dikenal lagi, namun hari
raya Pendamaian (Yom Kippur) tetap menjadi hari tersuci dalam penanggalan Yahudi.
Istilah "pendamaian" dan "mengadakan
pendamaian untuk" sulit dipahami. Dalam bahasa Ibrani arti dasarnya adalah 'menutupi'. Tidak semua ahli menyetujui bahwa itulah artinya dalam
bahasa Ibrani, namun nampaknya pengertian itu
lebih mendekati pengertian dalam Kitab Imamat daripada pengertian 'menyenangkan
hati Allah'.[22]
Yang ditekankan di sini bukanlah hal menyenangkan hati Allah
melainkan hal menutupi dosa, meskipun
Perjanjian Baru dengan jelas mempergunakan istilah pendamaian sebagai salah satu segi penebusan (misal Rm 3:25; 1 Yoh 2:2). Penebusan melalui darah dan tutup pendamaian dalam Kitab Imamat (16:2) melatarbelakangi ajaran itu.
Imam Besar merupakan perantara antara Allah yang
kudus dengan umat-Nya yang berdosa. Dalam lambang kemah perjanjian (kelak, Rumah Allah), Allah hadir di
antara kerub dalam Ruang Maha Kudus. Pada hari raya Pendamaian, Imam Besar
Harun menanggalkan jubah imamatnya, memakai jubah
putih dan melaksanakan upacara. Pertama-tama, ia mengadakan pendamaian bagi dirinya
sendiri dan keluarganya (16:6), karena
ia juga seorang berdosa yang dosa-dosanya perlu ditutupi. Lalu ia mempersembahkan seekor domba jantan sebagai
korban penghapus dosa bagi umat
Israel (ay 15). Dalam kedua peristiwa ini, ia mengambil darah dan memercikkannya pada tutup
pendamaian di Ruang Maha Kudus (ay
13,17).
Karena kenajisan umat itu, Ruang Kudus dianggap tercemar dan
karenanya memerlukan pendamaian (ay 6). Kemudian Harun mengambil seekor kambing hidup dan
meletakkan kedua tangannya di atas kepalanya,
sambil mengakui di atas kepala kambing
itu segala kesalahan orang Israel dan segala pelanggaran mereka, apa pun juga
dosa mereka. Setelah "menanggungkan itu ke atas kepala kambing jantan itu" ia melepaskannya ke padang gurun
(ay 21). Secara khusus dinyatakan bahwa "kambing jantan itu harus mengangkut segala kesalahan Israel ke tanah yang
tandus" (ay 22, tentu saja
dipahami secara simbolis dan bukan harfiah, seperti yang jelas dipahami oleh para nabi dan penulis Surat Ibrani).
Kambing itu dilepaskan "bagi Azazel"
(ay 26). Ungkapan ini menimbulkan debat yang berkepanjangan antara para penafsir Yahudi dan Kristen. Apakah Azazel itu nama tempat atau
nama salah satu dewa Sinai atau Iblis?
Apakah kambing dilepaskan "bagi Azazel" itu merupakan korban untuk menenangkan Iblis atau
suatu roh jahat? Setiap pandangan itu
agaknya bertentangan dengan semangat hari raya Pendamaian dan tidak
didukung oleh apa pun dalam upacara korban dalam Alkitab. Istilah "Azazel" tidak disebutkan di tempat lain.
Meskipun ada kesulitan, namun penjelasan terbaik adalah menganggap Azazel
sebagai bentuk yang tidak lazim dari
kata kerja Ibrani 'azal 'menyingkirkan' dan menerjemahkan istilah
itu 'untuk penyingkiran (dosa).[23]
Pengertian ini sangat tepat dengan
perbuatan tersebut sebagai lambang, karena kambing hitam mengangkut dosa-dosa umat ke tempat jauh,
tempat dosa-dosa itu tidak lagi
berada di tengah-tengah Israel dan Allah yang kudus.
Kehidupan
yang Kudus
a.
Hukum Kekudusan
Imamat 17 - 26 kadang-kadang
disebut Hukum Kekudusan. Menurut salah
satu bentuk teori sumber, Hukum Kekudusan
adalah salah satu dokumen yang dipergunakan dalam pembentukan Pentateukh (atau Heksateukh) dan disusun oleh penulis dari kalangan imam dalam abad ke-7 atau ke-6 sM (lihat
Eissfeldt 1965: him. 233-239).
Sebenarnya kurang tepat untuk menyebut bagian ini sebagai suatu "hukum". Bagian ini lebih merupakan
kumpulan prinsip-prinsip hidup untuk
umat Allah yang dipanggil menjadi kudus sehingga mungkin lebih cocok disebut "Taurat Kekudusan".
Prinsip-prinsip itu tidak dinyatakan sebagai patokan-patokan hukum,
tetapi merupakan rincian-rincian yang di dalamnya umat Allah mesti hidup sesuai
dengan konsep kekudusan.
Sebagai contoh, di dalamnya termasuk sejumlah pertemuan kudus (23:1-44) seperti Hari Sabat dan Paskah. Tahun
Sabat harus diperingati setiap tahun
ketujuh sebagai masa istirahat untuk tanah garapan (25:1-7).
Antara Kitab Imamat dan Kitab Yehezkiel ada
banyak persamaan. Para ahli mempersoalkan apakah
Yehezkiel mengutip Kitab Imamat ataukah Kitab Imamat disusun oleh para imam yang mengikuti pandangan Yehezkiel. Sebagaimana diakui sejumlah ahli
sekarang, Kitab Imamat mengandung banyak unsur
kuno dari ibadat orang Israel.
Karena itu, sabat tidak dapat
dianggap sebagai suatu pranata yang diciptakan oleh seorang penulis sesudah masa pembuangan.
Tentang bahan-bahan mula-mula dalam apa yang disebut Dokumen Imamat, lihat Clements (1979: him.
118-119).
Tahun Yobel harus diperingati setiap tahun kelima
puluh sebagai tahun penebusan dan pada tahun itu para budak harus
dibebaskan dan tanah dikembalikan kepada
keluarga atau kaum pemilik asalnya (ay 8-55). Ternyata, orang Israel tidak mengindahkan "sabat-sabat"
ini. Baik Yeremia (34:14-22) maupun Yehezkiel (20:12-16) menyatakan bahwa peristiwa pembuangan adalah
hukuman Allah sebagai akibat pelauggaran sabat.[24]
Ketika Yesus ditanya, "Hukum manakah yang
terutama dalam hukum Taurat?" Yesus
menjawab dengan dua perintah (Mat 22:36-40): yang pertama dikutip dari Kitab
Ulangan ("Kasihilah TUHAN, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu') dan yang kedua dari Kitab Imamat ("Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu
sendiri", bnd. Im 19:18).
Perintah untuk mengasihi sesama dalam Kitab
Imamat terdapat pada akhir dari sekelompok
hukum yang beraneka ragam yang mengungkapkan kekudusan (lihat ay 2), seperti menghormati ayah dan ibu, memperingati sabat, menghindari penyembahan berhala,
mempersembahkan korban keselamatan dan
meninggalkan sebagian hasil panen untuk orang pendatang. Perintah mengasihi
sesama menyusul setelah larangan tentang fitnah atau
mengancam hidup atau menuntut balas atau menaruh dendam terhadap sesama. Perintah itu merupakan ringkasan yang tepat mengenaj hubungan seseorang dengan sesamanya dalam
kehidupan sehari-hari.
Hubungan Kitab Imamat dengan
Kitab Lain
a. Kitab Yehezkiel
Dapat dimengerti jika Yehezkiel,
seorang imam (Yeh 1:1) berbicara kepada orang
Yahudi di pengasingan sesaat sebelum dan sesudah penghancuran Bait Allah di
Yerusalem, mengenai penegakkan kembali
peraturan-peraturan upacara Imamat.
b.
Surat Ibrani
Beberapa kali penulis Surat
Ibrani mengutip Kitab Imamat, terutama fasal 16 (tentang hari raya Pendamaian).[25] Ada dua alasan mengapa Ibrani 8 -
10 menarik perhatian: Pertama, pasal-pasal
itu menguraikan pengertian Perjanjian
Baru (karenanya bersifat kanonik) tentang pentingnya upacara imamat. Kedua, pasal-pasal itu
memberikan keterangan tentang para
penerima Surat Ibrani.
Jika Surat Ibrani ditulis
kepada orang Yahudi Kristen yang menghadapi kenyataan bahwa Bait Allah di
Yerusalem telah (atau akan) dihancurkan
dan sistem upacara korban diakhiri, maka surat ini merupakan jawaban atas masalah tentang menggantikan korban-korban
yang diperintahkan oleh Musa.[26] Penulis surat itu menunjukkan
bahwa korban-korban hewan adalah
sekadar "bayangan dari keselamatan yang akan datang" (10:1) yang tidak mampu menghapuskan dosa. Korban Kristus adalah "wujud yang sebenarnya dari
semua ini", sehingga korban tersebut
tidak perlu diulangi. Sebagai kesimpulannya, peraturan Musa tidak diperlukan lagi; sesungguhnya "apa yang
telah menjadi tua dan usang, telah
dekat kepada kemusnahannya" (8:13).
c.
Hukum dan anugerah
Kadang-kadang dikatakan bahwa keselamatan dalam
perjanjian yang lama diperoleh dengan
melaksanakan hukum, sedangkan dalam perjanjian yang baru, orang diselamatkan oleh anugerah saja berdasarkan korban Kristus. Hal ini sebagian besar didasarkan atas
pengertian yang keliru tentang ajaran Paulus dalam
Surat Galatia.
Penelitian yang saksama tentang Taurat dan
bagian Perjanjian Lama lainnya, menunjukkan bahwa manusia tidak pernah
diselamatkan oleh usahanya sendiri, tetapi
oleh anugerah Allah semata-mata. Manusia pantas menerima kutuk dan maut untuk dosanya, namun Allah dengan kemurahan-Nya bersedia menerima manusia atas dasar
iman dan menyediakan sarana yang dipakai-Nya untuk menebus manusia.
Inilah penebusan yang dinyatakan oleh
Alkitab. Demikianlah pengertian Paulus mengenai
perjanjian pokok antara Allah dengan Abraham.
Ia berkata bahwa hal itu tidak
dihapus oleh Taurat yang diberi oleh Musa (Gal 3:6-18).[27]
Surat Ibrani, dalam membahas upacara korban
Perjanjian Lama, menyatakan dengan
ringkas: "Sebab tidak mungkin darah lembu jantan atau domba jantan menghapuskan dosa" (Ibr 10:4). Demikian juga banyak orang Yahudi memahami bahwa keselamatan diperoleh oleh anugerah Allah yang berkuasa:
"Rabi Yokhanan berkata: 'Kamu harus sadar
bahwa manusia tidak dapat memaksa Allah, karena Musa, yang terbesar di antara
para nabi, datang menghadap Allah
hanya dengan permohonan untuk memperoleh
anugerah"'. (Ulangan Rabba wa'etkhanan 2:1)
"Bukan karena perbuatan mereka atau karena
perbuatan leluhur mereka, maka orang Israel dibebaskan dari Mesir dan bukan
pula oleh perbuatan mereka, maka Laut Merah terbelah, melainkan untuk memasyurkan nama Allah . . . Demikianlah Musa berkata kepada Israel: 'Bukan oleh perbuatanmu maka kamu
ditebus, melainkan agar kamu dapat
memuliakan Allah dan menyatakan kuasanya
di antara bangsa-bangsa"'. (Midrasy Mazmur 44:1)
Banyak doa orang Yahudi menyatakan
kebergantungan mereka pada Allah untuk
memperoleh keselamatan:
"Ya Tuhan Raja seluruh dunia! Bukan
bersandarkan pada kebenaran
perbuatan kami, maka kami menaikkan permohonan kami ke hadapan-Mu, tetapi oleh karena anugerah-Mu yang
berlimpah ... Bapa kami,
Raja kami, meskipun kami tidak mempunyai kebenaran dan perbuatan baik, ingatlah
kami karena perjanjian dengan leluhur kami
dan karena kesaksian kami sehari-hari akan keesaan-Mu yang kekal.[28]
Pengertian tentang korban yang diajarkan dalam
Perjanjian Lama tidaklah bersifat magis. Manusia patut mati untuk dosanya dan dengan mempersembahkan korban, ia menyerahkan dirinya
pada kemurahan Allah. Korban adalah
pengganti bagi dirinya dan darah korban menutupi dosanya. Orang Israel
mengetahui, seperti ditunjukkan para nabi bahwa bukan korban yang berfaedah, tetapi kemurahan Allah dalam perjanjian-Nya
(lihat Mi 6:6-8; Yes 1:11-20; Hos 6:6).
d.
Tipe dan lambang
Sepanjang sejarah gereja" para penafsir
melalui tipologi telah berusaha untuk menemukan keseluruhan Injil dalam hampir setiap ayat Perjanjian
Lama, hingga muncul-lah tafsiran yang dibuat-buat dan tidak masuk akal. Karena itu, pada zaman modern tipologi sering
dikritik bahkan dicemooh. Baru akhir-akhir ini muncul
kecenderungan yang sebaliknya. Von Rad (1965:
363-387), antara lain, telah memulihkan tipologi dalam pemahaman Perjanjian Lama.[29]
Penggunaan lambang dipahami dan dapat diterima sepenuhnya. Banyak hal dapat dinyatakan lebih baik dengan
lambang daripada dengan gambaran
abstrak. Lambang ada di sekeliling kita,
misalnya tangan, dilingkari jam
tangan, kalender, bendera, salib dan sebagainya.
Pada dasarnya lambang adalah alat yang dapat
dilihat yang menyatakan gagasan yang abstrak.[30] Salib adalah lambang kasih, pengurbanan, kematian dan keselamatan.
Kemah ibadat di padang gurun melambangkan kehadiran Allah, tempat pertemuan-Nya dengan
umat-Nya.
Harun adalah seorang manusia biasa, tetapi juga seorang imam besar, dan dalam kedudukan itu ia melambangkan kekudusan (terpisah
untuk pelayanan Allah). Korban-korban yang
ia persembahkan pada hari raya Pendamaian melambangkan dosanya sendiri, dosa bangsanya, dan penyingkiran dosa, sehingga dosa itu tidak diingat lagi.
Apabila suatu lambang kemudian digantikan oleh
wujud nyata yang dilambangkannya, lambang
itu disebut tipe[31] dan wujud nyatanya dapat disebut
antitipe. Kemah ibadat Perjanjian Lama
adalah contoh yang terbaik. Sebagai
lambang, kemah tersebut secara nyata mewakili kehadiran Tuhan Allah yang tidak kelihatan, yang tersirat
dengan jelas dalam peristiwa turunnya kemuliaan-Nya di atas kemah suci
(Kel 40:34,38). Tetapi, ketika "Firman
itu menjadi manusia, dan diam di antara kita" (Yoh 1:14), lambang itu digantikan"oleh suatu wujud
nyata. Karena itu, kemah suci adalah
tipe (atau contoh) Kristus.[32] Demikian juga, korban-korban imamat dapat disebut tipe-tipe, jika arti
simbolisnya ditentukan dan wujud nyatanya
dikenali. Dengan demikian, dalam Surat Ibrani korban tahunan hari raya
Pendamaian dilihat sebagai tipe atau contoh korban Kristus yang berlaku sekali
untuk selamanya (10:1,11-14).
Relevansi Kitab Imamat Pada Masa Kini
Dalam tafsiran tentang Kitab
Imamat, Micklem (1953: hlm. 4) mempertanyakan: "Apakah kitab seperti itu mempunyai tempat dalam Alkitab Kristen?" dan menurutnya jawabannya ialah "ya". Namun, tidak
sedikit pembaca berpendapat bahwa
kitab itu tidak penting pada zaman modern. Bahkan
Mikha (Mi 6:6-8) maupun para nabi yang lain agaknya mempertanyakan keabsahan korban-korban darah dan penulis
Surat Ibrani tampaknya menyingkirkan sistem imamat untuk selamanya (Ibr
8 - 10).
Akan tetapi, jika kasih
Allah tetap relevan pada zaman sekarang, maka demikian
pulalah Kitab Imamat (lihat Childs 1979: hlm. 188). Di balik syarat-syaratnya yang keras dan peraturan-peraturannya yang ketat terdapat kasih Allah yang mendambakan persekutuan
dengan umat-Nya. Anugerah Allah yang
sama yang membebaskan mereka dari perbudakan di Mesir, mengupayakan agar persekutuan dengan mereka dapat dipelihara. Agar persekutuan itu dapat dinikmati,
kekudusan Allah menghendaki agar
dosa diselesaikan dengan cara yang berkenan kepada-Nya. Dengan demikian
Kitab Imamat lebih dari sekadar kumpulan rincian tentang korban dan perayaan, karena kitab itu menguraikan syarat-syarat persekutuan
manusia dengan Allah itu.
Jika korban Kristus tetap
relevan dan juga pembahasan dalam Surat Ibrani, maka demikian pula halnya dengan Kitab Imamat. Pengurbanan Kristus, sebagaimana digambarkan-Nya sendiri
sebelum peristiwa itu terjadi dan
dilukiskan oleh murid-murid-Nya kemudian, hanya dapat
dipahami dengan latar belakang sistem persembahan korban Yahudi. Surat Ibrani
justru menekankan hal ini.
Kitab Imamat juga relevan
dari segi yang lain. Dalam menyatakan kasih-Nya yang menyelamatkan - bahwa Ia
mengasihi orang berdosa tetapi membenci
dosanya - Allah mempergunakan
lambang-lambang dalam Kitab Imamat sebagai persiapan penyataan yang lebih penuh
tentang diri-Nya dalam Kristus (bnd. Ibr 1:1).
Lambang atau tipe ini
telah digantikan dengan wujud
nyata. Korban-korban simbolis tidak perlu lagi, karena korban Kristus yang telah mewujudkannya. Meskipun demikian, lambang-lambang kuno masih mengandung banyak hal
yang berguna sebagai pelajaran.
Sebenarnya, kita tak dapat memahami sepenuhnya konsep-konsep
Perjanjian Baru tentang dosa dan keselamatan terpisah dari Perjanjian Lama yang
menyiapkan jalan untuk penyataan yang baru.
Kadang dikatakan bahwa Allah dan Bapa Yesus
Kristus tidaklah sama dengan Tuhan Allah
Perjanjian Lama. Yesus Kristus sendiri membantah hal ini dengan keras melalui ucapan-Nya dan pengurbanan-Nya. Bapa Yesus Kristus adalah Allah yang kudus, sama
sekali bertentangan dengan dosa dan
Dia menuntut penumpahan darah untuk menghapuskan dosa. Ia telah
memberikan "domba" pengganti dalam diri Anak-Nya sendiri dan melalui Dia pendamaian sudah terwujud (Rm
5:11). Untuk zaman sekarang Kristus
mengingatkan hal ini ("sampai la datang kembali") dalam Perjamuan
Kudus dan mempergunakan bahasa Perjanjian Lama dalam kata-kata
penetapannya (Mat 26:26-28 sejajar dengan Kel. 24:8; bnd. jugs 1 Kor 10:23-27).
Dalam iman, dosa-dosa
ditanggungkan atas "Domba
Allah", yang seperti kambing korban pada hari raya Pendamaian, menghapus dosa-dosa (lihat Yoh
1:29). Tanpa memahami bahasa dan lambang-lambang
dari Kitab Imamat, bagaimana kita dapat memahami sepenuhnya arti yang terdalam dari Perjanjian Baru?
KITAB BILANGAN
Judul asli kitab ini dalam bahasa Ibrani ialah
"Di Padang Gurun", yang diambil
dari fas. 1:1. Judul seperti itu sebenarnya lebih sesuai dengan isi kitab ini, yang mengisahkan perjalanan orang Israel dari
Mesir ke dataran Moab. Judul
"Bilangan" (bahasa Inggris "Numbers"), yang diambil dari
versi LXX dan Latin Vulgata, menunjuk
pada pembilangan/sensus orang Israel yang tercatat dalam fas. 1-4 dan fas. 26.
Kitab ini mengisahkan perjalanan
orang Israel dari Sinai (titik akhir kitab Keluaran) ke perbatasan tanah Kanaan
di Kadesh-Barnea, kemudian kembali lagi mengembara di padang gurun selama kurang-lebih 40 tahun
sampai tiba di dataran Moab, di mana sekali lagi mereka bersiap-siap untuk masuk
Kanaan.
Tujuan
Umum: Menggabungkan
hal-hal sejarah dengan peraturan-peraturan hukum.
Signifikansi Kitab Bilangan:
1.
Untuk menjelaskan mengapa bangsa Israel tidak langsung masuk ke tanah
Kanaan.
2.
Mendeskripsikan perjalanan Israel dari gunung Sinai ke dataran Moab.
3.
Mengajar dan mengorganisasikan Israel sebagai bekas budak menjadi orang
yang merdeka.
KITAB ULANGAN
Kitab Ulangan berisikan tentang:
a.
Kumpulan khotbah
b.
Amanat perpisahan Musa
Kitab Ulangan ini dalam bahasa Ibraninya diartikan
sebagai "Inilah
perkataan-perkataan" (1:1)
Mengapa harus ada kitab Ulangan (di ulang)?
Tujuan umumnya: Untuk mengingatkan anak cucu Israel
tentang peristiwa yang Allah sudah lakukan.
Kitab Bilangan: Berakhir di dataran Moab
Kitab Ulangan: Merupakan khotbah-khotbah perpisahan
sebelum masuk Kanaan.
Konteks Historis
Selama satu generasi (40 tahun) orang Israel telah mengembara di padang gurun Sin. Sekarang tiba
saatnya mereka akan mencapai tujuan utama sejak keluar dari Mesir, yaitu masuk tanah Kanaan. Akan tetapi mereka
akan menghadapi:
¶ Banyak godaan yang keras dan
pencobaan yang berat di negeri yang baru itu (tanah perjanjian).
¶ Pengangkatan pemimpin baru
mereka (Yosua).
Musa yang telah diberitahu oleh Tuhan bahwa dia akan mati, mengumpulkan orang
Israel dan menyampaikan beberapa khotbah kepada mereka. Khotbah itulah yang menjadi isi kitab Ulangan,
antara lain:
1. Musa mengingatkan mereka
akan perbuatan-perbuatan Allah yang besar untuk menolong mereka.
2. Musa juga menggariskan
rencana Allah tentang undang-undang dasar negara baru yang akan mereka bangun di Kanaan, yaitu
suatu "teokrasi"
yang dipimpin oleh dan berpusat pada Tuhan.
3. Dia menganjurkan umat Israel agar
beriman dan taat, memperingatkan mereka tentang bahaya penyembahan berhala dan kemurtadan, dan tentang hukuman yang akan menimpa bangsa yang meninggalkan
prinsip-prinsip Perjanjian Sinai.
Signifikansi dari kitab
Ulangan:
1. Mengingatkan bangsa Israel
tentang perbuatan-perbuatan Allah yang besar.
2. Memberikan Undang-Undang
dasar bagi Negara yang akan dibentuk.
3. Mendorong bangsa Israel
untuk tetap taat dan setia kepada Allah.
[1] Untuk penelitian yang saksama, lihat Abba (1962). Menurut teori Wellhausen pemisahan imam dengan orang Lewi terjadi sesudah
pembuangan, dan segala upacara yang digambarkan
dalam Kitab Imamat dibuat dalam agama Yahudi sesudah masa pembuangan. Abba menunjukkan bahwa kumpulan hukum
imamat berasal dari masa sebelum
pembuangan bahkan sebelum penulis Kitab Ulangan. Nilai historisnya cukup kuat dan diterima oleh banyak ahli. Lihat Hubbard (1980) untuk penilaian atas hasil
rekonstruksi Wellhausen.
[2] Istilah kohen 'imam'
terdapat 730 kali, lewi 'orang
Lewi' 40 kali, bentuk jamak 'orang-orang Lewi' 250 kali. Sering sebutan
"orang-orang Lewi" hanya merupakan nama suku, tanpa acuan pada tugas mereka di kemah suci.
[4] Dalam bahasa Ibrani kata gedesyim 'laki-laki yang
dikuduskan' (1 Raj 15:12) dan gedesyot 'perempuan yang dikuduskan' (Hos 4:14; bnd. Kej
38:21-22), berarti 'kain pelacur bakti'.
[5] Sekalipun
menurut beberapa metode filologis cara yang dipakai di atas tidak benar, namun itulah satu-satunya cara untuk menetapkan
definisi yang betul terhadap konsep-konsep
yang ada dalam Alkitab. Kata harus dimengerti sesuai dengan maksud pemakainya.
Dalam segala ilmu, kata-kata tertentu mempunyai arti khusus dalam ilmu yang bersangkutan. Hal itu sering diabaikan oleh
para ahli Alkitab.
[6] Beberapa ahli menyangkal bahwa kipper berhubungan dengan kafar 'menutupi'.
Kata kipper dianggap sebagai
suatu akar kata tersendiri, yang berarti 'menyenangkan hati Allah'. Tetapi
sulit untuk mendukung gagasan 'menyenangkan hati Allah' dalam Kitab Imamat atau dalam bagian Perjanjian Lama lainnya,
walaupun gagasan tersebut sering terdapat dalam studi terhadap agama-agama lain di luar Israel. Mengenai
pendamaian, lihat Morris 1980.
[7] Ungkapan
la'aza zel secara harfiah berarti 'orang yang melepas kambing kepada
Azazel atau 'penghancuran'.
[10] Memang ini bukan satu-satunya penjelasan mengenai alamat
Surat Ibrani. Tetapi, tidak mungkin surat itu dikirim kepada masyarakat yang
tidak mempunyai pengetahuan tentang hukum-hukum
upacara Perjanjian Lama dan tidak mempunyai alasan untuk memperhatikan upacara-upacara itu.
[11] Perikop ini dan yang berikutnya sering dianggap
membuktikan pendapat yang berlawanan dengan
pendapat di atas. Galatia 3:23 sering dikutip untuk mendukung pemisahan antara hukum dengan anugerah. Tetapi, keselamatan
atas dasar ketaatan terhadap Taurat
tidak pernah diajarkan dalam Perjanjian Lama. Yesus dan para rasul -
termasuk Paulus - yang semuanya orang Yahudi, tidak pernah
mengajarkan demikian.
[12] Montefiore dan Loewe (1974: ps 3). Doa-doa dikutip dari Siddur Avodat Israel. "Kesaksian
sehari-hari" ialah deklamasi Syema (Ul 6:4-5) yang dikutip setiap hari
oleh orang Yahudi yang saleh.
[13] Mulai dari zaman Klemens dari Aleksandria (150-215 M) dan
Origenes (185-254 M) sampai masa kini.
Dalam menafsirkan Kitab Kejadian Luther pun memakai tipologi yang fantastis.
[14] Lambang
atau simbol dapat bersifat verbal, misalnya kata "salib" membuat kita
membayangkan gambar salib. Bahasa dalam arti
tertentu adalah lambang. Orang dapat menerjemahkan
sesuatu dari satu bahasa ke dalam bahasa lain dengan memakai lambang-lambang yang berbeda tetapi menyampaikan
gagasan yang sama.
[16] Ini tidak berarti bahwa setiap rincian tentang Kemah Suci
melambangkan sesuatu yang berkenaan dengan pribadi atau karya Kristus. Lihat
LaSor (1967).
[17] Untuk penelitian yang saksama, lihat Abba (1962). Menurut teori Wellhausen pemisahan imam dengan orang Lewi terjadi sesudah
pembuangan, dan segala upacara yang digambarkan
dalam Kitab Imamat dibuat dalam agama Yahudi sesudah masa pembuangan. Abba menunjukkan bahwa kumpulan hukum
imamat berasal dari masa sebelum
pembuangan bahkan sebelum penulis Kitab Ulangan. Nilai historisnya cukup kuat dan diterima oleh banyak ahli. Lihat Hubbard (1980) untuk penilaian atas hasil
rekonstruksi Wellhausen.
[18] Istilah kohen 'imam'
terdapat 730 kali, lewi 'orang
Lewi' 40 kali, bentuk jamak 'orang-orang Lewi' 250 kali. Sering sebutan
"orang-orang Lewi" hanya merupakan nama suku, tanpa acuan pada tugas mereka di kemah suci.
[20] Dalam bahasa Ibrani kata gedesyim 'laki-laki yang
dikuduskan' (1 Raj 15:12) dan gedesyot 'perempuan yang dikuduskan' (Hos 4:14; bnd. Kej
38:21-22), berarti 'kain pelacur bakti'.
[21] Sekalipun
menurut beberapa metode filologis cara yang dipakai di atas tidak benar, namun itulah satu-satunya cara untuk menetapkan
definisi yang betul terhadap konsep-konsep
yang ada dalam Alkitab. Kata harus dimengerti sesuai dengan maksud pemakainya.
Dalam segala ilmu, kata-kata tertentu mempunyai arti khusus dalam ilmu yang bersangkutan. Hal itu sering diabaikan oleh
para ahli Alkitab.
[22] Beberapa ahli menyangkal bahwa kipper berhubungan dengan kafar 'menutupi'.
Kata kipper dianggap sebagai
suatu akar kata tersendiri, yang berarti 'menyenangkan hati Allah'. Tetapi
sulit untuk mendukung gagasan 'menyenangkan hati Allah' dalam Kitab Imamat atau dalam bagian Perjanjian Lama lainnya,
walaupun gagasan tersebut sering terdapat dalam studi terhadap agama-agama lain di luar Israel. Mengenai
pendamaian, lihat Morris 1980.
[23] Ungkapan
la'aza zel secara harfiah berarti 'orang yang melepas kambing kepada
Azazel atau 'penghancuran'.
[26] Memang ini bukan satu-satunya penjelasan mengenai alamat
Surat Ibrani. Tetapi, tidak mungkin surat itu dikirim kepada masyarakat yang
tidak mempunyai pengetahuan tentang hukum-hukum
upacara Perjanjian Lama dan tidak mempunyai alasan untuk memperhatikan upacara-upacara itu.
[27] Perikop ini dan yang berikutnya sering dianggap
membuktikan pendapat yang berlawanan dengan
pendapat di atas. Galatia 3:23 sering dikutip untuk mendukung pemisahan antara hukum dengan anugerah. Tetapi,
keselamatan atas dasar ketaatan terhadap Taurat
tidak pernah diajarkan dalam Perjanjian Lama. Yesus dan para rasul -
termasuk Paulus - yang semuanya orang Yahudi, tidak pernah
mengajarkan demikian.
[28] Montefiore dan Loewe (1974: ps 3). Doa-doa dikutip dari Siddur Avodat Israel. "Kesaksian
sehari-hari" ialah deklamasi Syema (Ul 6:4-5) yang dikutip setiap hari
oleh orang Yahudi yang saleh.
[29] Mulai dari zaman Klemens dari Aleksandria (150-215 M) dan
Origenes (185-254 M) sampai masa kini.
Dalam menafsirkan Kitab Kejadian Luther pun memakai tipologi yang fantastis.
[30] Lambang
atau simbol dapat bersifat verbal, misalnya kata "salib" membuat kita
membayangkan gambar salib. Bahasa dalam arti
tertentu adalah lambang. Orang dapat menerjemahkan
sesuatu dari satu bahasa ke dalam bahasa lain dengan memakai lambang-lambang yang berbeda tetapi menyampaikan
gagasan yang sama.
[32] Ini tidak berarti bahwa setiap rincian tentang Kemah Suci
melambangkan sesuatu yang berkenaan dengan pribadi atau karya Kristus. Lihat
LaSor (1967).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar