Jumat, 07 Maret 2014

kitab kejadian

KEJADIAN

Kitab Kejadian dibagi menjadi 2 bagian:
1.      Kej. 1-11 : Penciptaan dan putusnya hubungan manusia.
2.      Kej. 12-50 : Panggilan kepada Abraham dan perjanjian kepada dirinya dan keturunannya.
Penulis: Musa
Waktu penulisan : Zaman Musa
Tujuan Penulisan: Untuk mengetahui tujuan penulisan, maka kita harus mengajukan pertanyaan-pertanyaan mengenai konteks.

Analisa Kejadian 1-11: Penciptaan & Putusnya Hubungan Manusia

Konteks Sastra
Apabila isi dan susunan Kejadian 1-11 diperhatikan dengan saksama, banyak hal yang dapat diamati yang akan menolong kita menentukan jenis sastra yang dipakai, meskipun sebagian besar masalah tetap ada. Dalam pasal-pasal ini terdapat dua jenis sastra yang sangat berbeda, masing-masing dengan gaya dan kaidahnya.
Jenis sastra yang pertama (meliputi Kej 1; 5; 10; 11:10-26) mem­punyai ciri khas, yaitu susunan logis yang cermat dan bersifat skematis serta hampir mengikuti rumusan tertentu. Sebagai contoh, Kejadian 1 ter­diri atas rangkaian yang mempunyai susunan kalimat-kalimat ringkas yang hampir seperti rumusan; bagian-bagiannya dapat diuraikan dengan mudah. Setiap perintah penciptaan terdiri atas:
kata pemberitahuan yang bersifat pengantar, "Allah berfirman" (1:3,6,9,11,14,20,24,26).  kata perintah penciptaan, "Jadilah" (1:3,6,9,11,14-15,20,24,25). kata rangkuman mengenai penyelesaian "dan jadilah demikian" (1:3,7,9,11,15,24,30).  kata penjelasan mengenai penyelesaian "Allah menjadikan", "bumi mengeluarkan" (1:4,7,12,16-18,21,25,27). kata penjelasan mengenai nama atau berkat, "Allah menamai", "Allah memberkati" (1:5,8,10,22-30). kata penilaian, "Allah melihat bahwa hal itu baik" 1:4,10,12,18,21,25,31). A kata penutup tentang waktu, "Jadilah petang dan jadilah pagi itulah hari" (1:5,8,13,19,23,31).
Meskipun setiap perintah penciptaan mengikuti skema yang disengaja dan seragam dengan ungkapan-ungkapan yang sama, namun tidak memberi kesan yang membosankan oleh karena susunan, panjangnya dan adanya unsur-unsur ini cukup bervariasi.
Penataan perintah-perintah tersebut mengikuti susunan yang ketat, yang secara nyata dibagi dalam dua kurun waktu. Pertama, penciptaan dan pemisahan unsur-unsur kosmos, mulai dari hal yang umum sampai hal yang khusus (empat perintah pertama, ay 1-13). Kedua, pengaturan kosmos, dari yang tidak sempurna menjadi yang paling sempurna (empat perintah kedua, ay 14-31). Riwayat pencip­taan itu memuncak pada perintah kedelapan, yaitu penciptaan manusia. Kejadian 1 ini sesungguhnya bukanlah kisah, tetapi laporan serangkaian perintah yang disusun dengan saksama. Demikian juga dengan Kejadian 5 dan Kejadian 11:10-32 yang merupakan silsilah yang disusun secara sak­sama dengan struktur yang sama diulangi untuk setiap generasi. Dan Kejadian 10 merupakan daftar bangsa-bangsa dengan ciri yang bersifat skematis pula.
Jenis sastra yang kedua (Kejadian 2 - 3; 4; 6 - 9; 11:1-9) jelas ber­beda. Di sini juga terdapat keteraturan dan peningkatan tetapi yang dipergunakan adalah bentuk cerita. Kejadian 2-3 umpamanya, mem­bentuk kisah yang sangat indah, suatu karya sastra yang hampir-hampir merupakan suatu drama. Tiap adegan digambarkan secara luas dengan memakai banyak lambang. Pengarang mencintai antropomorfisme yang naif, tetapi ekspresif. Tuhan Allah tampil sebagai salah satu tokoh dalam drama itu.  Ia bagaikan seorang penjunan (2:7,19), tukang kebun (ay 8), ahli bedah (ay 21) dan pemilik tanah yang penuh damai (3:8).
Perbedaan-perbedaan dalam konsep dan kaidah sastra antara Kejadian 1 dan 2 juga ditemukan dalam cara yang berbeda untuk meng­ungkapkan penciptaan. Keduanya menggunakan istilah umum asa 'membuat', tetapi Kejadian 1 menggunakan kata bara 'menciptakan', sebuah kata kerja yang hanya digunakan dengan Allah sebagai subyek dan tidak pernah dihubungkan dengan bahan yang digunakan untuk mencipta­kan obyek. Kejadian 2 memakai istilah yatsar 'membentuk', istilah teknis untuk kegiatan seorang penjunan yang membentuk tanah liat menjadi bentuk yang dikehendakinya.  
Kedua kata kerja ini memainkan peranan penting dalam menggambarkan cara penciptaan. Kejadian 1 menyatakan dengan singkat, "Allah menciptakan manusia menurut gambarNya ... laki-laki dan perempuan diciptakanNya mereka" (ay 27). Dalam Kejadian 2 Tuhan Allah adalah penjunan yang membentuk manusia dari tanah, "menghembuskan nafas" kehidupan ke dalam lubang hidungnya dan "membangun" perempuan dari tulang rusuk laki-laki.
Dalam Kejadian 1 Allah menciptakan dengan firman-Nya, dalam Kejadian 2 dengan perbuatan-Nya. Dalam pandangan dunia Yahudi pengertian "kata" dan "perbuatan" tidak dibedakan dengan teliti atau berdiri sendiri-sendiri, sehingga perbedaan ini bukan merupakan pertentangan (keduanya menggambarkan Allah secara antropomorfis). Keduanya menekankan dengan jelas aspek-aspek yang saling mengisi dari karya Allah dalam penciptaan.
Unsur sastra juga terdapat dalam nama-nama yang digunakan. Kesesuaian antara nama dan peranan orang sering menarik perhatian. Adam berarti 'manusia’ dan Hawa adalah '(ia yang memberi) hidup.’  Bila pengarang memberi nama Manusia dan Kehidupan kepada kedua tokoh utamanya, pastilah ia hendak menjelaskan bahwa kisah itu tidak dimaksudkan secara harfiah semata-mata. Kain berarti 'pandai besi'; Henokh dihubungkan dengan 'pengabdian' (4:17; 5:18); Yubal dihubungkan dengan alat tiup dan terompet (4:21); sedangkan Kain dikutuk menjadi nad, seorang 'pengembara' yang mengembara dan hidup di tanah Nod, suatu nama yang jelas berasal dari akar kata Ibrani yang sama, sehingga artinya adalah tanah pengembaraan!
Hal-hal di atas memberi kesan bahwa .pengarang menulis sebagai seorang seniman, seorang pembawa cerita yang menggunakan gaya dan seluk-beluk sastra. Kita harus berusaha keras untuk membedakan apa yang hendak diajarkan oleh pengarang dengan bentuk-bentuk sastra yang digunakannya.
Konteks Historis
Latar Belakang Timur Dekat Kuno, khususnya Mesopotamia melatarbelakangi kisah penciptaan dalam Kejadian 1.  Kejadian 11:1-9. Kisah ini khusus terjadi di Babel (ay 2). Bahan bangunan yang dipakai adalah bahan yang biasa dipakai di Mesopotamia. Pengarang menyebut keunikannya dengan nada menghina (ay 3). Menara tersebut jelas menunjuk kepada ziggurat, bentuk kuil yang paling khas di Mesopotamia, yakni gunung buatan yang tangga-tangganya terbuat dari tanah liat (ay 4). Kota itu dinamai Babel, mencerminkan nama Bab-ill 'Gerbang Tuhan' (ay 9).
Persamaan dan kesejajaran ini tidak membuktikan apa-apa selain sumber-sumber yang sama antara kisah Alkitab dan kisah dari Mesopotamia. Bukti-bukti tersebut jelas tidak memperlihatkan keter­gantungan langsung. Kisah-kisah Kitab Kejadian dalam bentuknya sekarang tidak kembali ke tradisi Babel. Sebaliknya, meskipun ada per­samaan yang dekat seperti dalam kisah air bah, semua bukti itu hanya memberikan kesan tentang pengaruh atau suasana kebudayaan yang umum. Hal itu hanya membuktikan bahwa kisah Alkitab bergerak dalam lingkungan pemikiran yang sama. Dan penulis Alkitab yang mendapat ilham Allah dan menulis riwayat zaman permulaan mengetahui serta menimba bahan dan cara bercerita yang menjadi bagian kebudayaan dan tradisi sastranya.

Isi (Pesan Teologis)
Kalau kita menyelidiki dari segi studi kata (word study), maka ada kata-kata kunci yang terus menerus diulang dalam Kej. 1-11, yaitu: Allah, dosa, penghakiman, dan anugerah.
Dari sini kita mendapatkan tujuan dari penulisan kitab kejadian 1-11, yaitu:
1.      Allah sebagai Pencipta
2.      Masalah dosa
3.      Penghakiman Allah atas dosa manusia
4.      Anugerah Allah yang tidak berkesudahan
Jadi, jelaslah bahwa maksud utama kisah zaman permulaan adalah ber­sifat teologis, sehingga kita perlu memperhatikan beritanya lebih jelas. Penulis menjalin empat tema teologis utama dalam pola yang berulang-­ulang dan berkesinambungan: pertama, hakikat dan dampak-dampak dari kenyataan bahwa Allah adalah Pencipta; kedua, akibat dosa yang men­dalam; ketiga, cara Allah menjatuhkan hukuman atas dosa manusia dalam segala hal; dan keempat, anugerah-Nya yang mengherankan yang memelihara ciptaan-Nya.14 (Analisis ini mengikuti von Rad (1972: him. 152 dst.). Lihat juga Clines (1979: him. 61-79).
Von Rad mendasarkan pandangannya atas riwayat-riwayat itu, sementara Clines memperluas analisisnya sampai sisa bahan dari Kejadian 1 - 11. la berusaha untuk memperlihatkan bahwa tema "penciptaan - penghancuran - penciptaan kembali" juga terdapat dalam bahan itu. Ia menarik kesimpulan sebagai berikut: "Betapapun hebatnya dosa manusia . . . anugerah Allah tidak pernah gagal untuk melepaskan manusia dari akibat-akibat dosanya. Bahkan ketika manusia diberi kesempatan mulai lagi dan mereka…..”

a. Allah sebagai Pencipta

Dalam Kejadian 1:1 - 2:4a penulis memakai bahasa Ibrani dengan keindahan yang mempesona untuk menegaskan bahwa segala sesuatu ada semata-mata karena perintah dan kuasa Allah. Dengan demikian, ia menolak pandangan dunia yang keliru pada zamannya, yang sangat ber beda dengan masa kini.
Pada zaman dahulu orang memandang alam dan kekuatan-­kekuatannya sebagai makhluk-makhluk ilahi. Manusia dan alam dipahami dengan cara yang berbeda. Gejala alam dipandang menurut pengalaman manusia. Manusia hidup di dunia yang bersifat sangat pribadi di mana semua benda dianggap berjiwa (lihat Frankfort dkk. 1949: hlm. 11-36). Karena itu, ilah-ilah memiliki banyak pribadi dan biasanya pribadinya teratur dan seimbang. Tetapi kadang-kadang pribadinya berubah-ubah, tidak stabil dan sangat menakutkan. Pandangan seperti inilah yang ditolak oleh penulis Kejadian 1 dengan menegaskan, "Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi" (ay 1).
Dalam pandangan­nya, alam diciptakan atas perintah Allah. Allah ada sebelum alam ini ada dan tidak bergantung padanya. Matahari, bulan, bintang-bintang dan planet-­planet yang dianggap orang Babel sebagai dewa-dewa yang mengatur peristiwa-peristiwa dalam hidup manusia, sama sekali tidak disebut. Benda-benda angkasa itu hanyalah penerang yang menyinari bumi (ay 16-18). Laut dan darat tidak lagi merupakan ibu dunia yang melahir­kan hal-hal yang lain, melainkan ditempatkan pada keadaan sebenarnya (ay 10).
Penulis tidak menganggap alam sebagai ilah, karena pendewaan terhadap alam menuju politeisme.  Pemikiran Yunani juga menyimpang dari konsepsi politeis ini. Filsuf-filsuf Yunani memandang pemikiran rasional dan spekulatif lebih unggul daripada pemikiran yang intuisional dan kabur. Dengan demikian, mereka meninggikan nalar, proses pemikiran manusia.
Sebagai ganti ilah-ilah mitologis adalah alam yang terwujud dalam berbagai realitas dunia. Akibatnya, untuk orang banyak, Allah sepenuhnya digeser dari alam dan menghilang dari ufuk realitas sama sekali. Terhadap pandangan dunia yang demikian, penulis Kitab Kejadian juga berbicara dengan menegaskan bahwa Allah adalah Pencipta, yang ada sebelum dan di atas ciptaan-Nya; kepada-Nyalah bergantung semua ciptaan dan kepada-Nya semua ciptaan akan bertanggung jawab.
Penulis Kejadian 1 mempergunakan kata Ibrani bara 'menciptakan', suatu kata dalam Perjanjian Lama yang hanya dipakai untuk Allah saja tanpa menyebut sama sekali bahan yang dipakai untuk menciptakan. Kata ini menggambarkan pekerjaan yang tidak ada kesamaannya dengan pekerjaan manusia dan tidak dapat diterjemahkan dengan istilah seperti "membuat" atau "membangun". Dengan demikian pasal ini melukiskan jenis pekerjaan yang hanya dapat dilakukan oleh Allah saja. Hanya Allah yang menciptakan, sebagaimana hanya Allah yang menyelamatkan.
Unsur yang sangat penting dalam Kejadian 1 ialah adanya penegasan bahwa dunia ciptaan Allah itu baik (ay 4,10,12,18,21,25,31). Ringkasan akhir (ayat 31), "Maka Allah melihat segala yang dijadikanNya itu, sungguh amat baik" memperlihatkan dengan jelas bahwa bahasa pasal itu singkat, biasa dan tidak berlebih-lebihan.
Allah tidak menaruh kejahatan apa pun di dunia ciptaan-Nya. Dunia mempunyai nilai yang agung, tetapi hanya karena Allahlah yang menciptakannya. Ajaran ten­tang kebaikan ciptaan yang asli, termasuk manusia, penting sekali secara teologis. Pertama, ajaran itu mempersiapkan jawaban untuk pertanyaan tentang apa yang mengganggu keteraturan yang baik ini - yaitu dosa. Kedua, ajaran itu mempersiapkan penegasan Alkitab jauh di kemudian hari bahwa semuanya nanti akan dipulihkan seperti semula pada akhir zaman. Yakni, pada waktu Allah akan melihat bahwa semua yang telah diciptakan-Nya sangat baik adanya, karena akan ada "langit baru dan bumi baru" (Why 21:1).
Akhirnya, puncak tertinggi dari penciptaan ini adalah manusia (Kej 1:26-28). Rumusan yang sama dan berulang tidak dipakai lagi di sini. Penulis memperkenalkan penciptaan manusia dengan mengumumkan keputusan Allah, "Marilah Kita menjadikan manusia". Hanya di sinilah sang penulis meninggalkan prosa yang dirancangnya dengan teliti dan dipakai berulang-ulang. Dengan demikian, penulis memperlihatkan keindahan dan kekuatan paralelisme puisi Ibrani:
"Allah menciptakan manusia itu menurut gambarNya,
Menurut gambar Allah diciptakanNya dia,
Laki-laki dan perempuan diciptakanNya mereka" (ay 27).
Pemakaian kata bara 'menciptakan' sebanyak tiga kali dan adanya per­bedaan gaya sastra yang tajam dalam ayat ini, menandakan bahwa inilah puncak yang hendak dituju oleh pasal ini. Ayat-ayat sebelumnya menggambarkan tahap-tahap penciptaan yang selalu meningkat setiap kali perintah penciptaan diberikan dan dilaksanakan.
Hubungan manusia yang unik dengan Allah dari antara ciptaan-Nya yang lain, dinyatakan dengan sengaja dalam ungkapan yang samar-samar, "gambar dan rupa Allah". Latar belakang pemilihan kata-kata ini pastilah berkenaan dengan sikap Perjanjian Lama yang tegas dan adanya larangan khusus terhadap usaha untuk menggambarkan Allah dalam rupa apa pun. Dengan demikian ungkapan ini merupakan ungkapan yang paling dekat yang dapat dipakai penulis untuk menempatkan manusia dalam hubungan khusus dengan Allah, yang membedakannya dengan ciptaan lainnya. Khususnya karena kata tselem 'gambar' dijelaskan lebih lanjut dan tepat oleh kata demut 'rupa' (1:26). Dalam teks Ibrani tidak ada kata peng­hubung "dan" di antara kedua kata itu, sehingga bagian yang kemudian mendefinisikan lebih jelas bagian yang terdahulu. Dan kedua kata ter­sebut secara bersama-sama berarti 'menurut gambaran yang serupa tetapi tidak sama'. Dengan latar belakang ini dan latar belakang kesusastraan Timur Dekat Kuno pada umumnya di mana dewa membuat manusia dalam bentuk ilahi, maka tafsiran yang mengerti "gambar" disini hanya dalam arti rohani atau moral manusia, haruslah ditolak. Sebenarnya, maksud penulis dalam mempergunakan konsep ini tampaknya jauh lebih bersifat fungsional daripada konseptual.  Ia lebih menaruh minat pada akibat­-akibat pemberian itu daripada sifatnya. Keserupaan itu bersifat dinamis, yakni manusia (adam) dalam hubungan pribadinya dengan makhluk-­makhluk lain menjadi wakil Allah. la diberi hak untuk menyelidiki, menguasai dan mempergunakan segala sesuatu di sekitarnya. Hal ini diperlihatkan paling jelas dalam kalimat berikut, "dan biarlah mereka berkuasa atas . . .". Karena mereka adalah gambar dan rupa Allah, maka laki-laki dan perempuan memerintah dunia atas nama Allah. Ini serupa dengan gambaran seorang maharaja yang menunjuk pelaksana-pelaksana dalam daerah kekuasaannya dan mendirikan patung dirinya, sehingga rakyatnya mengetahui siapa yang memerintah mereka.
Kejadian 2 juga menggambarkan penciptaan, tetapi dengan gaya yang sangat berbeda dengan Kejadian 1. Kejadian 1 berisi serangkaian perintah, sedangkan Kejadian 2 - 3 mengisahkan sebuah cerita dengan gambaran yang indah berupa lambang dan perumpamaan untuk mengemukakan kebenaran teologisnya.
Ada pandangan yang menonjolkan perbedaan-perbedaan dalam pasal-pasal tersebut seakan-akan ada dua. Jadi dari ayat 24 disimpulkan bahwa penciptaan perempuan menerangkan mengapa seorang laki-laki memutuskan hubungan dekatnya dengan orang tuanya untuk menjadi satu dengan istrinya, sama seperti asal mulanya. Meskipun "daging" di sini tidak menyebut salah satu bagian tubuh manusia melainkan manusia seutuhnya, namun ada tekanan atas segi jasmani yang kelihatan, sehingga di sini segi jasmani dari perkawinan diakui (bnd. Ef 5:31).
Demikianlah penulis memulai kisahnya dengan makna dan penting­nya penciptaan. Yang ditekankan ialah keutuhan dan keteraturan dunia yang diciptakan.

b. Masalah Dosa

Setelah dalam Kejadian 1 berulang kali dikatakan, "Allah melihat bahwa semuanya itu baik" dalam Kejadian 2 - 3 diperlihatkan bagaimana dosa mulai merusak dunia ciptaan Allah itu.'
Berlawanan dengan Kejadian 1 yang mengajarkan kebenaran-kebenaran teologis tentang mengapa ada dunia, Kejadian 2 - 3 berbicara tentang mengapa dunia penuh dengan penyelewengan, akibat pengaruh jahat secara fisik dan moral. Penyelewengan ini merupakan pengalaman yang mau tak mau dialami sesudah orang menjadi dewasa, menjalani hidupnya sendiri dan harus bergumul dengan kejahatan manusia terhadap sesamanya, sikap bermuka dua dalam diri sendiri, dan akhirnya, kematian.
Kejadian 2 - 3 seluruh­nya didominasi oleh masalah ini. Bagaimana hal tersebut dapat dihubungkan dengan kebaikan, keadilan dan kasih Allah serta dengan kebenaran bahwa segala sesuatu bersumber dari Allah? Kitab ini menun­jukkan bahwa tidak ada kesinambungan yang sempurna antara dunia sebagaimana dialami manusia dan dunia seperti yang semula diciptakan Allah. Allah menciptakan dunia dalam keadaan baik, tetapi manusia merusaknya melalui pemberontakannya. Jadi Kejadian 2 - 3 meng­gambarkan manusia, terutama sebagai orang yang berdosa.
Pengarang memulai gambarannya tentang dunia sebagai dunia yang sempurna, sesuai dengan pengertiannya tentang Allah sebagaimana dinyatakan dalam seluruh sejarah Israel. Inilah makna taman Eden dalam Kejadian 2. Lalu dalam Kejadian 3 is menempatkan pula dunia seperti yang dialami manusia, terpecah belah, terasing dan penuh kekacauan. Bukan Allah, melainkan manusialah, yang harus dipersalahkan untuk kenyataan yang berbeda ini. Di Eden (2:8-17), manusia hidup dalam taman yang penuh pohon-pohon dan kesuburan. Semuanya berada dalam keselarasan, mulai dari bentuk kehidupan yang tertinggi sampai yang terendah. Manusia dan hewan hanya mempergunakan tanaman sebagai makanan.
Meskipun ada tugas yang harus dilaksanakan (ay 15), namun tidak ada pergumulan atau kesakitan untuk memperoleh rezeki dari bumi yang sukar ditundukkan. Semak duri dan onak tidak ada. Jadi, ada sesuatu yang tidak sesuai dengan kenyataan tentang taman Eden, karena pengarang tidak berusaha menggambarkan dunia seperti yang dialami manusia. Sebaliknya is menggambarkan suatu dunia yang sempurna, yang mencerminkan keadaan rohani manusia yang hidup dalam damai dan bersekutu dengan Allah. Untuk itu pengarang mengambil contoh dari dunia seperti yang dialami manusia dengan menghilangkan semua hal yang buruk dan tidak menyenangkan, baik fisik maupun mental. Kesemuanya itu menyatakan keadaan manusia yang tidak bersalah. Dosa belum ada pada waktu itu.
Di tengah taman itu ada dua pohon, pohon kehidupan dan pohon pengetahuan tentang baik dan jahat. Pohon yang kedua telah banyak dibahas, karena kisah berikutnya tidak membuat maknanya menjadi jelas. Pengarang memang sengaja bercerita secara samar-samar. Meskipun demikian, dari kisah pada bagian lainnya (2:16a; 3:3-7,22) diketahui bahwa pohon itu melambangkan kebebasan penuh untuk memilih yang baik atau jahat. Dengan memakan buah pohon itu, pasangan manusia pertama bermaksud menjadi "seperti Allah" (3:5,22), yakni dengan menentukan untuk dirinya sendiri apa yang baik dan buruk. Mereka ingin memiliki otonomi moral, menentukan sendiri apa yang baik dan jahat dan dengan demikian merampas hak ilahi.
Otonomi moral tersebut dinyatakan dalam Kejadian 3 melalui kelicikan ular. Tipu muslihatnya menyebabkan perempuan itu meragukan pertama-tama firman Allah (ay 1) dan kemudian kebaikan-Nya (ay 4a). Dengan melihat pohon itu dari sudut pandang yang berbeda sama sekali (ay 6), ia mengambil buahnya dan memakannya, lalu hal itu diikuti oleh laki-laki pula. Begitu sederhana yang dilakukannya "ambil . . . dan makan", tetapi begitu drastis akibatnya: manusia kehilangan keadaan tak bersalah untuk selamanya. Begitu hebat kehancurannya sehingga Allah sendiri harus merasakan kemiskinan dan kematian sebelum ungkapan "ambil dan makan" tersebut menjadi kata kerja yang menyangkut keselamatan (Kidner 1967: hlm. 68).
Selanjutnya, pengarang melukiskan dimensi-dimensi baru mengenai hubungan manusia dengan Allah. Sesudah ini, disampaikan cerita air bah (Kej 6:5-8) yang sangat ber­beda sumber dan bentuknya. Dalam semua bagian cerita terdahulu, pengarang telah mengambil alih tradisi yang ada. Meskipun ia mengambilalih, mengubah dan acapkali menentang pandangan tentang Allah dan manusia yang terkandung di dalam tradisi-tradisi itu, ia tetap memper­gunakan bahan tradisional. Ini berarti bahwa penulis tidak menciptakan rincian, lambang dan kiasan yang baru dalam ceritanya, melainkan menggunakan tradisi-tradisi sastra tentang asal usul dunia yang terdapat dalam kebudayaannya di Timur Dekat Kuno.
Situasi dalam Kejadian 6:5-8 sangat berbeda, sebagaimana terlihat sekilas dari bahannya. Selanjutnya pengarang menggambarkan fakta tentang dosa yang menyebar dengan cepat, namun sekarang ia mengemukakan suatu keputusan teologis dari Allah sendiri tentang manusia serta dosanya yang menyedihkan sebagaimana telah dikemukakan sebegitu jauh.
Dengan demikian, cerita ini memperlihatkan bahwa tema teologis yang utama dalam cerita-cerita itu adalah “sifat dosa yang radikal.” Hal ini juga merupakan salah satu pokok utama cerita air bah yang panjang. Dosa manusia sedemikian dahsyat dan mengerikan sehingga Allah tidak mempunyai pilihan selain menghapus ciptaan-Nya dan memulai lagi dengan Nuh, seorang yang tulus hati dan jujur dalam generasinya.
Akhirnya, pengarang menutup riwayat zaman permulaan dengan kisah menara Babel (11:1-9). Di sini ia melukiskan kehidupan manusia dalam masyarakat yang tidak berpindah-pindah tetapi menetap dalam keadaan beradab. Mereka mendirikan sebuah kota dan menara, tetapi tujuan mereka didorong oleh nafsu untuk menjadi termasyhur dan berkuasa, "Marilah kita cari nama, supaya kita jangan terserak ke seluruh bumi" (ay 4). Penilaian Allah terhadap situasi ini (ay 6) menyoroti kecen­derungan jahat dalam usaha manusia. Di sini pengarang melukiskan masyarakat yang memberontak terhadap Allah. Dosa tidak hanya merusak orang perorangan secara radikal, tetapi juga masuk ke dalam struktur dan kesatuan masyarakat yang melekat pada kekuasaan dan penguasaan yang dimilikinya. Dengan demikian, tema utama yang terjalin melalui Kejadian 1 - 11 adalah dalamnya dosa yang radikal, yang telah merusak karya Allah yang baik sejak awal pemberontakan manusia.

c. Penghakiman Allah atas dosa manusia

Dalam setiap kisah tersebut, dosa manusia diperhadapkan dengan peng­hakiman Allah. Dalam kisah taman Eden, Allah menghakimi pertama­-tama ular (Kej 3:14-15), lalu perempuan (ay 16) dan akhirnya laki-laki (ay 17-24). Penghakiman itu berupa keadaan di mana laki-laki atau perempuan harus hidup dalam dunia yang sudah diwarnai oleh dosa dan kejatuhan. Ular menjadi makhluk melata yang hina, menjijikkan dan ditakuti manusia.
Dalam ayat 15, pertempuran berlarut-larut antara manusia dan ular dengan jelas melambangkan perjuangan berat yang tak mengenal kasihan antara manusia dan kuasa jahat dalam dunia. Dan ini telah menjadi keadaan yang tetap sejak saat itu hingga kini. Ayat ini sebenarnya hanya mengungkapkan penghakiman atas ular saja, sebagai­mana tampak dalam perbandingan tiga pasang pertentangan yang ter­dapat dalam dua bagian utama ayat tersebut. Ayat 15a menempatkan ular berlawanan dengan perempuan dan keturunan ular berlawanan dengan keturunan perempuan. Tetapi, ayat 15b menempatkan keturunan perem­puan berlawanan dengan ular itu sendiri, bukan dengan keturunan ular. Jadi, seteru sesungguhnya adalah ular taman Eden, yang digambarkan sebagai kuasa rohani yang selalu bertentangan dengan keturunan perempuan.
Dengan demikian, pengarang menyatakan dengan jelas bahwa keturunan perempuan akan berperang tanpa berkesudahan melawan kuasa jahat yang memperbudak, yang dilambangkan oleh ular. Dalam arti luas, pengarang menunjuk pada kemenangan yang akan menjadi milik mereka kelak. Di sini tidak dinyatakan dengan jelas bahwa hal itu akan terjadi melalui seorang yang mewakili manusia. Tetapi kemungkinan itu ada karena keturunan perempuan itu secara kolektif disebut dengan kata ganti "dia". Orang-orang Kristen dengan tepat menerjemahkan peng­harapan yang tak dijelaskan ini bahwa realisasinya telah tercapai dalam kemenangan Kristus atas dosa dan maut (bnd. Luk 10:17-20).
Yang penting diperhatikan ialah mengenai penghakiman atas laki­-laki dan perempuan. Perempuan dan laki-laki dihukum tetapi tidak dikutuk, hanya ular saja yang dikutuk. Meskipun demikian, seperti halnya dengan ular, hukuman yang dijatuhkan atas laki-laki dan perempuan adalah keadaan di mana mereka harus hidup dalam dunia yang telah jatuh ke dalam dosa.
Perempuan harus melahirkan anak dengan kesakitan dan bergantung pada suaminya yang berkuasa atasnya. Laki­-laki harus mendapat rezekinya dengan kerja keras dari keringat, dari bumi yang tak mudah diolah. Dan pada akhirnya melalui kematian, ia kembali pada tanah yang menjadi asalnya.
Keputusan-keputusan ini memperlihatkan adanya pengaruh budaya dan mencerminkan lingkungan sosial serta pranata-pranata masyarakat Israel kuno karena merekalah yang merumuskan keputusan-keputusan itu di bawah ilham Allah. Hal ini secara khusus dicerminkan oleh kedudukan perempuan yang merupakan milik suaminya pada zaman dahulu. Oleh karena itu, kita tidak perlu memanfaatkan ayat 16 untuk membuktikan bahwa istri harus mengabdi pada suaminya sebagaimana kita tidak perlu memanfaatkan ayat 17-19 untuk membuktikan bahwa laki-laki harus menggarap tanah sambil bermandi keringat dan tidak boleh memakai alat pendingin. Keadaan yang dilukiskan itu merupakan akibat dosa, bukan akibat rencana Allah yan semula bagi ciptaan-Nya. Kita berusaha mengalahkan dosa dan karena itu akibat-akibat buruk yang dihasilkan oleh dosa dalam dunia ini tidak harus menjadi norma untuk kehidupan kita.
Sebagai hukuman lebih lanjut atas dosa laki-laki dan perempuan Allah mengusir keduanya dari taman Eden dan menutup jalan kembali ke taman itu. Dengan usahanya sendiri, manusia tidak akan memperoleh jalan untuk kembali ke dalam persekutuan dengan Allah.
Penghakiman atas Adam dan Hawa sungguh dahsyat, namun peng­hakiman atas Kain (Kej 4) lebih dahsyat lagi. Karena bumi telah meminum darah adiknya oleh perbuatannya, maka bumi tidak akan menghasilkan apa-apa untuk Kain. Ia dihukum menjadi pelarian dan pengembara di dunia. Ia meninggalkan hadirat Allah untuk hidup dengan mengembara terus-menerus di daerah Timur yang sangat jauh.
Akan tetapi, contoh dan pola utama penghakiman Allah atas dosa manusia adalah kisah air bah. Melalui kisah ini, pengarang menyatakan dengan cara yang paling menakutkan bahwa dosa manusia mendatangkan hukuman Allah. Cerita ini sudah begitu dikenal sehingga terkadang kita tidak merasakan lagi kedashyatannya.
Sifat naif pada masa kanak-kanak dan keadaan pada waktu mempelajari cerita itu membuatnya menjadi cerita petualangan zaman dahulu yang menarik - dongeng tentang Nuh yang patut diagungkan dan baik hati; pembuatan bahtera berukuran rak­sasa; hewan-hewan dari segala bentuk dan ukuran masuk ke ruangan besar, sepasang demi sepasang; pecahnya mata air samudra raya dan ter­bukanya tingkap-tingkap langit; bahtera dan isinya berlayar dengan aman di atas air deras sementara tetangga-tetangga Nuh yang jahat (yang memang tidak dianggap sama dengan kita) lenyap dari pandangan.
Namun konteks asli cerita tersebut berbeda jauh dari cerita yang sudah biasa kita dengar. Bagi orang Mesopotamia kuno, kisah itu berhubungan dengan alam dan kekuatan alam - kenyataan yang amat mempengaruhi kehidupan dan keberadaan orang-orang kuno. Sebagaimana telah dike­mukakan di atas mengenai Kejadian 1, kekuatan-kekuatan itu diper­sonifikasikan sebagai ilah. Alam bukanlah "sesuatu" tetapi sejumlah ilah yang berpribadi. Pandangan Alkitab tentang Allah, sama sekali menolak. pandangan seperti ini mengenai alam. Allah Israel sebagai Pencipta berada di luar alam dan kekuatan-kekuatannya; Ia mempergunakan kekuatan-kekuatan itu sebagai alat untuk mencapai tujuan-Nya. Namun, sekalipun alam adalah ciptaan Allah, bagi orang Israel kuno, alam adalah suatu tata pribadi yang berdenyut dengan kehadiran kuasa dan keagungan Allah yang penuh misteri dan bersifat pribadi.
Dipandang dari latar belakang ini, kekuatan dan kedahsyatan badai dan kerusakan yang mem­bawa perubahan besar akibat air bah digambarkan dengan tiada taranya sebagai pernyataan penghukuman Allah atas dosa manusia. Di sinilah ter­dapat gambaran yang sesuai dengan penghukuman Allah yang menakut­kan yang menimpa manusia bila "kecenderungan hatinya jahat semata­-mata" (6:5). Bagian ini merupakan contoh atau pola penghukuman Allah atas dosa tersebut.
Demikian pula, penghukuman Allah berhadapan dengan dosa manu­sia dalam kisah menara Babel. Untuk menghadapi kecenderungan jahat yang terdapat dalam masyarakat, Allah menyebarkan manusia dengan mengacaukan bahasa mereka, memecah belah mereka menjadi sejumlah bangsa dan negara. Demikianlah yang terjadi pada akhir riwayat zaman permulaan: manusia berada dalam keadaan yang dikenal sejak masa itu, yakni hidup terasing serta terpisah dari Allah dan sesamanya oleh dosa dalam dunia yang terpecah belah oleh permusuhan dan kematian. Individu berlawanan dengan individu, unsur sosial melawan unsur sosial, bangsa melawan bangsa.

d. Anugerah Allah yang tidak berkesudahan

Namun, ada tema teologi yang keempat yang mengherankan melalui riwayat zaman permulaan, yakni anugerah Allah yang menopang dengan tidak berkesudahan. Anugerah itu ada di dalam dan sepanjang setiap penghakiman kecuali penghakiman terakhir.
Dalam kisah di taman Eden, hukuman akibat memakan buah terlarang adalah kematian pada hari itu (2:17). Meskipun demikian Allah menunjukkan kesabaran-Nya sehingga kematian itu, sekalipun sudah pasti akan dialami, ditunda hingga waktu yang tertentu pada masa yang akan datang (3:19).
Selanjutnya, Allah sen­diri memberi pakaian kepada pasangan yang berdosa itu supaya mereka dapat hidup beserta rasa malunya. Lagi pula, kisah Kain tidak berhenti pada saat Kain yang bersalah, menangisi nasibnya dengan putus asa dan hanya merenungkan hukumannya. Dalam kemurahan-Nya yang besar, Allah menanggapi keluhan yang pahit ini dengan menetapkan pem­balasan tujuh kali lipat atas orang yang mengambil nyawa Kain, menempelkan tanda padanya sehingga hubungan yang melindungi dirinya menjadi nyata bagi semua orang.
Kisah air bah, meskipun merupakan contoh terbaik mengenai peng­hakiman Allah atas dosa manusia, juga membuktikan dengan luwes anugerah pemeliharaan-Nya. Pada akhir kisah air bah, ada firman Allah yang merupakan pandangan sekilas mengenai isi hati Allah sendiri (Kej 8:21-22). Di sini kisah air bah merupakan ukuran anugerah Allah yang hidup seperti juga penghakiman-Nya. Kontras ini meliputi seluruh Alkitab dan disuguhkan di sini dengan tegas; keadaan yang sama yang dikemukakan sebagai dasar penghakiman Allah yang dahsyat ("segala kecenderungan hatinya selalu membuahkan kejahatan semata-mata", 6:5) diperlihatkan pula di sini sebagai dasar bagi anugerah dan pemeliharaan­-Nya ("sekalipun yang ditimbulkan hatinya adalah jahat dari sejak kecilnya", 8:21).
Hal ini merupakan ukuran anugerah Allah yang luar biasa, yang menopang ciptaan-Nya. Meskipun dosa manusia tetap berlan­jut, kita dapat saksikan kemurahan Allah itu dalam keteraturan-­keteraturan alam: "Selama bumi masih ada, takkan berhenti-henti musim menabur dan menuai, dingin dan panas, kemarau dan hujan, siang dan malam" (ay 22). Kejahatan manusia tidak berubah, meskipun demikian Allah memindahkan manusia ke dalam suatu dunia yang diatur secara baru dan menjamin kejadian-kejadian alam berlangsung terus.
Akan tetapi, tema anugerah Allah yang menopang dan memelihara ciptaan-Nya tidak terdapat pada titik tertentu dalam cerita itu, yakni pada akhir sekali. Dalam kata-kata von Rad (1972: hlm. 153):
"Kisah menara Babel berakhir dengan penghakiman Allah atas manusia tanpa kata anugerah. Karena itu, seluruh sejarah zaman permulaan seperti terputus dalam ketidakselarasan sehingga ... tim­bul pertanyaan yang lebih mendesak: apakah hubungan Allah dengan bangsa-bangsa akhirnya terputus? Apakah kesabaran Allah sudah habis? Apakah Allah telah menolak bangsa-bangsa dalam kemurkaan-Nya untuk selama-lamanya? Semuanya itu merupakan pertanyaan yang tak dapat dihindarkan oleh pembaca Kejadian 11 yang sungguh-sungguh. Sebenarnya dapat dikatakan bahwa melalui seluruh rencana sejarah zaman permulaan, pembawa cerita sengaja memancing pertanyaan ini dan memperlihatkannya dengan setajam-tajamnya. Baru kemudian pembaca benar-benar disiapkan untuk menerima hal baru yang menyusul setelah kisah pembangunan menara itu, yaitu pemilihan dan pemberkatan Abraham oleh Allah. Di situ sekarang kita berada pada titik bertemunya sejarah zaman permulaan dan sejarah suci, yaitu pada salah satu tempat ter­penting dalam seluruh Perjanjian Lama".

Dengan cara saksama namun tidak mencolok, pengarang membawa riwayat zaman permulaan dan sejarah keselamatan dalam hubungan antara masalah dan pemecahannya, suatu hal yang terpenting untuk memahami seluruh Alkitab. Masalah yang mendesak mengenai dosa manusia yang digambarkan dengan jelas dalam Kejadian 1 - 11, dipecah­kan oleh karya dan prakarsa anugerah Allah yang diawali dengan janji kepada Abraham mengenai tanah dan keturunan. Namun, sejarah keselamatan itu tidak akan tergenapi sampai mencapai puncaknya dalam diri Putra Abraham (Mat 1:1). Kematian dan kebangkitan-Nya akan memberi kemenangan akhir atas dosa dan maut yang sedemikian cepat telah merusak karya Allah yang baik.

Implikasi Untuk Pemahaman Kejadian 1 - 11
Mengenali teknik dan bentuk sastra serta memperhatikan latar belakang sastra Kejadian 1 - 11 tidak berarti fakta-fakta yang digambarkan tidak' benar-benar terjadi. Kitab Kejadian bukanlah mitos, namun bukan juga "sejarah" dalam pengertian modern berupa laporan obyektif oleh saksi mata.
Kitab ini sebenarnya menyampaikan kebenaran teologis tentang peristiwa-peristiwa yang pada umumnya digambarkan dalam jenis sastra simbolis. Hal ini tidak berarti bahwa Kejadian 1 - 11 menyampaikan sejarah yang palsu. Kesimpulan tersebut hanya benar sekiranya pasal­-pasal itu bertujuan memberi gambaran yang obyektif. Ternyata, tidak demikian tujuan dari kisah-kisah tersebut. Di lain pihak, keliru sekali jika kebenaran yang diajarkan dalam pasal-pasal Kitab Kejadian dianggap tidak mempunyai dasar obyektif. Pasal-pasal ini menegaskan kebenaran yang mendasar: penciptaan segala sesuatu oleh Allah; campur tangan Allah yang khusus dalam penciptaan manusia pertama; kesatuan umat manusia; keadaan dunia dan manusia yang semula diciptakan baik; masuknya dosa melalui ketidaktaatan pasangan manusia pertama; dosa yang merajalela setelah kejatuhan manusia ke dalam dosa. Semua kebenaran ini adalah fakta dan kepastiannya menjamin bahwa fakta-fakta itu benar-benar nyata.
Dengan kata lain, penulis Kitab Kejadian memakai tradisi sastra semacam ini untuk melukiskan kejadian-kejadian zaman purba yang unik. Kejadian-kejadian ini tidak memiliki kesejajaran dengan pengalaman manusia biasa yang terbatas oleh waktu sehingga hanya dapat dilukiskan dengan lambang-lambang. Masalah yang sama timbul pada saat mem­bicarakan akhir zaman. Pengarang Kitab Wahyu, misalnya, memakai gaya apokaliptik yang aneh sehingga tidak mudah dipahami.
Hal yang jauh lebih mencolok adalah ketidaksamaan dan perbedaan kisah Alkitab dengan tradisi-tradisi sastra Mesopotamia. Dengan mem­perhatikan kesamaan dengan tradisi-tradisi Mesopotamia saja, bisa tim­bul kesan bahwa kesamaan tersebut adalah ciri-ciri Kitab Kejadian yang paling menonjol, padahal justru sebaliknyalah yang benar.
Ciri-ciri kesusastraan Alkitab yang unik dengan jelas membedakannya dari lingkungan dan sastra bangsa-bangsa sekitar Israel sehingga pembaca umum segera dapat melihat perbedaan itu. Dalam kisah-kisah seperti kisah air bah, nyatalah bahwa apa yang memisahkan kisah Kejadian 1 - 11 dari tradisi sastra Mesopotamia, jauh lebih penting dan lebih jelas daripada apa yang mempersatukan keduanya. Kesusastraan Mesopotamia sarat dengan politeisme. Ilah-ilahnya adalah perwujudan kekuatan­-kekuatan alam yang tidak mengenal prinsip moral, seperti berdusta, men­curi, berzinah dan membunuh. Dalam kesusastraan Babel, manusia tidak mempunyai peranan khusus sebagai makhluk ciptaan tertinggi yang diciptakan menurut gambar Penciptanya. Sebaliknya, manusia hanyalah hamba yang hina dari para ilah dan diciptakan untuk memberi mereka makanan dan sajian.
Sama sekali berbeda dengan itu, kisah-kisah Alkitab mengisahkan tentang Allah yang esa, benar, maha kudus dan maha kuasa. Sebagai Pencipta, la ada sebelum dunia dijadikan dan tidak bergantung pada alam, Ia menciptakan dunia dengan firman-Nya saja dan unsur-unsur pun terjadilah. Karya-Nya baik, seimbang dan utuh.
Meskipun manusia memberontak, Allah memperlunak hukuman-Nya dengan murah hati, mendukung serta memelihara mereka dengan anugerah dan kesabaran. Meskipun dikaburkan oleh penulis manusia, keagungan dan kesempurnaan Penulis Agung itu, meresapi Kitab Suci dengan sifat dan daya tariknya sendiri sehingga membuat kitab itu unik. Hal ini tampak bahkan dalam bagian Kitab Suci yang paling dekat dengan bentuk-bentuk pemikiran zamannya.
Akhirnya, bagaimana jenis sastra ejadian 1 - 11 yang unik itu dapat dipahami? Jelaslah bahwa penulis Alkitab itu diberi petunjuk oleh penyataan Allah kepada Israel mengenai hakikat dunia dan manusia serta dosa yang mengakibatkan terpisahnya manusia dari Allah dan sesamanya. Ia telah dibimbing Allah kepada pemahaman yang benar tentang asal usul dunia dan mengungkapkannya dalam bahasa zamannya.
Lagi pula penulis menyusun tradisi sastra zamannya untuk mengajarkan fakta-fakta teologis yang benar tentang sejarah awal manusia. Penulis Kejadian 1 - 11 tidak bermaksud menjawab keingintahuan manusia dalam bidang biologi dan geologi. Sebaliknya ia ingin menceritakan tentang siapa dan apa manusia itu berdasarkan asal usulnya, yakni manusia diciptakan Allah menurut gambar Sang Pencipta, tetapi dicemari oleh dosa yang segera merusak karya Allah yang baik itu.





Kej. 12-50 : Panggilan kepada Abraham dan perjanjian kepada dirinya dan keturunannya

Konteks Sastra
1. Lebih menekankan pada silsilah keluarga (toledot)
2. Rangkaian kisah-kisah lebih banyak pada satu keturunan

Konteks  Historis
1. Zaman Pra Sejarah
Pada waktu itu, muncul suatu kebudayaan yang kaya dan maju di lembah sungai besar di Mesopotamia dan Mesir. Di Mesopotamia pertanian telah maju dengan irigasi yang cermat. Kota-kota_ didirikan dan usaha kerja sama yang diperlukan oleh proyek-proyek irigasi yang besar mengharuskan didirikannya negara kota dengan sistem administrasi yang rumit. Teknologi telah maju dan seni menulis telah dikembangkan. Hal yang sama berlaku di Mesir. Dengan dimulainya sejarah, Mesir merupakan negeri yang dipersatukan di bawah firaun sebagai kepala negaranya.
2. Timur Dekat Kuno, sebelum tahun 2000 SM
Mesopotamia, Mesir, Siria palestina telah mengelilingi peradaban situasi pada zaman Abraham dan keturunannya.  Kebudayaan, politik sudah mulai maju.  Namun ingat di tengah-tengah bangsa-bangsa yang besar dan maju, Allah menjanjikan kepada Abraham bapa dari segala bangsa, keturunannya akan diberkati, itu bertujuan untuk semakin menguatkan iman Abraham

3. Zaman bapak leluhur sekitar tahun 2000-1500 SM
Pada zaman ituj, Mesir lebih berkembang berkembang daripada  Mesopotamia, Siria Palestina, sehingga seolah-olah Firaun menjadi penguasa, ingat peristiwa Yusuf menjadi orang kedua

Isi
Ada kata-kata yang sering dipakai yaitu: Pilihan, iman, Perjanjian.
Tujuan dari penulisan Kej. 12-50 ini adalah:
1. Pemilihan dan janji-janji Allah
2. Iman yang teruji
3. Perjanjian Allah selama-lamanya
4. Latar belakang berada di perbudakan Mesir



Sejarah bapak-bapak leluhur
Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, sejarah bapak-bapak leluhur (Kej 11:27 - 50:26) dibagi atas lima bagian berdasarkan rumusan toledot yang juga digunakan dalam Kejadian 1 - 11. Ada tiga contoh di mana struktur sastra ini sesuai dengan pembagian menurut isinya, yakni kisah tentang Abraham (11:27 - 25:18), Yakub (25:19 - 37:1) dan Yusuf (37:2 - 50:26).1 Dua rumusan toledot lainnya memperkenalkan silsilah pendek sesudah dua pembagian utama yang pertama. Masing-masing sil­silah ini melengkapi isi bagian tersebut dengan silsilah tokoh sekunder di dalamnya, yaitu Ismael pada akhir kisah Abraham (25:12-18) dan Esau pada akhir kisah Yakub (36:1-34). Hal ini memperlihatkan peranan Ishak bersifat sekunder dalam tradisi bapak-bapak leluhur karena tidak ada rangkaian kisah terpisah yang menyangkut dia.
8.1 Latar belakang historis
Panggilan dan pemberkatan Abraham merupakan suatu perkembangan baru yang radikal. Di sini Allah berkarya dalam sejarah untuk memulai serangkaian peristiwa yang akan menjembatani jurang yang telah diakibatkan oleh dosa antara Dia dan ciptaan-Nya. Karena itu, penting
ditinjau secara singkat latar belakang sejarah keselamatan ini dan tempat­nya dalam sejarah umum setepat mungkin.
Menurut pandangan Wellhausen tentang kritik sastra yang umum dianut pada akhir abad yang lampau, kisah bapak leluhur hampir tidak mempunyai nilai sebagai sejarah. Isi religius dari kisah itu dianggap men­cerminkan kepercayaan pada zaman penulisan kisah itu - masa per­mulaan kerajaan (abad ke-9-ke-8 sM) atau masa sesudah pembuangan (abad ke-6-ke-5 sM).2 Bapak-bapak leluhur sendiri dipandang Wellhausen sebagai tokoh mitos, dewa-dewa Kanaan, pahlawan-pahlawan cerita rakyat pra-Israel, atau personifikasi suku-suku, yang sejarahnya ter­cermin dalam gerak dan hubungan-hubungan bapak-bapak leluhur itu 3 Pada saat pandangan ini dikembangkan, sejarah dan kebudayaan zaman itu sebenarnya belum dikenal. Sejak saat itu ratusan lokasi sudah digali di Palestina, Siria dan Mesopotamia' di mana ratusan ribu naskah ditemukan.s Benda-benda ini memungkinkan rekonstruksi yang agak terinci mengenai sejarah Timur Tengah, setidak-tidaknya pada pusat­pusat utama kebudayaan seperti Mesir dan Mesopotamia. Meskipun banyak persoalan dan pertanyaan yang belum terjawab, penemuan­penemuan ini banyak mengubah pengetahuan tentang masa itu sehingga tidak lagi merupakan zaman yang tak dikenal. Garis besar singkat tentang peristiwa-peristiwa penting dalam zaman itu adalah sebagai berikut 6 .
2. Wellhausen (1885: him. 318-319) menulis, "Kita tidak mempunyai pengetahuan historis mengenai para bapak leluhur, hanya tentang zaman ketika cerita-cerita tentang mereka menjadi populer di Israel. Zaman yang kemudian secara tidak sadar diproyeksikan ke
dalam zaman terdahulu."
3. Pandangan-pandangan itu dibahas berikut dengan kepustakaannya oleh Rowley (1965: him. 283) dan Parrot (1968: him. 3). Sejarah dan perkembangan pandangan itu diuraikan oleh Weidmann (1968).
4. Lihat Hunt (1967: him. 2-11) untuk daftar lokasi dan kepustakaan tentang hal itu.
5. Kumpulan naskah yang penting sehubungan dengan sejarah zaman bapak leluhur adalah sebagai berikut:
(1) Naskah-naskah Man, abad ke-18 sM (ANET: him. 482-483);
(2) Naskah-naskah Nuzi, abad ke-15 sM (ANET: him. 219-220);
(3) Naskah-naskah Kapadokia, abad ke-19 sM;
(4) Lempeng-lempeng Alalakh, abad ke-17 dan ke-15 sM;
(5) Berbagai kumpulan hukum, misalnya undang-undang Hammurabi (abad ke-18 sM), hukum-hukum Asyur Tengah (abad ke-13 sM), hukum-hukum Het (abad ke-15 SM); (6) Naskah-naskah dan Dinasti I Babel (abad ke-19-16 sM);
(7) Naskah-naskah Ugarit, abad ke-14 sM (ANET: him. 129-149);
(8) Naskah-naskah kutuk Mesir, abad ke-19-18 sM (ANET: him. 328-329); (9) Lempeng-lempeng Amarna, abad ke-14 sM (ANET: him. 483-490).
a. Zaman prasejarah

Sejarah dalam arti sebenarnya7 dimulai kira-kira tahun 3000 sM di Timur Tengah kuno. Pada waktu itu, muncul suatu kebudayaan yang kaya dan maju di lembah sungai besar di Mesopotamia dan Mesir. Di Mesopotamia pertanian telah maju dengan irigasi yang cermat. Kota-kota_ didirikan dan usaha kerja sama yang diperlukan oleh proyek-proyek irigasi yang besar mengharuskan didirikannya negara kota dengan sistem administrasi yang rumit. Teknologi telah maju dan seni menulis telah' dikembangkan. Hal yang sama berlaku di Mesir. Dengan dimulainya sejarah, Mesir merupakan negeri yang dipersatukan di bawah firaun sebagai kepala negaranya. Bukti-bukti yang ada memperlihatkan bahwa' pada masa pra-sejarah, wilayah-wilayah setempat yang banyak jumlahnya telah membentuk dua kerajaan besar, satu di daerah utara delta dan lain­nya di selatan. Tulisan hieroglif telah maju melampaui tahap-tahap primitif. Pada awal masa sejarah Dinasti IV (kira-kira 2600 sM), raja-raja. dapat mengerahkan dan mencukupi sumber-sumber manusia serta peralatan yang diperlukan untuk mendirikan piramida-piramida besar di Giza. Lagi pula, Mesir dan Mesopotamia yang terletak dekat ujung dunia Alkitab, telah mengadakan hubungan yang menghasilkan pertukaran kebudayaan yang penting. Pada awal sejarah, kira-kira 1500 tahun sebelum Israel muncul, Timur Tengah telah melihat bangkitnya semua unsur penting dalam dua kebudayaannya yang utama.

b. Timur Tengah kuno, sebelum tahun 2000 sM

Mesopotamia
Bangsa Sumer adalah pencipta kebudayaan yang telah mencapai puncak., nya ketika sejarah dimulai di Mesopotamia. Asal mula dan perkembang' an kebudayaan mereka tidak dapat ditelusuri. Secara politis Mesopotamia terdiri atas negara-negara kota merdeka (Zaman Dinasti Awal, kira-kira 2800-2360 sM). Cara hidup bangsa Sumer diatur sekitar kuil, dengan kekuasaan agama dan politik yang terpadu siecara erat. Para ahli tulisan telah mengembaligkan tulisan bersegi (kuneiform) dan kebanyakan syair kepahlawanan dale mitos dalam sastra Asyur dan Babel kemudian, per­tama kali ditulis pada masa ini. Perdagangan, perniagaan dan kehidupan ekonomi telah berlembang.
Meskipun bangsa Sumer paling menonjol, namun bangsa Semit juga hidup di daerah Mesopotamia bawah pada masa ini. Orang-orang ini dinamakan orang Akkad menurut nama negara-kota Akkad, di tempat mereka pertama kali tampil. Mereka amat dipengaruhi oleh kebudayaan maupun agama Sumer dan mengambil alih tulisan bersegi ke dalam bahasa mereka. Akhirnya, seorang penguasa Semit, Sargon, merebut kekuasaan dan mendirikan kerajaan yang bertahan selama 180 tahun (2360-2180 sM). Keturunannya memerintah seluruh Mesopotamia, dae­rah yang terbentang sampai ke Elam di timur dan Laut Tengah di barat 8
Kerajaan Akkad diakhiri oleh suku barbar Guti, yang menyerang mulai dari Pegunungan Zagros di timur kira-kira tahun 2180 sM. Sangat sedikit diketahui tentang abad berikutnya, tetapi kira-kira tahun 2050 sM negara kota Sumer selatan mematahkan kekuasaan Guti. Di bawah Dinasti III kota Ur (Ur III, 2060-1950 sM), kebudayaan Sumer men­capai puncak yang terakhir. Ur-nammu, pendiri dinasti itu, termasyhur khususnya karena kumpulan hukumnya. Selama masa ini, bangsa Sumer dan Akkad hidup berdampingan dalam keharmonisan bangsa dan kebu­dayaan, sedangkan bahasa dan kebudayaan Akkad lambat laun menggantikan bahasa dan kebudayaan Sumer. Meskipun bahasa Sumer tetap merupakan bahasa suci dan tradisional dalam tulisan, namun kegunaannya sebagai bahasa sehari-hari tidak berfungsi lagi. Pada waktu Allah memanggil Abraham dari Ur-Kasdim, kebudayaan Sumer telah bangkit, berkembang dan lenyap, meskipun mereka sangat mem. pengaruhi orang Akkad dan pengganti-penggantinya. Ur III runtuh setelah tahun 2000 sM, diperlemah oleh kedatangan orang-orang bare, terutama orang Amori yang akan membentuk sejarah Mesopotamia selatan dan utara untuk beberapa abad kemudian.
8. Penemuan baru di Tel Mardikh (Ebla) di Siria barat laut akan mengubah dan menambah pengetahuan mengenai zaman itu. Ibrum, Raja Ebla, menguasai kerajaan besar, dan negara-kota sejauh Yerusalem di Palestina membayar upeti kepadanya. Kebudayaan setempat sangat tinggi, ada kamus dua bahasa yang menerangkan arti kata-kata Sumer dalam bahasa setempat (bahasa Ebla). Bagian-bagian dari kumpulan hukum yang kira-kira 400 tahun lebih awal dari kumpulan hukum Ur-nammu telah ditemukan.

KITAB KEJADIAN III                                141

Mes1-­
'S~elama tujuh ratus tahun Mesir tetap berdiri sebagai bangsa yang bersatu dan memiliki kebudayaan yang tinggi. Peninggalan yang paling mengesankan dari kebudayaan besar ini adalah piramida-piramida - tugu-tugu raksasa yang erat hubungannya dengan pemujaan orang mati yang masih mengagumkan para penelitinya 4500 tahun kemudian. Kebudayaan tinggi yang berkembang ini adalah Kerajaan Tua (kira-kira 2900-2300 sM), didirikan oleh raja-raja dari selatan dan mencapai pun­caknya di bawah Dinasti III dan IV (kira-kira 2600-2400 sM). Selama masa ini semua ciri yang menjadi tanda kebudayaan Mesir yang unik dimantapkan. Dari hasil penemuan, terdapat karya para firaun Dinasti V dan VI lebih dikenal meskipun tidak semegah Dinasti III dan IV. Mereka melapisi dinding piramida-piramida dengan gambar-gambar dan mantera-mantera magis yang diukir dan diwarnai dengan hati-hati - naskah-naskah piramida, yang merupakan tulisan-tulisan keagamaan ter­tua yang kita kenal.
Pada abad ke-23 sM, kesatuan negara itu dihancurkan oleh persain-: gan penguasa-penguasan wilayahnya ketika tidak ada pmerintah pusat yang kuat. Lalu Mesir masuk ke dalam masa kekacauan sosial dan kerun tuhan ekonomi yang dikenal sebagai Periode Pertengahan Pertama (kira-kira 2200-2050 sM). Kesusastraan masa itu mencerminkan" kesulitan hidup dan kesuraman nasional (lihat ANET: him. 405-410): Akhirnya, pada pertengahan abad ke-21 sM, Dinasti XI yang berasal dark Tebe mempersatukan negara Mesir dan membawanya ke Kerajaan Tengah, suatu masa stabilitas dan kejayaan Mesir yang kedua. Lama sebelum Abraham, Mesir telah mengalami kemajuan dan kebudayaan selama seribu tahun.

Siria-Palestina I Pengetahuan tentang Siria dan Palestina sebelum abad ke-20 sM masih­kabur. Penemuan hampir dua puluh ribu lembaran tanah liat di Tel Mardikh (Ebla) dekat Aleppo pada tahun 1975-76 menyebabkan para cendekiawan percaya bahwa ada suatu kerajaan besar yang berpusat di sini sekitar abad ke-25 sM dan kerajaan itu mempunyai kota-kota jajahan sampai ke Siprus, Sinai, Anatolia dan dataran tinggi Mesopotamia. Pembacaan dan publikasi teks-teks tulisan bersegi dan analisis peninggalan arkeologis belum memungkinkan penafsiran yang memadai, tentang kebudayaan Zaman Perunggu Awal dan pengaruhnya terhadap penelitian Alkitab.  Sekitar abad ke-30 sM yang menjadi ciri utama Palestina adalah perkembangan kota-kota kecil yang dibangun dengan baik dan diperkuat oleh benteng, seperti terlihat dari penggalian di Yerikho, Megido, Bet­Sean dan Lakhis. Penduduknya biasa dikenal sebagai bangsa Kanaan dari nama daerah yang terdapat dalam teks-teks kemudian. Bukti arkeologis memperlihatkan bahwa menjelang abad ke-20 sM setiap kota Kanaan yang kita ketahui telah dihancurkan sehingga berakhirlah kebudayaan Zaman Perunggu Awal. Penyebab-penyebab kehancuran ini tidak diketahui, meskipun mereka kerapkali diduga termasuk kelompok Amori yang mulai memasuki Mesopotamia.

c. Zaman bapak leluhur sekitar tahun 2000-1500 sM

Mesopotamia_
Kira-kira tahun 1950 sM, Ur III baru saja kehilangan kekuasaannya, antara lain karena masuknya orang-orang Semit barat yang dikenal sebagai orang Amori. Kemerosotan ini mengakibatkan pertentangan selama dua abad antara negara kota Mesopotamia Bawah, sehingga pada akhirnya hampir setiap negara kota di Mesopotamia Atas dan Bawah diperintah oleh dinasti Amori. Meskipun penduduk ash di Mesopotamia bagian selatan tetap orang Akkad, di bagian barat laut orang Amori menggantikan mereka secara menyeluruh. Walaupun ada kekacauan politik dan ekonomi, namun masa ini bukan merupakan abad yang gelap. Dua kumpulan hukum telah ditemukan, satu dalam bahasa Akkad di Esynunna, dan satu lagi dari Isin, yang disusun oleh Lipit-Isytar. Keduanya mempunyai persamaan yang erat dengan "Kitab Perjanjian" dalam Perjanjian Lama (Kel 21 - 23).
Pada masa ini untuk pertama kalinya Asyur dan Babel yang menguasai sejarah Akkad dalam zaman berikutnya, memainkan peranan penting dalam sejarah. Kira-kira tahun 1900 sM, Asyur yang diperintah oleh dinasti Akkad, mendirikan koloni perniagaan jauh di bagian barat laut, di kota Anatolia kuno di Kanis (kini Kultepe dekat Kayseri di Turki). Koloni ini dikenal dari naskah-naskah Kapadokia - beberapa ribu lem­baran tanah liat yang ditemukan di Kanis memberi keterangan tentang kebudayaan dan bangsa di daerah itu. Dinasti Akkad itu tetap berkuasa hingga kira-kira tahun 1750 sM. Lalu dinasti ini digantikan oleh dinasti Amori yang didirikan oleh Syamsi-adad yang menguasai Mesopotamia Atas untuk waktu yang singkat. Lawan utamanya adalah kota Mari, yang membebaskan diri dari penjajahan Asyur kira-kira tahun 1730 sM. Penggalian di Mari telah memperlihatkan adanya kebudayaan tinggi, yang
dikenal berdasarkan lebih dari 20.000 lembaran tanah liat yang sangat penting untuk latar belakang zaman bapak leluhur Israel. Untuk semen­tara Mari merupakan pusat kekuasaan pada masa itu.
Namun, baik Mari maupun Asyur kalah dalam pertempuran mela­wan Babel di bawah Hammurabi (1728-1686 sM), dari dinasti Amori yang memerintah Babel sejak 1830 sM. Pada waktu naik takhta, Hammurabi tidak saja berhadapan dengan Mari dan Asyur tetapi juga dengan Larsa, yang pada zaman dinasti Elam memerintah seluruh Mesopotamia sebelah selatan Babel. Dalam serbuan-serbuan yang gemi­lang, Hammurabi mengalahkan lawan-lawannya dan memerintah mulai dari Niniwe hingga Teluk Persia. Kebudayaan yang dikembangkan Dinasti Pertama Babel mengubah kota itu, dari kota yang tidak penting menjadi pusat kebudayaan terbesar pada zaman itu. Banyak sekali naskah yang mengungkapkan kesusastraan dan pengajaran yang jarang dicapai pada zaman dahulu. Yang terpenting adalah kumpulan hukum Hammurabi, yang didasarkan pada tradisi hukum yang meliputi abad­abad terdahulu (sebagaimana diperlihatkan oleh kumpulan hukum Ur-nammu, Lipit-Isytar dan Esynunna) dan mempunyai banyak persama­an mencolok dengan hukum-hukum Taurat. Walaupun demikian jaya, kerajaan Hammurabi berakhir dengan mangkatnya Hammurabi. Di bawah penggantinya sebagian besar negara jajahannya memisahkan diri. Meskipun Babel tetap sebagai negara merdeka selama lebih dari satu abad, pada akhirnya kerajaan itu harus mempertahankan diri dari bangsa Kassit, pendatang baru dari Pegunungan Zagros di timur.
Sebagian alasan merosotnya kekuasaan Babel ialah membanjirnya pendatang baru ke daerah mereka, terutama dari sebelah utara. Perpindahan bangsa-bangsa sangat mengganggu keamanan dan meng­akibatkan banyak bukti naskah hilang, sehingga selama dua abad hampir tidak ada bukti tentang berdirinya negara dan kerajaan baru. Yang ter­penting di antara pendatang baru ialah bangsa Hurri, bangsa non-Semit yang berdiam di barat laut Mesopotamia sejak abad ke-20 sM, namun sekarang bergerak ke daerah itu. Dari bukti tertulis sekitar tahun 1500 sM, bangsa Hurri diketahui menguasai kerajaan Mitanni yang terbentang mulai dari Alalakh Dada belokan Sungai Orontes dekat Laut Tengah di barat, hingga kaki Gunung Zagros, melewati Sungai Tigris di timur. Negara Asyur berada dalam kekuasaan mereka, dan selama beberapa waktu pada awal abad ke-15 sM, bangsa Hurri bersaing dengan Mesir untuk menjadi kerajaan dunia. Bangsa Indo-Eropa- datang bersama dengan bangsa Hurri namun dalam jumlah yang jauh lebih kecil dan kebanyakan merupakan golongan bangsawan yang memerintah. Nama­nama raja kerajaan Mitanni pada umumnya adalah nama Indo-Eropa.
Di Asia Kecil bangsa Het yang bahasanya termasuk rumpun bahasa Indo-Eropa lalu tampil ke muka. Menjelang abad ke-20 sM, mereka telah bergerak ke pusat Asia Kecil, tempat mereka mulai berjaya di antara negara-negara kota. Pada kira-kira tahun 1550 sM mereka mendirikan kerajaan di bagian tengah dan timur Asia Kecil dengan ibu kota Hattusas (Boghazkoy pada masa kini) dan segera terlibat dalam konflik dengan kerajaan Hurri Mitanni. Kekalahan Dinasti Pertama Babel pada tahua 1530 sM bukan disebabkan oleh kuasa Mesopotamia tetapi karena serangan kilat Mursilis I, penguasa pertama kerajaan Het kung. Meskipun demikian, orang Het belum menguasai Asia Kecil dan tidak dapat mendirikan kerajaan pada abad berikutnya. Dengan demikian, tak lama setelah tahun 1500 sM, Mesopotamia baru keluar dari masa kemelut dan kekacauan dengan membentuk perserikatan politik yang segera menyulut peperangan untuk mendirikan kerajaan dunia. Kekalutan yang disebabkan gerakan etnis itu mempengaruhi Mesir pula.

Mesir
Kerajaan Tengah adalah masa perkembangan kedua bagi kebudayaan dan stabilitas Mesir. Kerajaan itu mencapai puncaknya pada Dinasti XII yang memerintah Mesir selama dua ratus tahun dengan Memfis sebagai ibu kotanya (kira-kira 1991-1786 sM). Masa ini merupakan masa kemak­muran dan kecermelangan bagi Mesir. Sastra dan kesenian mencapai tingkat tinggi yang jarang dicapai lagi dengan melimpahnya tulisan-tulisan hikmat dan kisah-kisah. Dari masa ini berasal "naskah-naskah kutukan", yakni mantera-mantera melawan musuh-musuh Mesir di Palestina yang ditulis pada mangkuk, lalu dibanting agar kutukan itu terjadi. Nama-nama dalam naskah-naskah ini menunjukkan bahwa Mesir tidak menguasai sebagian besar Palestina secara ketat.
Namun, pada bagian kedua dari abad ke-18 sM dinasti-dinasti saing­an (Dinasti XIII dan XIV) menunjukkan tanda-tanda kemunduran. Kerajaan Tengah menjadi lemah sehingga orang asing dari Palestina dan Siria bagian selatan menyusup dan akhirnya merebut kekuasaan. Mereka disebut Hiksos, yang dalam istilah Mesir berarti 'pemimpin asing'. Identitas mereka masih diperdebatkan, tetapi tampaknya kebanyakan mereka adalah orang Semit Barat (orang Kanaan atau Amori). lbu kotanya di Avaris di bagian timur laut daerah Delta. Mereka memerintah Mesir dan sebagian Palestina selama hampir satu abad (kira-kira
1650-1542 sM). Mungkin saja, Yusuf dan saudara-saudaranya datang ke Mesir pada masa ini.
Perjuangan untuk kemerdekaan dari kekuasaan asing itu dimulai di selatan, di Mesir Hulu. Ahmosis, pendiri Dinasti XVIII merebut Avaris dan mengejar Hiksos ke Palestina. la menaklukkan Saruhen, pusat utama mereka di sana, setelah penyerangan selama tiga tahun. Dengan kemer­dekaannya kembali, Mesir memastikan bahwa pertahanan yang terbaik adalah melakukan penyerangan dan untuk pertama kalinya mereka mulai membangun kerajaan di Asia. Strategi ini mengakibatkan konflik langsung untuk menjadi penguasa dunia dengan kekuatan-kekuatan baru yang sudah berpusat di sana. Perjuangan ini memulai apa yang disebut oleh Breasted sebagai "internasionalisme pertama". Peristiwa keluaran dari Mesir paling baik dijelaskan dalam kaitan dengan masa ini.

Siria-Palestina
Dibandingkan dengan bukti untuk masa ini dari Mesir dan Mesopotamia, maka bukti dari daerah Siria-Palestina sangat sedikit. Sebagian alasannya ialah belum banyak yang ditemukan dari masa ini, tetapi sebagian besar disebabkan oleh sejarah dan kebudayaan fisik dari Palestina itu. Dever (1977: him. 74-75) menuliskan:
"Sekarang kita dapat menempatkan Palestina dalam konteks seluruh Timur Tengah kuno. Jelaslah bahwa negara itu selalu terbelakang dalam kebudayaan, miskin dalam kesenian maupun ekonomi. Lagi pula, sejarah politiknya yang selalu bergolak telah membuka peluang untuk perampasan, penghancuran dan pembangunan kembali oleh sederetan panjang orang-orang dari berbagai kebudayaan, sehingga stratifikasi lapisannya sangat rumit dan bahan-bahan peninggalannya kurang terpelihara. Akhirnya, iklim lembab di daerah Palestina tengah serta penggunaan papirus dan perkamen sebagai media untuk penulisan telah menyisakan bagi kita hanya sedikit sekali peninggalan tertulis (Alkitab merupakan suatu pengecualian). Bila kita cukup beruntung mendapat peninggalan tertulis, bahan peninggalan itu biasanya begitu terpencar sehingga sulit dimengerti, dan kaftan dengan peninggalan benda-benda hasil kecerdasan acap­kali sangat sulit dilihat. Pendeknya, dibandingkan dengan kebuda­yaan daerah sekitarnya, kebanyakan arkeologi Palestina sebelum adanya Israel sebenarnya adalah prasejarah".
Akibatnya, sejarah Palestina pada masa ini tidak dapat ditulis, kecuali pernyataan-pernyataan yang sangat umum saja.
Setelah zaman peralihan yang tak jelas menjelang abad ke-20 sM biasanya dikenal sebagai Zaman Perunggu Tengah 19- muncullah paduan kebudayaan baru yang menghasilkan peradaban perkotaan yang semakin berkembang. Karena tidak ada bahan-bahan tertulis, peradaban ini disebut Zaman Perunggu II, meskipun acapkali dinamai "kebudayaan orang Kanaan" sesuai dengan nama daerah itu dalam naskah-naskah yang kemudian.10 Masa ini dibagi berdasarkan corak keramiknya menjadi Zaman Perunggu IIA (2000/1950-1800 sM), tahap pembentukan kebu­dayaan tersebut; dan Zaman Perunggu IIB-C (1800-1550/1500 sM),tt Zaman Perunggu II B-C yang merupakan lanjutan Zaman Perunggu IIA, memperlihatkan bentuk perkembangan penuh dari peradaban "Kanaan". Peradaban ini menimbulkan negara kota Siria-Palestina yang kuat dan makmur, yang didirikan pada bagian terakhir dari masa itu sesudah tahun 1600 sM. Berdasarkan data arkeologis, para ahli mengambil kesimpulan bahwa ada kesinambungan kebudayaan antara Palestina pada masa ini dengan Siria raya. Kini tidak disangsikan lagi bahwa peradaban perkotaan inilah yang membentuk bagian terbesar bangsa-bangsa Hiksos yang menguasai Mesir selama Periode Pertengahan Kedua. Peradaban ini juga merupakan pusat perlawanan terhadap pembentukan kekuasaan Mesir di Asia di bawah firaun-firaun dari Dinasti XVIII pada akhir masa penguasaan orang-orang Hiksos.
Karena belum diperoleh naskah-naskah dari Palestina pada masa ini, maka identitas orang-orang yang menciptakan kebudayaan ini tetap merupakan pertanyaan yang belum terjawab. Namun, para pakar pada Kedua, kesamaan nama-nama dari Palestina dengan nama-nama orang Amori dari Mesopotamia merupakan kesimpulan yang terburu-buru.18 Lagi pula, andaikan kesamaan ini dapat ditentukan, tetap tidak akan memperlihatkan perpindahan etnis dari Mesopotamia ke Palestina. Ada bukti yang jelas bahwa orang Semit Barat kuno telah hadir di Palestina dan di pantai Fenisia jauh sebelum mereka memasuki Siria (dan Mesopotamia barat laut), sehingga hampir tidak mungkin meng­identifikasi pendatang Semit Barat di antara penduduk Semit Barat yang telah ada.19 Setidak-tidaknya sudah pasti bahwa tidak ada data yang dapat ditafsirkan untuk menunjang hipotesis mengenai adanya perpindahan etnis besar-besaran orang Amori dari Siria utara-tengah. Sekiranya data arkeologis dan bahasa menimbulkan suatu hipotesis adanya perpindahan orang-orang Semit Barat ke Palestina, lebih mungkin mereka datang dari daerah-daerah Siria barat daya ke arah utara Palestina (lihat de Vaux 1978: him. 68), atau dari dataran Siria di timur laut.
Akhirnya, mendekati akhir Zaman Perunggu Tengah II, nama-nama Ur dan Indo-Eropa muncul dalam naskah tulisan dari daerah itu, yang disebut "negeri Hurru" oleh orang-orang Mesir dari Dinasti XVIII dan XIX. Ini menunjukkan bahwa Palestina dipengaruhi oleh gerakan kelompok-kelompok etnis yang sama dengan apa yang telah dikemukakan di atas tentang Mesopotamia barat laut. Seberapa dalam pengaruh ini dirasakan dan sejak kapan, masih diperdebatkan, namun agaknya tidak mungkin sebelum abad ke-15 sM 20
bandingan hanya diambil dari beberapa teks dari sekitar tiga ratus teks hukum keluarga yang ditemukan di tempat itu, sehingga sukar dianggap mewakili adat istiadat masyarakat Nuzi sekalipun (lihat Selman 1976: him. 116). Kedua, adat istiadat Nuzi lebih mirip dengan adat- istiadat dunia Mesopotamia daripada yang diperkirakan semula sehingga adanya hukum keluarga Hurri yang khas, sangat diragukan (Selman 1980:
Meskipun demikian, ada sejumlah kesejajaran yang nyata antara adat istiadat para bapak leluhur dengan adat istiadat TimurTengah kuno. Dari kesejajaran itu dapat dikatakan bahwa kisah para bapak leluhur mencerminkan dengan tepat keadaan masyarakat dan sejarah waktu itu sebagaimana digambarkan dalam Alkitab.47
(5) Gambaran umum tentang agama bapak-bapak leluhur termasuk gambaran yang tua dan otentik.48 Secara khusus, Allah digambarkan sebagai Allah bapak leluhur dan keluarga besarnya secara pribadi, tidak seperti Allah tempat-tempat suci dan kuil-kuil orang Kanaan. la mengikat diri-Nya sendiri dalam perjanjian dan berjanji bahwa la akan melindungi mereka. Gambaran ini sungguh otentik, sehingga jelaslah bahwa agama bapak-bapak leluhur bukan merupakan gambaran yang diciptakan oleh kepercayaan orang Israel kemudian. Hal ini ditunjukkan oleh beberapa hal, misalnya nama El dipakai untuk menyebut Allah, bukan nama Yahweh; nama Baal sama sekali tidak disebut, apalagi dipakai; ada hubungan yang langsung antara Allah dengan bapak leluhur tanpa per­antaraan imam, nabi atau upacara; dan Yerusalem sama tidak disebut (lihat Wenham 1980: him. 184-185).
Bukti-bukti lain kurang meyakinkan.49 Apa yang telah disuguhkan di penting sebab tujuan itu menentukan pemilihan data sejarah yang hendak ditulis.
Penulis-penulis Alkitab tidak terkecuali dari kedua pertimbangan ini. Walaupun mereka menulis dengan ilham Allah (lihat di atas: ps 2) tidak berarti bahwa pengetahuan mereka tentang masa lampau berbeda dengan orang-orang yang lain. Ilham tidak memberikan kepada mereka keterangan-keterangan baru atau membuat jelas hal-hal yang kabur, seperti yang terlihat dari Alkitab. Mereka sering menyebut sumber­sumber sejarah yang mereka pakai (Bil 21:14; Yos 10:12-13; 1 Raj 14:19). Perbandingan antara tulisan-tulisan mereka mengungkapkan perbedaan­perbedaan yang luas dalam pengetahuan mereka tentang masa lampau S0 Lagi pula, tujuan para penulis Alkitab terutama bersifat teologis dan pemilihan serta penyajian peristiwa-peristiwa sangat dipengaruhi oleh pandangan keagamaan mereka. Yang menjadi perhatian mereka yang utama adalah karya Allah dalam peristiwa-peristiwa kehidupan manusia, bukan peristiwa-peristiwa itu sendiri. Mereka menulis sejarah untuk menanamkan teologi, apakah itu fakta-fakta sejarah keselamatan ataupun kebenaran teologis yang kurang berhubungan dengan sejarah. Mereka tidak memalsukan sejarah, tetapi sering sangat selektif sehubungan dengan tujuan-tujuan mereka S'
Lalu, apa yang dapat dikatakan tentang jenis sejarah dari kisah para bapak leluhur Israel? Pertama, sejarah itu adalah sejarah keluarga, yang kurang memperhatikan hubungan antara cerita-cerita keluarga dengan peristiwa-peristiwa zaman itu. Cerita-cerita tersebut pasti diwariskan terutama melalui tradisi lisan. Para peternak semi-nomad biasanya tidak mempunyai catatan tertulis dan kisah-kisah itu sendiri memberikan pasal yang menyusul didominasi janji-janji ini dan dimaksudkan untuk memperlihatkan cara Allah memenuhi janji-janji-Nya sekalipun Abraham tidak mempunyai seorang ahli waris (lihat di bawah ini: ps 8.5.a). Penulisan semacam ini harus diakui sebagai "masa lampau yang diingat" - ingatan populer suatu bangsa. Perbedaannya dengan penulisan sejarah kerajaan Israel tidak terletak dalam realitas suatu peristiwa tetapi dalam cara penurunannya. Tradisi lisan menjadi jembatan dari abad ke abad 52 Dalam masyarakat yang sederhana dan di antara bangsa yang sebagian besar buta huruf, tradisi lisan jauh lebih tepat dan kuat daripada yang dapat dibayangkan oleh manusia modern yang lazim membaca 53 Lagi pula, kebudayaan bapak-bapak leluhur merupakan cara yang ideal, dapat dipercaya dan tepat untuk menurunkan tradisi. Yang menjadi ciri kebudayaan itu adalah lingkungan sosial yang tertutup dan diikat oleh ikatan darah dan agama (mula-mula satu keluarga, kemudian bangsa besar). Mereka diikat bersama terus-menerus karena hidup bersama secara terpencil dan sama-sama harus menghadapi tekanan dari luar. Karena itu, kisah-kisah para bapak leluhur adalah tradisi umum, yang dipelihara berabad-abad lamanya melalui ingatan umat Israel secara bersama-sama, dan rangkaian kisah-kisah itu kemudian dianyam bersama-sama dengan keterampilan beberapa penutur cerita yang ulung.
8.4 Agama bapak-bapak leluhur

Tidaklah mungkin mengumpulkan gambaran lengkap mengenai keyakin­an dan praktik agama bapak-bapak leluhur dari kisah-kisah dalam Kejadian 12-50. Meskipun demikian, keterangan yang cukup dapat dikumpulkan untuk memperoleh gambaran umum dan menempatkan agama mereka dalam konteks budayanya, sebagaimana diberikan oleh penemuan kembali latar belakang sejarah dan kebudayaan zaman mereka.
akan mendapat berkat oleh dia. Pada awal sejarah keselamatan ini, sudah terdapat pernyataan tentang akhirnya, yakni keselamatan yang dijanjikan Allah kepada Abraham akhirnya akan mencakup semua manusia. Allah dalam murka-Nya tidak menyingkirkan umat manusia untuk selamanya, melainkan la bertindak lagi untuk memulihkan hubungan yang terputus antara Dia dan dunia-Nya sebagai akibat kejatuhan manusia ke dalam dosa. Jadi, dengan hati-hati dan saksama, penulis Kitab Kejadian meng­hubungkan prolog riwayat zaman permulaan dan sejarah keselamatan seperti suatu masalah dengan pemecahannya. Ini sangat penting untuk memahami seluruh Alkitab.
Tetapi, vats itu jugs sangat penting untuk memahami kisah-kisah para bapak leluhur yang berikut, karena vats tersebut mengungkapkan temanya, yakni pemenuhan janji janji Allah secara bertahap, termasuk suka dukanya dan akhirnya pemenuhannya yang gemilang. Penulis tidak menyajikan biografi; is mengajarkan teologi dengan berbagai tema yang dijalin dalam kisahnya.

a. Pemilihan dan janji janji Allah

Apabila panggilan Abraham dipahami dengan jelas, arah kisah tersebut menjadi jelas. Abraham akan menjadi bangsa besar (12:2), tetapi Sara mandul (11:30); tanah itu akan menjadi milik keturunannya (12:7), tetapi orang Kanaan mendudukinya (12:6). Pada awalnya penutur cerita dengan sadar menjajarkan janji Allah dengan keadaan yang dialami Abraham. Masalah inilah yang mendapat perhatian utama dalam Kejadian 12.- 21. Janji itu dinyatakan dalam cara yang berlebih-lebihan - keturunan; Abraham akan menjadi "seperti debu tanah banyaknya" (13:16) dari; sebanyak bintang-bintang di langit (15:5). Dan Abraham mencoba segala cara untuk memperoleh anak. la mengambil budak yang lahir di rumah­nya sebagai anak (15:2-3). Sara melindungi kedudukannya sebagai istri Abraham dengan memberi budaknya, Hagar, sebagai istri kedua dan melalui perkawinan ini lahirlah Ismael (Kej 16). Tetapi, tak satu pun dari;: kedua usaha itu memenuhi janji Allah akan seorang putra melalui Sara (15:4; 17:18-19). Akhirnya ketika usia lanjut membuat janji itu menjadi mustahil menurut ukuran manusia, "TUHAN memperhatikan Sara seperti yang difirmankanNya, dan TUHAN melakukan kepada Sara seperti yang dijanjikanNya" (21:1). Lalu lahirlah Ishak.
Janji yang serupa diperteguh pada setiap generasi bapak-bapalc leluhur sesudah itu: kepada Ishak (26:2-4); kepada Yakub di Betel ketika is meninggalkan Kanaan karena takut pada Esau setelah mencuri hak
kesulungannya (28:13-14); kemudian kepada Yakub lagi di Betel sewaktu is hendak kembali (35:11-12); lalu kepada Yusuf dan putra-putranya (48:1-6).
Hal ini merupakan tema utama sebagaimana dapat dilihat dalam cara janji itu dipenuhi dalam peristiwa pembebasan Israel dari Mesir oleh pertolongan Allah:
"Aku telah mengadakan perjanjianKu dengan mereka [bapak-bapak leluhur] untuk memberikan kepada mereka tanah Kanaan . . . dart Aku ingat kepada perjanjian-Ku . . . Aku akan menebus kamu dengan tangan yang teracung ... Dan Aku akan membawa kamu ke negeri yang dengan sumpah telah Kujanjikan memberikannya kepada Abraham, kepada Ishak dan kepada Yakub" (Kel 6:3-8).
Jadi, sejarah keselamatan dalam masa bapak-bapak leluhur adalah waktu pemilihan Abraham dan keturunannya oleh Allah dan waktu janji Allah. Pemenuhan janji itu rupanya ditunda karena tanah itu didiami orang-orang Kanaan -" Abraham dan keturunan langsungnya hanya memiliki ladang dan gua Makhpela (Kej 23), tempat Abraham (25:7-10), Ishak (35:27-29) dan Yakub (49:29-31) dikuburkan. Hanya dalam kematianlah, mereka bukan pengembara lagi. Bahkan pada akhir masa bapak-bapak leluhur, mereka sama sekali tidak tinggal di tanah itu, tetapi pindah ke tanah Mesir.
Kisah Yusuf merupakan tahap pertama dalam peralihan dari keluarga bapak leluhur yang semi-nomad menuju bangsa yang merdeka, sesuai dengan janji Allah. Anak kesayangan itu dibenci oleh saudara­saudaranya, dijual menjadi budak dan dibawa ke Mesir. Di sana kebajikan, kebijaksanaan dan keramahan dengan cepat membuatnya maju, lalu menempatkannya pula dalam kesulitan (Kej 37 - 39). Karunia yang diberikan Allah untuk mengartikan mimpi-mimpi membuat Yusuf mendapat perhatian Firaun dan penafsirannya atas mimpi tentang ben­cana kelaparan serta pemecahan yang bijaksana yang diberikannya, mem­bawanya pada kedudukan yang tinggi (Kej 40-41). Pada waktunya hal ini membuka jalan bagi Yusuf untuk memelihara keluarganya dan membawa mereka ke Mesir (Kej 42 - 47). Kisah yang disusun dengan hati-hati yang sangat berbeda bentuknya dengan kisah Abraham dan Yakub; merupakan satu pelajaran panjang - pemeliharaan Allah meniadakan rencana-rencana manusia dan membuat maksud-maksud jahat mereka. 
akan mendapat berkat oleh dia. Pada awal sejarah keselamatan ini, sudab terdapat pernyataan tentang akhirnya, yakni keselamatan yang dijanjikan Allah kepada Abraham akhirnya akan mencakup semua manusia. Allah dalam murka-Nya tidak menyingkirkan umat manusia untuk selamanya, melainkan la bertindak lagi untuk memulihkan hubungan yang terputus antara Dia dan dunia-Nya sebagai akibat kejatuhan manusia ke dalam dosa. Jadi, dengan hati-hati dan saksama, penulis Kitab Kejadian meng. hubungkan prolog riwayat zaman permulaan dan sejarah keselamatan seperti suatu masalah dengan pemenahannya. Ini sangat penting untuk memahami seluruh Alkitab.
Tetapi, vats itu juga sangat penting untuk memahami kisah-kisah para bapak leluhur yang berikut, karena nats tersebut mengungkapkan temanya, yakni pemenuhan janji-janji Allah secara bertahap, termasuk suka dukanya dan akhirnya pemenuhannya yang gemilang. Penulis tidak menyajikan biografi; is mengajarkan teologi dengan berbagai tema yang dijalin dalam kisahnya.

a. Pemilihan dan janji janji Allah

Apabila panggilan Abraham dipahami dengan jelas, arah kisah tersebut menjadi jelas. Abraham akan menjadi bangsa besar (12:2), tetapi Sara mandul (11:30); tanah itu akan menjadi milik keturunannya (12:7), tetapi orang Kanaan mendudukinya (12:6). Pada awalnya penutur cerita dengan sadar menjajarkan janji Allah dengan keadaan yang dialami Abraham. Masalah inilah yang mendapat perhatian utama dalam Kejadian 127 21. Janji itu dinyatakan dalam cara yang berlebih-lebihan - keturunan Abraham akan menjadi "seperti debu tanah banyaknya" (13:16) dan sebanyak bintang-bintang di langit (15:5). Dan Abraham mencoba segala cara untuk memperoleh anak. Ia mengambil budak yang lahir di rumah­nya sebagai anak (15:2-3). Sara melindungi kedudukannya sebagai istri Abraham dengan memberi budaknya, Hagar, sebagai istri kedua dan melalui perkawinan ini lahirlah Ismael (Kej 16). Tetapi, tak satu pun dari kedua usaha itu memenuhi janji Allah akan seorang putra melalui Sara (15:4; 17:18-19). Akhirnya ketika usia lanjut membuat janji itu menjadi mustahil menurut ukuran manusia, "TUHAN memperhatikan Sara seperti yang difirmankanNya, dan TUHAN melakukan kepada Sara seperti yang dijanjikanNya" (21:1). Lalu lahirlah Ishak.
Janji yang serupa diperteguh pada setiap generasi bapak-bapka leluhur sesudah itu: kepada Ishak (26:2-4); kepada Yakub di Betel ketika is meninggalkan Kanaan karena takut pada Esau setelah mencuri hak kesulungannya (28:13-14); kemudian kepada Yakub lagi di Betel sewaktu is hendak kembali (35:11-12); lalu kepada Yusuf dan putra-putranya (48:1-6).
Hal ini merupakan tema utama sebagaimana dapat dilihat dalam cara janji itu dipenuhi dalam peristiwa pembebasan Israel dari Mesir oleh
pertolongan Allah:
"Aku telah mengadakan perjanjianKu dengan mereka [bapak-bapak leluhur] untuk memberikan kepada mereka tanah Kanaan . . . dan Aku ingat kepada perjanjian-Ku . . . Aku akan menebus kamu dengan tangan yang teracung ... Dan Aku akan membawa kamu ke negeri yang dengan sumpah telah Kujanjikan memberikannya kepada Abraham, kepada Ishak dan kepada Yakub" (Kel 6:3-8).
Jadi, sejarah keselamatan dalam masa bapak-bapak leluhur adalah waktu pemilihan Abraham dan keturunannya oleh Allah dan waktu janji Allah. Pemenuhan janji itu rupanya ditunda karena tanah itu didiami orang-orang Kanaan s9 Abraham dan keturunan langsungnya hanya memiliki ladang dan gua Makhpela (Kej 23), tempat Abraham (25:7-10), Ishak (35:27-29) dan Yakub (49:29-31) dikuburkan. Hanya dalam kematianlah, mereka bukan pengembara lagi. Bahkan pada akhir masa bapak-bapak leluhur, mereka sama sekali tidak tinggal di tanah itu, tetapi pindah ke tanah Mesir.
Kisah Yusuf merupakan tahap pertama dalam peralihan dari keluarga bapak leluhur yang semi-nomad menuju bangsa yang merdeka, sesuai dengan janji Allah. Anak kesayangan itu dibenci oleh saudara­saudaranya, dijual menjadi budak dan dibawa ke Mesir. Di sana kebajikan, kebijaksanaan dan keramahan dengan cepat membuatnya maju, lalu menempatkannya pula dalam kesulitan (Kej 37 - 39). Karunia yang diberikan Allah untuk mengartikan mimpi-mimpi membuat Yusuf mendapat perhatian Firaun dan penafsirannya atas mimpi tentang ben­cana kelaparan serta pemecahan yang bijaksana yang diberikannya, mem­bawanya pada kedudukan yang tinggi (Kej 40-41). Pada waktunya hal ini membuka jalan bagi Yusuf untuk memelihara keluarganya dan membawa mereka ke Mesir (Kej 42 - 47). Kisah yang disusun dengan hati-hati, yang sangat berbeda bentuknya dengan kisah Abraham dan Yakub, merupakan satu pelajaran panjang - pemeliharaan Allah meniadakan rencana-rencana manusia dan membuat maksud-maksud jahat mereka
melayani tujuan-Nya sendiri. Hal ini dinyatakan terus terang dalam Kejadian 50:20.
Akibat pengkhianatan terhadap Yusuf justru merupakan langkah pertama dalam pembentukan umat pilihan Allah. Melalui itu "anak-anak Israel" menjadi masyarakat tersendiri dan terlindung serta menetap di tanah Gosyen (umumnya dikenali sebagai delta timur Sungai Nil). Tema "keselamatan" itu ("memelihara hidup suatu bangsa yang besar", 50:20) menanti-nantikan peristiwa keluaran (dan puncaknya pada pembebasan yang akhir melalui Kristus). Tetapi, Israel untuk waktu yang lama dapat berkembang sambil tetap mempertahankan jati dirinya. Janji Allah akan tanah dan keturunan masih akan dipenuhi, khususnya melalui penye­lamatan dramatis dari perbudakan di Mesir dan pendudukan tanah Kanaan di bawah pimpinan Yosua.
Di luar pengertian-pengertian yang paling umum ini, rangkaian kisah-kisah yang berasal dari berbagai latar belakang yang berbeda, dipergunakan untuk mengajarkan sejumlah kebenaran teologis yang lain. Hanya dua di antaranya yang penting dapat dibahas di sini.
Dalam kisah Abraham, janji Allah mengenai keturunan yang tak terbilang banyaknya, telah menjadi masalah memperoleh seorang anak laki-laki. Pemenuhan janji itu ditunda secara aneh dan hampir-hampir bertentang­in dengan janji itu sendiri. Jelaslah bahwa inti kisah itu adalah iman Abraham, seperti yang terlihat dalam panggilannya. Panggilan kepada Abraham bersifat radikal: is harus meninggalkan akar-akarnya - negeri, ;anak saudara dan keluarga dekatnya (12:1) - untuk pergi ke tempat rang tidak pasti, "negeri yang akan Kutunjukkan kepadamu". Setelah )emanggilan itu, penulis dengan sederhana menyuguhkan respons Abraham: "Lalu pergilah Abraham seperti yang difirmankan Tuhan cepadanya" (ay 4). Abraham ditampilkan sebagai teladan iman; hal per­ama yang dikatakan tentang dirinya adalah ketaatan dan kepercayaannya cepada Allah yang memanggilnya. Di sini penulis bergumul dengan nasalah iman dan hubungannya dengan kebenaran, sebagaimana dapat iilihat juga dalam Kejadian 15:6: "Lalu percayalah Abram kepada CUHAN, maka TUHAN memperhitungkan hal itu kepadanya sebagai cebenaran". Pentingnya ayat ini bukan diihat dalam bagian kisah nengenai apa yang terjadi antara Allah dengan Abraham (ay 1-5), tetapi ialam rangkuman penulis bahwa kebenaran Abraham ialah kepercayaan­iya, yakni is beriman akan janji Allah.
Puncak peristiwa mengenai iman Abr$ham terdapat dalam Kejadian 22, yakni pengurbanan Ishak. Meskipun kisah tersebut mungkin melarang pengurbanan anak di Israel, namun bukan itu tujuannya dalam Kitab Kejadian. Kisah itu bukanlah kisah "pengurbanan Ishak" tetapi "ujian atas iman Abraham", sebagaimana dinyatalan oleh penulis sendiri (ay 1). Kisah yang aneh ini menceritakan tentang situasi yang menuntut keper­cayaan Abraham yang sungguh-sungguh. la diminta untuk melakukan apa yang membahayakan janji yang diberikan oleh Allah sendiri: apakah is akan tetap setia menaati perintah itu. perasaan pembaca bolak-balik antara Abraham, sang ayah yang harus meoghadapi tragedi yang sungguh berat, dan Abraham, sang algojo yang akan menusuk tubuh Ishak dengan pisau (lihat Coats 1973). Abraham dapat melalui ujian itu dengan satu cara saja - iman yang sepenuhnya kepada Allah yang menjanjikan Ishak kepadanya dan yang memenuhi janji tersebut melampaui batas kemam­puan manusia. Abraham lulus dalam ujian itu dan menjadi teladan iman bagi umat Allah.
Seperti tertulis dalam Kejadian 15:6, kebenaran Abraham ter­kandung dalam kepercayaannya akan janji Allah. Jika kebenaran itu dipahami, seperti oleh masyarakat barat modern, sebagai kesesuaian dengan undang-undang moral yang abstfak, maka ini sungguh sulit dipahami. Tetapi, kebenaran Alkitab bukanlah etika yang menetapkan norma-norma, melainkan kesetiaan terhadap suatu hubungan pribadi dengan Allah. Orang yang benar akan setia kepada tuntutan-tuntutan dari semua hubungannya6° Karena itu, makna yang penting dari ayat ini ialah bahwa seseorang benar dalam hubungan dengan Allah bila is beriman (Rm 1:16-17; 4; Gal 3:6-9).
Perwujudan pemilihan oleh kedaulatan Allah dalam sejarah umat perjanjian Allah (25:26); is adalah seorang perancang yang licik, tepat seperti ibunya (27:5-17,41-45). Pelayanannya selama dua puluh tahun pada Laban pamannya merupakan pertarungan terus-menerus antara dua orang yang cerdik, masing-masing berniat mengalahkan yang lain. Akhirnya, di tepi Sungai Yabok dalam perjalanan kembali ke Kanaan, Yakub menemukan lawan yang tak dapat dikalahkan ketika is bergumul dengan "seorang laki-laki". Kemudian is mengenali orang itu sebagai Allah sendiri yang bergumul dengan dia. Hanya oleh karya Allah yang langsung, Yakub si pengganti menjadi Israel sang pemenang (32:28).
Kisah-kisah tentang kehidupan Yakub - berdamai kembali dengan Esau (33:1-11), menyesali kelakuan putranya (34:30), dipandang setia karena menyingkirkan patung-patung dewa (35:2-3), hancur hati karena kehilangan putra kesayangannya, Yusuf, (37:33-35) dan akhirnya yang atas kehendak Tuhan pergi ke Mesir (46:1-5) - adalah sketsa orang yang dikuasai oleh Allah.6' Permintaannya sebelum meninggal (49:29-32) agar jasadnya dikuburkan di gua Makhpela melengkapi kisah itu dan menun­jukkan dengan jelas bahwa Yakub hidup dalam janji yang diikrarkan Allah jauh sebelumnya kepada Abraham.

c. Perjanjian

Unsur teologis lain yang sangat penting dalam Kejadian 12 - 50 adalah perjanjian yang diadakan Allah dengan Abraham dalam Kejadian 15 dan 17. Perjanjian merupakan salah satu gagasan utama dalam Alkitab. Di dunia kuno perjanjian menghasilkan suatu hubungan yang tidak ber­dasarkan ikatan darah atau kebiasaan masyarakat; istilah itu diper­gunakan dengan cara yang sama untuk menyebut perjanjian Allah dan manusia dalam Alkitab. Perjanjian adalah peneguhan hubungan khusus atau komitmen pada suatu perbuatan tertentu yang tidak terjadi secara alamiah. Ini disertai dengan sanksi-sanksi melalui sumpah yang biasanya dilakukan dalam upacara atau pengesahan yang khidmat (lihat Kline 1968: him. 16 dst.). Dalam Kejadian 15, Allah merendahkan diri dengan menempatkan diri-Nya secara simbolis di bawah kutukan untuk menegas­kan kepada Abraham kepastian janji-janji-Nya. Allahlah yang bersumpah, tidak ada apa pun yang diminta dari Abraham (kecuali upacara sunat sebagai tanda ikatan perjanjian, lihat Kej 17). Dengan demikian, perjanji­

61. Menurut Kejadian 32:28, Yakub menang. Namun, jelas bahwa pemenang yang sesungguhnya ialah Allah sebagaimana tampak dalam perubahan hidup Yakub dan namanya yang baru "Israel" yang berarti 'Allah akan menang'.
KITAB KEJADIANIT,
a. Allah dengan Abraham berbeda dengan perjanjian Allah dengan Musa
(lihat di bawah: ps 10.5). Dalam perjanjian dengan Abraham, Allah menempatkan diri-Nya di bawah kewajiban; sedangkan dalam perjanjian dengan Musa, Israel yang menerima perjanjian, dituntut untuk bersum= pah, dan karena itu ditempatkan di bawah peraturan yang ketat. Kedua perjanjian ini sangat berbeda hasilnya. Karena Allah dengan sungguh­sungguh menempatkan diri-Nya di bawah sumpah untuk memberi tanah dan menjadikan keturunan Abraham sebagai satu bangsa, maka hal ini merupakan ikatan janji: pelimpahan anugerah dan berkat Allah hanya bergantung pada sifat Allah yang tak berubah.
Dengan demikian, dalam Kejadian 12 - 50 disajikan fakta-fakta dasar mengenai awal sejarah keselamatan: Allah dengan bebas memilih satu orang dan keturunannya. Melalui dia "semua kaum di muka bumi akan mendapat berkat" (12:3) dan dengan sungguh-sungguh Allah menjanjikan kepadanya bahwa la akan memberikan tanah kepadanya dan keturunannya akan menjadi suatu bangsa. Namun, bagaimana hal ini akan terjadi dan dalam keadaan apa, masih akan dinyatakan selanjutnya. Pasal-pasal ini juga banyak berbicara tentang gaya hidup yang harus men­jadi ciri orang-orang yang menjawab panggilan Allah dan melalui komit­men, menjadi anggota umat perjanjian-Nya, yakni hidup dalam keyakinan dan iman kepada Dia yang memanggil mereka. Kitab Kejadian berakhir dengan adegan yang disiapkan untuk tindakan berikutnya dalam drama penyelamatan, yaitu peristiwa pembebasan dari perbudakan di Mesir.
tidaklah sederhana, baik secara historis maupun teologis, seperti yang ditegaskan oleh penulis Kitab Kejadian. Ketegangan­ketegangan timbul dari sifat manusia yang diperhadapkan dengan Allah yang mahakuasa. Dari semua tokoh Alkitab, ketegangan-ketegangan ini paling dramatis tampak dalam kehidupan Yakub. Kisah Abraham menyajikan gambaran orang beriman yang sungguh-sunguh percaya pada Allah yang memanggilnya. Sebaliknya, kisah Yakub menyajikan gambaran seorang yang sangat "duniawi" - menggunakan tipu muslihat dan ber­sandar pada diri sendiri. Sejak lahirnya is adalah seorang pengganti

60. Ini meliputi jugs ketaatan terhadap norma atau hukum. Kesetiaan seseorang dalam kaitan dengan masyarakatnya menuntut adanya ketaatan terhadap norma dan hukum masyarakat tersebut. Tentang pengertian kebenaran, lihat von Rad (1962: hlm. 370 dst.).
b. Iman dan kebenaran

KELUARAN

Kitab Keluaran dibagi menjadi:
1.      Keluaran 1-12 Peristiwa-peristiwa yang terjadi di Mesir
2.      Keluaran 13-18 Perjalanan dari Mesir sampai ke gunung Sinai
3.      Keluaran 19-40 Peristiwa-Peristiwa yang terjadi di gunung  Sinai

1. Keluaran 1-12 Peristiwa-Peristiwa yang terjadi di Mesir

Konteks Historis
Ä Pada abad 15 SM, Raja Mesir (Ahmosisi I) yang ingin membebaskan diri dari Hiksos dan ingin menaklukkan wilayah-wilayah Asia
Ä Keinginan itu tercapai setelah raja Tutmosis III  mengalahkan Hiksos di lembah Megido
Ä Mesir dibawah Ramesses I dan II memukul mundur bangsa Het yang tujuannya untuk memperluas daerah kekuasaannya
Ä Perluasan wilayah ini mendapat perlawanan dari bangsa-bangsa Laut (bangsa Aegeo-Kreta), namun karena kekuatan bangsa-bangsa laut ini tidak menandingi Mesir maka bangsa-bangsa Laut menempati wilayah Palestina yang menempati daerah pantai yang luas (dikenal dengan nama bangsa Pelest).  Bangsa inilah yang akhirnya menjadi musuh pada zaman kerajaan-kerajaan Israel. 
Ä John Bright, pakar PL menyatakan bahwa Firaun penindas Israel adalah Seti I-Rameses II, dan kalau dihitung sejak zaman yusuf dan saudara-saudaranya maka bangsa Israel beserta keturunannya sudah tinggal di Mesir  selama 400 tahun (band. Kej 15:13)
Ä Awal sejarah bangsa Israel tinggal di Mesir adalah Keturunan Yakub (saudara-saudara yusuf) dalam masa kelaparan diundang dan tinggal di Mesir
Ä Bangsa Israel merasa nyaman di Mesir, hal itu bisa dilihat ketika bangsa Israel mengalami masalah, maka Israel selalu ingat tentang hidup di Mesir
Ä Perkembangan bangsa Israel begitu dahsyat, sehingga Firaun menetapkan setiap bayi laki-laki Israel harus dibunuh, dan semua orang Israel wajib menjalani kerja paksa membangun Pitom dan Raamses (Ke3l. 1:11), serta dipersiapkan menjadi pasukan melawan musuh-musuh Mesir
Ä Bangsa Israel berteriak kesakitan, dan itu di dengar Allah sampai Allah mengingat perjanjian dengan Abraham, maka Allah memakai Musa untuk memimpin bangsa Israel keluar dari Mesir menuju tanah perjanjian

Konteks Sastra
John Bright melihat pada Kel. 1-12 ini merupakan plot dari pengungkapan Allah kepada Israel melalui Musa dengan otoritas Allah, dengan unsur penekanan dan pengulangan.  Buktinya dengan adanya tulah sampai 10 tulah, pengenalan nama Allah secara berulang-ulang.  Hal ini disebabkan bangsa Israel tegar tengkuk, melihat fakta baru percaya, hal ini terpengaruh dengan kebudayaan di Mesir, orang Mesir lebih percaya pada hal-hal yang bersifat magic, dukun-dukun, dsb. 

Konteks Isi
Apa yang dinyatakan atau isi dalam Keluaran 1-12 ini?
1.      Allah yang omnipresent tahu dengan pasti segala masalah yang dihadapi oleh bangsa Israel ketika diperbudak di Mesir.
2.      Musa dipersiapkan oleh Allah untuk menjadi pemimpin bangsa Israel:
Peristiwa pembunuhan kepada orang Mesir merupakan kesadaran Musa bahwa dia tahu asal usulnya, dan mencintai bangsanya
Musa di Midian, walaupun Musa adalah orang yang berpendidikan tetapi dia tulus melakukan banyak hal, contohnya menggembalakan
Panggilan Musa, Musa ragu-ragu dan menolak ketika Allah mengutus dirinya untuk memimpin bangsa Israel keluar dari Mesir karena Musa tahu keadaan bangsa Israel yang keras kepala, sehingga dia merasa tidak fasih berbicara
Pengungkapan diri/nama Allah, bangsa Israel terbiasa dengan kondisi budaya Mesir yang banyak menggunakan mistis, instant, sehingga pada saat pengutusan, Musa bertanya siapakah nama Allah?  Bangsa Israel pasti menanyakan siapakah nama Allah tersebut.  Namun Allah menyatakan diri-Nya bahwa Allah tidak menyembunyikan diri-Nya dan  bahkan memberikan jalan untuk bersekutu atau akrab dengan-Nya. 
Musa sebagai nabi Allah, criteria sebagai nabi haruslah jelas, di mana dirinya pernah bertemu dengan Allah, yang disampaikan adalah Firman Allah, dan beritanya pasti terjadi (memenuhi standart criteria seorang nabi). 
Paskah, diadakan sebagai tanda peringatan bahwa bangsa Israel ditolong Tuhan ketika keluar dari Mesir, peristiwa pengampunan (luput dari hukuman), serta persekutuan yang erat antara Allah dan bangsa Israel. 


2. Keluaran 13-18 Perjalanan dari Mesir sampai ke gunung Sinai

Konteks Historis
Ä Di mesir terjadi perkabungan yang dahsyat, sehingga bangsa Israel “mudah” dilepaskan dari Mesir.
Ä Bangsa Mesir adalah bangsa yang berpengalaman dalam berperang.
Ä Sebaliknya latar belakang bangsa Israel adalah bangsa yang tidak pernah berperang, hanya pandai menggembala dan menjalani kerja paksa di Mesir.
Ä Jelas, bangsa Israel menghadapi kebingungan ketika dikejar pasukan Mesir, di depan laut, disamping kiri dan kanan ada gunung.
Ä Allah tetap sebagai omnipresent, yang tahu kapan dan saatnya bertindak yaitu melalui Musa dengan tongkatnya membelah laut Teberau.
Ä Peristiwa Keluaran dan laut Teberau ini merupakan peristiwa terbesar karya penyelamatan Israel.

Konteks Sastra
John Bright menyatakan bahwa isi dan sastra ini merupkan rangkaian cerita yang spektakuler (yang disulit dimengerti oleh logika), namun ini bukan cerita dongeng atau fiksi, namun harus dipahami sebagai karya Allah yang besar. 
Membaca kisah ini merupakan kisah yang berkaitan dengan kisah sebelumnya yaitu sebelum cerita ini dan sesudah peristiwa ini (dalam hermeneutika disebut konteks dekat dan konteks jauh).  Konteks sebelumnya Allah telah menolong bangsa Israel keluar dari Mesir, dan kehadiran Allah di gunung Sinai.  Ini menunjukkan kehadiran dan kemahakuasaan Allah yang tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. 

Konteks Isi
Hal-hal yang sangat ditekankan:
1.      Allah menolong tepat pada waktunya
2.      Peristiwa “Keluaran” ini merupakan fokus utama dari karya penyelamatan Allah
3.      Allah menjadi pembela utama bagi umat pilihan-Nya

4. Keluaran 19-40 Peristiwa-Peristiwa yang terjadi di gunung  Sinai

Rute Perjalanan Israel:

Raamses----Sukot-----Etam-----Baalzefon-----Laut Teberau-----Mara-----Elim-----Dofka-----Alus---Rafidim----Gunung Sinai (Horeb)-----Tabera----Kibrot Taawa-----Hazerot---KadesyBarnea----Padang Gurun Zin------Horma--Edom-----EzionGeber-----Funon------Obot--------Yeabarim------Dibon------Hesybon------Sungai Yordan----Yerikho----Ai-------Kanaan

Sebenarnya ada jalur yang lebih singkat lagi, walaupun demikian jelas sekali bahwa orang Israel tidak menem­puh rute umum dari Mesir ke Kanaan, yang disebut "jalan ke negeri orang Filistin" (Kel 13:17).
Rute ini dimulai dari Sile (Qantara sekarang) dan sejajar dengan pantai, mencapai Kanaan di Gaza (lihat peta).
Mengapa tidak memakai rute ini?
1.      Karena Allah tidak ingin bangsa Israel cepat ingat pada kehidupan di Mesir & memutuskan untuk kembali kesana ketika hadapi tantangan.
2.      Allah ingin melatih orang-orang Israel dalam hal peperangan.
3.      Karena rute ini adalah rute yang biasa dipakai oleh tentara Mesir di mana terdapat benteng-benteng dan tempat-tempat perbekalan pada jarak tertentu, maka konfrontasi dengan tentara Mesir pasti terjadi (ay 17b)

Konteks Historis
Ä Bangsa Israel menghadapi persoalan dan tantangan mengenai kebutuhan hidup, seperti peristiwa air pahit serta keinginan untuk kembali ke Mesir.
Ä Oleh karena itu, maka bangsa Israel sering melakukan perbuatan dosa (bersungut-sungut, tidak percaya kepada Allah), sehingga perlu diturunkan peraturan-peraturan untuk larangan berbuat dosa.
Ä Bangsa Israel tidak hidup sendiri, ada bangsa-bangsa lain yang mengelilingi bangsa Israel, mereka sudah maju dalam kebudayaan dan tulisan, terutama mereka yang mempunyai banyak allah, dengan segala aktivitasnya, oleh karena itu Allah ingin menunjukkan kekudusan-Nya dengan cara ibadah yang telah ditentukan. 
Ä Di gunung Sinai ini Allah memberikan Taurat dan peraturan mengenai Kemah Suci.
Ä Kemah Suci adalah tempat suci yang dapat dibawa-bawa, terdiri dari rangka kisi-kisi persegi dari kayu akasia yang ditutupi dua tabir yang besar dari kain lenan. Salah satu tabir itu membentuk ruang utama, Ruang Kudus, sedangkan tabir kedua menutupi Ruang Mahakudus, suatu ruang yang lebih kecil di balik ruang utama dan dipisahkan oleh sebuah tabir. Ruang Kudus itu berukuran 10 m x 5 m x 5 m, sedangkan Ruang Maha Kudus berukuran 5 m tiap sisi. Di dalam Ruang Mahakudus hanya terdapat Tabut Perjanjian, sebuah peti kayu berisi loh batu yang ditulisi Dasa Titah. Dalam Ruang Kudus terdapat mezbah kemenyan, kandil dan meja untuk roti sajian. Kemah Suci ditempatkan dalam pelataran yang berukuran 50 m x 25 m dan dipagari dari bagian perkemahan lainnya oleh tabir putih setinggi 5 m. Dalam pelataran di muka kemah suci terdapat mezbah korban bakaran dan antara mezbah dan Kemah Suci terdapat tempat pembasuhan.
Ä Istilah Ibrani mishkan, yang sering diterjemahkan “Kemah Suci', mula-mula berarti 'tempat kediaman'. Tetapi, dalam Perjanjian Lama kata itu hanya mengacu pada kemah suci sebelum ada Rumah Allah (Bait Suci). Tafsiran yang dibuat-buat oleh pembaca dahulu tentang Kemah Suci dan perlengkapannya, yang menganggap setiap rinciannya sebagai lambang yang mempunyai makna rohani, merupakan tafsiran yang tidak dapat dipertanggungjawabkan lagi. Meskipun demikian, Kemah Suci sangat penting untuk bangsa Israel yang baru saja menerima perjanjian Sinai. Dalam Keluaran 25:8 Allah berfirman: "Dan mereka harus mem­buat tempat kudus bagiKu, supaya Aku akan diam di tengah-tengah mereka." Jadi, Kemah Suci adalah tempat Allah hadir dengan umat-Nya, lambang yang nyata bahwa Dialah Allah mereka. Di sini Israel akan beribadat dan mengadakan pendamaian atas pelanggaran-pelanggaran mereka terhadap ketentuan-ketentuan perjanjian Allah. Kemah Suci dengan lambang-lambang dan persembahannya merupakan cara Allah yang kudus dan kekal untuk hadir di tengah-tengah umat-Nya, atau "berkemah" di antara mereka. Sebagai lambang kehadiran-Nya, Kemah Suci menantikan penggenapannya ketika Allah dalam diri Anak-Nya benar-benar hadir di tengah-tengah umat-Nya, yakni ketika "Firman itu menjadi daging" dan "diam di antara kita, penuh dengan kasih karunia dan kebenaran" (Yoh 1:14).


Konteks Sastra
Konteks sastra penulisan ini banyak bersifat didakhe (ajaran), sehingga tidak kaget sering dijumpai bahwa Allah memberikan perintah dan umat Israel harus melakukan.  Dalam hal ini konteks sastra di sini menunjukkan hubungan yang erat antara Allah dan umat-Nya, melalui apa yang dikatakan oleh Allah sendiri. 

Konteks Isi
Apa yang sering ditekankan dan di ulang?
Mengenai Taurat dan Kemah Suci, apakah kedua-duanya masih relevan bagi gereja di masa kini?
1.      Kemah Suci dan peraturan ibadah merupakan peraturan dari Allah untuk orang Israel sebelum ada Bait Allah, ingat tempat ini selalu dibawa-bawa.  Kurang tepat jikalau detail-detail ini diungkapkan secara literal untuk arti-arti rohani.  Karena PB mengatakan bukan cara ibadah yang penting, namun hati yang haus dan rindu kepada Allah.  Ibadah yang sejati adalah ibadah yang mempersembahkan hidup berkenan kepada Allah.  Peraturan ibadah cocok diterapkan pada zaman Israel sesuai dengan konteksnya yang berpindah-pindah sesuai dengan tiang awan tiang api.  Makna yang terpenting adalah Allah memerintahkan demikian supaya Allah hadir dan tidak ada dosa di dalamnya.  Ingat segala sesuatu dalam Perjanjian lama ada hubungannya dengan Perjanjian baru dan sudah disempurnakan oleh Yesus. 
2.      Taurat
Bagaimana dengan relevansinya pada masa kini? Bagaimanakah hubungan orang Kristen dan Taurat?
a.      Taurat PL adalah suatu perjanjian (covenant)
Allah membentuk taurat dalam Perjanjian Lama adalah kontrak antara Yahweh dan bangsa Israel (600 peraturan dari Kej-Ul)
b.      Perjanjian Lama bukanlah wasiat kita
Ada hal-hal seperti kesetiaan yang dituntut dalam PL dengan cara-cara tertentu, namun dalam PB kesetiaan masih diharapkan namun caranya berbeda. 
c.      Jelaslah ada ketentuan dalam PL yang tidak dibaharui dalam PB
Penumpahan darah binatang (PL), dalam PB (Ibr. 9:22) yang dimaksud dengan darah adalah darah Yesus.
d.      Sebagian PL dibaharui dalam PB:
Imamat 19:18---Mat. 22:40 tentang kasih.
Beberapa segi etika dalam PL diulang dalam PB.
e.      Hanyalah bagian yang dengan tegas dibaharui dari taurat PL dapat dianggap sebagai hukum Kristus di PB (Gal. 6:2) dan masih berlaku (band. Mat. 5:21-37; Yoh. 7:23; Ul. 6:5; Im. 19:15).

Hukum-hukum yang perlu dijelaskan dalam Fee hal. 167-171.

Melalui penyelidikan konteks kitab ini, maka kita memperoleh tujuan penulisan yaitu:
1.      Untuk melestarikan kisah-kisah yang menjelaskan bagaimana bangsa Israel dibebaskan dari perbudakan di Mesir.
2.      Untuk menceritakan penyataan diri Allah kepada bangsa Israel sebagai perluasan perjanjian.
3.      Untuk mengajar bangsa Israel bagaimana memelihara hubungan perjanjian caranya melalui taat pada hukum. 

KITAB IMAMAT

Pendahuluan
Di perkemahan dekat Gunung Sinai, umat Israel mengingat pengalaman mereka akan penyelamatan Allah yang dahsyat - pembebasan mereka dari perbudakan Mesir - yang tetap menjadi inti kepercayaan mereka dalam generasi seterusnya. Mereka telah melihat dan mendengar guntur di gunung Allah (Kel 19:16-19). Allah telah memberikan perintah-perintah-Nya (Kel 20:1-17). Ia telah menyatakan diri sebagai Allah mereka dan mereka sebagai umat-Nya. Allah adalah Maharaja yang mengikat mereka dengan Dia dalam perjanjian.
Namun, bagaimana ikatan ini dapat dipelihara? Israel tidak dapat tinggal selama-Iamanya di Gunung Sinai, karena hal itu bukan maksud Allah dalam janji-Nya kepada bapak-bapak leluhur mereka maupun dalam pembebasan mereka dari Mesir. Mereka akan diam di tanah tempat mereka dapat mengalami berkat-berkat sebagai umat-Nya. Selain itu, mereka akan menjadi sumber berkat bagi semua bangsa (Kej 12:3) dengan cara yang belum dinyatakan dengan jelas dan akan meneruskan kepercayaan mereka kepada bangsa-bangsa lain. Gurun Sinai juga bukan­lah tempat untuk itu. Tanah perjanjian itu adalah Kanaan.
Di Palestina, Israel akan berhadapan dengan kebiasaan-kebiasaan ibadat orang Kanaan, jadi sebelum memasuki tanah perjanjian itu mereka harus mempelajari cara-cara yang benar untuk menyembah Allah. Rincian tentang ibadat ini diberikan dalam Kitab Imamat.
Tujuan umum dari penulisan kitab Imamat ini adalah untuk memelihara dan mempertahankan hubungan perjanjian antara Israel dan Allah.

Konteks Historis
1.      Bangsa Israel diajar untuk Mempertahankan ibadah yang benar di tengah-tengah bangsa-bangsa kafir yang menyembah banyak dewa dengan berbagai macam cara.
2.      Maksud Allah memberikan tata cara ibadah ini adalah supaya Allah berdiam di antara ibadah dan persembahan mereka.
3.      Bangsa Israel dituntut untuk menghormati kekudusan Allah.

Konteks Sastra
Pada bagian ini banyak berisi tentang peraturan dan pelaksanaan ibadah, oleh sebab itu sastra dari kitab ini juga terdiri dari peraturan-peraturan (UU).  Meskipun kitab ini untuk bangsa Israel, namun kitab ini sering dikutip dalam kitab-kitab lain lebih lagi dalam Perjanjian Baru. 

Konteks Isi
Hal yang paling ditekankan adalah Kekudusan (Qadosh).  Semula qadosh berarti 'dipisahkan' atau 'dikhususkan', yaitu untuk mak­sud keagamaan. Sebidang tanah, sebuah bangunan, peralatan dalam tem­pat ibadat atau bahkan seekor kuda dapat dianggap kudus, yakni dikhususkan untuk maksud keagamaan atau peribadatan.  Allah menyoroti apa saja tentang kekudusan?
1. Persembahan
            Berkaitan dengan waktu, jenis, dan tujuan
2. Imam
Harus dari keturunan Harun, dan orang Lewi.
Imam besar masuk ke Ruang Maha Kudus setahun sekali.
Imam tugasnya menjaga api agar tetap menyala (1:7; 6:12-13).
3. Darah
Darah sebagai tanda bahwa dosa itu sudah dihapuskan.
4. Hukum kekudusan
Hukum ini mengatur kehidupan sehari-hari bangsa Israel, sehingga hidupnya tetap kudus di hadapan Allah.

Setelah mempelajari konteks dalam kitab Imamat ini, maka dapat diketahui tujuan penulisan kitab Imamat adalah:
1.      Bangsa Israel memiliki cara-cara khusus untuk menghampiri Allah
2.      Bangsa Israel memiliki cara hidup yang benar di hadapan Allah
3.      Di balik syarat-syaratnya yang keras dan peraturan-peraturannya yang ketat terdapat kasih Allah yang mendambakan persekutuan dengan umat-Nya. Anugerah Allah yang sama yang membebaskan mereka dari perbudakan di Mesir, mengupayakan agar persekutuan dengan mereka dapat dipelihara. Agar persekutuan itu dapat dinikmati, kekudusan Allah meng­hendaki agar dosa diselesaikan dengan cara yang berkenan kepada-Nya.
4.      Dalam menyatakan kasih-Nya yang menyelamatkan - bahwa la mengasihi orang berdosa tetapi membenci dosanya - Allah mempergunakan lambang-lambang dalam Kitab Imamat sebagai persiapan penyataan yang lebih penuh ten­tang diri-Nya dalam Kristus (bnd. Ibr 1:1). Lambang atau tipe ini telah digantikan dengan wujud nyata. Korban-korban simbolis tidak perlu lagi, karena korban Kristus yang telah mewujudkannya.


Nama dan Isi
a. Nama
Karena buku-buku kuno biasanya dinamai menurut kata-kata pertama­nya, maka judul Kitab Imamat dalam bahasa Ibrani adalah wayyiqra – “dan Ia memanggil” (Im 1:1). Nama "Imamat" berasal dari Septuaginta melalui terjemahan Alkitab dalam bahasa Latin, yang memberikan judul lengkap “orang Lewi."[1]
Kata "imam" lebih sering dipergunakan dalam Kitab Imamat daripada kata "Lewi".[2] Dalam peristiwa di Sinai, Allah telah menyatakan bahwa umat perjanjian-Nya adalah "kerajaan imam dan bangsa yang kudus" (Kel 19:6).
Secara ideal bangsa Israel merupakan teokrasi: setiap orang adalah imam dengan Allah sebagai rajanya. Namun, karena keadaan ini kurang praktis, maka dibentuklah prinsip perwakilan. Anak sulung laki-laki dari setiap keluarga harus mewakili keluarganya (13:2,13; 22:29). Tetapi, Allah menunjuk orang-orang Lewi untuk melayani ganti anak sulung laki-laki tersebut: "Sesungguhnya, Aku mengambil orang Lewi dari antara orang Israel ganti semua anak sulung mereka, yang ter­dahulu lahir dari kandungan di antara umat Israel" (Bil 3:12).
Tampaknya, pandangan yang menganggap Kitab Imamat sebagai "buku panduan para imam" dalam arti para petugas peribadatan saja, tidak sesuai dengan ajaran Alkitab karena kitab ini milik semua orang Israel.[3]

b. Isi
Kadang-kadang dikatakan bahwa Kitab Imamat mengemukakan hukum­-hukum upacara keagamaan Israel. Pernyataan semacam itu biasanya didampingi penelitian terhadap isi Kitab Imamat sebagai kumpulan hukum saja, tanpa usaha untuk memahami makna dasar kata Ibrani torah (dalam bahasa Indonesia "Taurat"). Dalam bahasa Ibrani kata itu berarti “pengajaran, hukum” yang mencakup melatih murid dan kalau perlu menghajarnya. Jadi, kata itu melukiskan pengajaran dari ayah atau ibu (Ams 1:8; 3:1).
Prinsip-prinsip yang berasal dari pengamatan ilmiah dapat pula disebut "hukum". Dalam arti demikian, prinsip-prinsip yang memerintah kehidupan umat perjanjian Allah mungkin dapat disebut "hukum". Lagi pula dalam Perjanjian Lama "hukum" mencakup peraturan, pengadilan, perintah dan ajaran. Karena itu, tepatlah jika torah diterjemahkan dengan “hukum.”
Meskipun demikian, jauh lebih berman­faat jika Kitab Imamat dipandang sebagai kitab petunjuk untuk bangsa imam dan wakil-wakil mereka, yaitu para imam. Petunjuk itu mencakup upacara dan ibadat, yaitu perbuatan dan sikap yang harus dipelihara umat Allah jika mereka menginginkan persekutuan yang tak terputus dengan Allah.
Tema inti Kitab Imamat dapat diungkapkan melalui istilah qadosh 'kudus' (Im 19:2). Dua pertanyaan muncul dari tema kekudusan ini. Pertama, bagaimana dosa dapat disingkirkan sehingga orang dapat menjadi kudus? Kedua, bagaimana orang dapat memelihara kekudusan yang penting untuk bersekutu dengan Allah yang kudus? Imamat 1 - 16 membahas pertanyaan pertama dan bagian selanjutnya membahas pertanyaan kedua.

Konsep Kekudusan

a. Pengertian dasar
Semula qadosh berarti 'dipisahkan' atau 'dikhususkan', yaitu untuk mak­sud keagamaan. Sebidang tanah, sebuah bangunan, peralatan dalam tem­pat ibadah atau bahkan seekor kuda dapat dianggap kudus, yakni dikhususkan untuk maksud keagamaan atau peribadatan.
Tokoh utama dalam Kitab Imamat adalah Harun dan tugas keimaman yang dilukiskan dalam kitab ini ter­batas pada putra-putranya. Kepada mereka diberikan tugas untuk melak­sanakan pelayanan imam. Tentunya Harun (seperti halnya dengan saudaranya, Musa) adalah salah seorang dari suku Lewi. Meskipun demikian, diadakan pembedaan antara "keimaman Harun" yang adalah keturunan Lewi melalui Harun dan "orang Lewi" yang bukan keturunan Harun. Kemudian hari ada pembedaan yang jelas antara "imam" dan mengandung nilai moral. Mungkin saja orang Israel mempunyai rasa hor­mat dan takut pada waktu ia menghampiri Kemah Suci, demikian juga Imam Besar pada waktu ia menghampiri tempat yang Mahakudus. Namun, perasaan mengenai kuasa mengagumkan yang terdapat dalam benda-benda kudus ini, tidak boleh disamakan dengan nilai-nilai moral atau etis.
Orang-orang tertentu dianggap kudus, karena mereka dikhusus­kan untuk maksud keagamaan, contohnya imam-imam Israel dalam pelayanan kepada Allah dan juga para pelacur bakti dalam pelayanan kepada Baal, dewa orang Kanaan.[4]
Perhatikanlah Imamat 10:10: "Haruslah kamu dapat membedakan antara yang kudus dengan yang tidak kudus, antara yang najis dengan yang tidak najis." Sesuatu yang kudus (misalnya nama Tuhan) tidak boleh diperlakukan seolah-olah hal itu bersifat biasa saja. Sesuatu yang "tidak najis" atau tahir menurut peraturan agama, boleh dipakai untuk beribadat kepada Allah, sedangkan sesuatu yang "najis" tidak boleh.

b. Pengertian yang dikembangkan
Pengertian Alkitab tentang kekudusan tidak terbatas pada pengkhususan. Sering dikatakan, "Allah adalah kudus" atau "Aku (Allah) adalah kudus". Penggunaan seperti ini berarti bahwa Allah terpisah, sebagaimana telah diterangkan. Allah bersifat rohani dan manusia bersifat jasmani, Allah tidak kelihatan dan manusia kelihatan. Lebih penting lagi, Allah terpisah dari dosa dan manusia yang berdosa.
Dalam tradisi Alkitab, Allah men­ciptakan Adam untuk bersekutu dengan-Nya, tetapi dosa memutuskan persekutuan itu, sehingga Adam dan Hawa diusir dari taman Eden. Secara simbolis, Allah berada dalam tempat kudus itu sedangkan keluarga manusia berada di luarnya karena dosa mereka. Jadi kesempur­naan Allah secara moral menjadi bagian dari konsep kekudusan-Nya dan tuntutan-Nya agar umat perjanjian-Nya menjadi kudus, selalu terikat dengan hukum moral. Oleh karena itu, kekudusan mulai mencakup arti kesempurnaan moral.[5]

a. Persembahan
Menurut Imamat 7:37 ada lima korban yang termasuk dalam hukum yang dinyatakan Tuhan Allah kepada Musa di Gunung Sinai.  Salah satu di antaranya Korban Keselamatan yang dibagi menjadi tiga jenis, sehingga jumlah jenis korban ada tujuh. Semuanya kecuali "Korban Sajian" mencakup penyembelihan hewan. Perkataan Ibrani yang diterjemahkan persembah­an berarti 'penyajian' atau 'barang-barang yang dibawa dekat'.
Ada beberapa istilah tentang korban yang perlu diperhatikan secara khusus. "Korban penghapus dosa" mudah dikacaukan dengan "korban penebus salah", karena keduanya sama, kecuali bahwa korban penebus salah menuntut ganti rugi kepada orang yang dirugikan oleh dosa tersebut.8 Dalam Ulangan 12:27 korban bakaran dibedakan dengan "korban sembelihan" (zevakh), karena korban bakaran seluruhnya dimakan api di atas mezbah, sedangkan sebagian korban sembelihan boleh dimakan oleh imam dan dalam keadaan tertentu oleh orang yang mempersembahkannya juga.

b. Peranan orang yang mempersembahkan korban
Penyajian dan penyembelihan korban digambarkan dengan teliti (lihat Im 1:3-9). Dengan sedikit pengecualian (seperti misalnya korban penghapus dosa untuk seluruh jemaah atau persembahan binatang kecil bersayap oleh orang yang kurang mampu), upacara pada semua korban itu lama, sampai pada penempatan korban itu di atas mezbah.

Korban dan Persembahan

Pembawa korban harus menyajikan korbannya secara pribadi di mezbah atau pintu kemah pertemuan, "supaya TUHAN berkenan akan dia" (1:3). Persembahan itu mewakili hidup orang yang mempersembahkannya - seekor hewan yang dipelihara atau biji padi-padian yang dipanennya - dengan mutu terbaik (biasanya seekor hewan jantan tanpa cacat atau tepung halus atau buah sulung yang terbaik).  Status ekonomi orang yang membawa persembahan dipertimbangkan. Di kemudian hari barulah orang yang membawa persembahan dapat membeli di sekitar Rumah Allah korban persembahan yang tidak berasal dari usaha pribadinya (bnd. Mrk 11:15 dan ayat-ayat yang sejajar dalam Yoh. 2:15-16).
Pembawa persembahan itu kemudian meletakkan tangannya atas kepala korban, mungkin sebagai tanda bahwa korban itu mewakili dirinya sendiri (1:4). Apakah pembawa persembahan mengakui dosanya pada waktu menyajikan korban, tidaklah jelas. Karena upacara hari raya Pen­damaian dengan jelas menetapkan pengakuan semacam itu (16:21), maka sangat mungkin bila hal ini merupakan bagian dari setiap upacara per­sembahan korban.
Dosa-dosa tertentu disebutkan dalam kaitan dengan korban penghapus dosa dan korban penebus salah (5:1 - 6:7) dan apabila orang berdosa mengakui bahwa ia telah berbuat dosa (4:14), atau dosa itu diberitahukan kepadanya (ay 28), maka ia harus mengadakan per­sembahan. Karena ia membawa persembahan untuk dosa tertentu, tentu ia membuat pengakuan di depan umum atas dosa itu.
Kemudian orang yang membawa persembahan itu harus menyem­belih hewan korbannya, menguliti serta memotong-motongnya.  Perbuatan ini memang tidak menjijikkan, mengingat bahwa setiap keluarga Israel memelihara dan menyembelih hewan sebagai makanan.  Meskipun demi­kian setiap orang yang memelihara ternak dapat membayangkan perasaan tak menyenangkan ketika harus membunuh hewan ternaknya, sekalipun hal itu dilakukan untuk mengakhiri penderitaannya.
Korban-korban dalam Kitab Imamat tidak dimaksudkan untuk menimbulkan rasa jijik, tetapi untuk menimbulkan kesan pada orang yang membawa korban bahwa korban itu mewakili dirinya sendiri (lihat 1:4). Pembawa per­sembahan tidak hanya mengurbankan seekor hewan pilihan yang telah diperliharanya, melainkan juga suatu pengganti bagi dirinya sendiri. Semua yang dilakukannya dalam mempersembahkan korban itu pasti mem­beri kesan kepadanya akan hukuman atas dosa, yakni: menuntut nyawa.

c. Peranan Imam
Imam diwajibkan menjaga agar api tetap menyala di atas mezbah (1:7; 6:12-13). Tampaknya ada upacara penerimaan korban, mungkin sebagian terlihat dalam kata-kata "sehingga baginya persembahan itu diperkenan untuk mengadakan pendamaian baginya" (1:4). Ketika pembawa persem­bahan menyembelih hewan, imam menampung darahnya dalam wadah, memercikkan sebagian ke sekeliling mezbah dan menempatkan selebih­nya di bagian bawah mezbah (ay 5).
Upacara korban penghapus dosa sedikit lebih rumit (bnd. 4:4-7). Bagian yang harus dibakar, setelah dicuci, diletakkan di atas mezbah. Untuk korban bakaran, seluruh hewan (kecuali kulitnya) harus dibakar; tetapi untuk korban-korban lain, sebagian korban itu menjadi bagian imam dan boleh dimakan olehnya.
Pembedaan yang teliti harus dilakukan. Dalam hal korban penghapus dosa, baik yang dipersembahkan imam untuk dosanya sendiri maupun untuk seluruh jemaat, imam tidak boleh mengambil bagian, karena ia bertindak sebagai imam dan orang berdosa. Dalam hal itu, ia membawa bagiannya ke luar perkemahan dan membakarnya. Sedangkan korban keselamatan tidak menyangkut dosa pembawa persembahan sehingga pembawa persembahan maupun imam mengambil bagiannya.
Setiap rincian mempunyai makna yang penting. Tanggung jawab imam untuk mengajar umat dan hukuman atas mereka bila mereka gagal melaksanakan tugas itu, memegang peranan yang sangat besar dalam pemberitaan para nabi sehingga kita tidak boleh
mengabaikannya.

d. Pentingnya darah
Dalam seluruh peraturan mengenai korban, darah ditekankan. Hal itu tidak menyenangkan banyak orang pada masa kini dan sehingga upacara pengur­banan sehingga ini kemudian dianggap sebagai "agama jagal". Meskipun demikian, fakta maupun lambang korban darah harus dipahami. Ini merupakan inti iman Kristen pula, baik dalam pengurbanan Kristus di atas kayu salib maupun dalam lambang-lambang Perjamuan Kudus. Arti harfiahnya sederhana saja: penumpahan darah berarti kematian korban. Arti simbolisnya ter­letak dalam identifikasi (penyamaan diri) si pembawa korban dengan korban itu sendiri, karena kematian korban melambangkan kematian orang yang berdosa. Hukuman atas dosa ialah kematian, tetapi hewan mati sebagai ganti orang yang berbuat dosa.

Korban Bakaran dan Korban Persembahan dalam Kitab Imamat

Upacara hari raya Pendamaian sangat penting artinya. Meskipun Rumah Allah dan sistem korban tidak dikenal lagi, namun hari raya Pendamaian (Yom Kippur) tetap menjadi hari tersuci dalam penanggalan Yahudi.
Istilah "pendamaian" dan "mengadakan pendamaian untuk" sulit dipahami. Dalam bahasa Ibrani arti dasarnya adalah 'menutupi'. Tidak semua ahli menyetujui bahwa itulah artinya dalam bahasa Ibrani, namun nampaknya pengertian itu lebih mendekati pengertian dalam Kitab Imamat daripada pengertian 'menyenangkan hati Allah'.[6]  Yang ditekankan di sini bukanlah hal menyenangkan hati Allah melainkan hal menutupi dosa, meskipun Perjanjian Baru dengan jelas mempergunakan istilah pendamaian sebagai salah satu segi penebusan (misal Rm 3:25; 1 Yoh 2:2). Penebusan melalui darah dan tutup pendamaian dalam Kitab Imamat (16:2) melatarbelakangi ajaran itu.
Imam Besar merupakan perantara antara Allah yang kudus dengan umat-Nya yang berdosa.  Dalam lambang kemah perjanjian (kelak, Rumah Allah), Allah hadir di antara kerub dalam Ruang Maha Kudus. Pada hari raya Pendamaian, Imam Besar Harun menanggalkan jubah imamatnya, memakai jubah putih dan melaksanakan upacara. Pertama­-tama, ia mengadakan pendamaian bagi dirinya sendiri dan keluarganya (16:6), karena ia juga seorang berdosa yang dosa-dosanya perlu ditutupi. Lalu ia mempersembahkan seekor domba jantan sebagai korban peng­hapus dosa bagi umat Israel (ay 15). Dalam kedua peristiwa ini, ia mengambil darah dan memercikkannya pada tutup pendamaian di Ruang Maha Kudus (ay 13,17).
Karena kenajisan umat itu, Ruang Kudus diang­gap tercemar dan karenanya memerlukan pendamaian (ay 6).  Kemudian Harun mengambil seekor kambing hidup dan meletakkan kedua tangannya di atas kepalanya, sambil mengakui di atas kepala kambing itu segala kesalahan orang Israel dan segala pelanggaran mereka, apa pun juga dosa mereka. Setelah "menanggungkan itu ke atas kepala kambing jantan itu" ia melepaskannya ke padang gurun (ay 21). Secara khusus dinyatakan bahwa "kambing jantan itu harus mengangkut segala kesalahan Israel ke tanah yang tandus" (ay 22, tentu saja dipahami secara simbolis dan bukan harfiah, seperti yang jelas dipahami oleh para nabi dan penulis Surat Ibrani).
Kambing itu dilepaskan "bagi Azazel" (ay 26). Ungkapan ini menimbulkan debat yang berkepanjangan antara para penafsir Yahudi dan Kristen. Apakah Azazel itu nama tempat atau nama salah satu dewa Sinai atau Iblis? Apakah kambing dilepaskan "bagi Azazel" itu merupakan korban untuk menenangkan Iblis atau suatu roh jahat? Setiap pandangan itu agaknya bertentangan dengan semangat hari raya Pen­damaian dan tidak didukung oleh apa pun dalam upacara korban dalam Alkitab. Istilah "Azazel" tidak disebutkan di tempat lain. Meskipun ada kesulitan, namun penjelasan terbaik adalah menganggap Azazel sebagai bentuk yang tidak lazim dari kata kerja Ibrani 'azal 'menyingkirkan' dan menerjemahkan istilah itu 'untuk penyingkiran (dosa).[7] Pengertian ini sangat tepat dengan perbuatan tersebut sebagai lambang, karena kambing hitam mengangkut dosa-dosa umat ke tempat jauh, tempat dosa-dosa itu tidak lagi berada di tengah-tengah Israel dan Allah yang kudus.

Kehidupan yang Kudus
a. Hukum Kekudusan
Imamat 17 - 26 kadang-kadang disebut Hukum Kekudusan. Menurut salah satu bentuk teori sumber, Hukum Kekudusan adalah salah satu dokumen yang dipergunakan dalam pembentukan Pentateukh (atau Heksateukh) dan disusun oleh penulis dari kalangan imam dalam abad ke-7 atau ke-6 sM (lihat Eissfeldt 1965: him. 233-239).
Sebenarnya kurang tepat untuk menyebut bagian ini sebagai suatu "hukum". Bagian ini lebih merupakan kumpulan prinsip-prinsip hidup untuk umat Allah yang dipanggil menjadi kudus sehingga mungkin lebih cocok disebut "Taurat Kekudusan". Prinsip-prinsip itu tidak dinyatakan sebagai patokan-patokan hukum, tetapi merupakan rincian-rincian yang di dalamnya umat Allah mesti hidup sesuai dengan konsep kekudusan.
Sebagai contoh, di dalamnya termasuk sejumlah pertemuan kudus (23:1-44) seperti Hari Sabat dan Paskah. Tahun Sabat harus diperingati setiap tahun ketujuh sebagai masa istirahat untuk tanah garapan (25:1-7).
Antara Kitab Imamat dan Kitab Yehezkiel ada banyak persamaan. Para ahli mempersoalkan apakah Yehezkiel mengutip Kitab Imamat ataukah Kitab Imamat disusun oleh para imam yang mengikuti pandangan Yehezkiel. Sebagaimana diakui sejumlah ahli sekarang, Kitab Imamat mengandung banyak unsur kuno dari ibadat orang Israel.
Karena itu, sabat tidak dapat dianggap sebagai suatu pranata yang diciptakan oleh seorang penulis sesudah masa pembuangan. Tentang bahan-bahan mula-mula dalam apa yang disebut Dokumen Imamat, lihat Clements (1979: him. 118-119).
Tahun Yobel harus diperingati setiap tahun kelima puluh sebagai tahun penebusan dan pada tahun itu para budak harus dibebaskan dan tanah dikembalikan kepada keluarga atau kaum pemilik asalnya (ay 8-55). Ternyata, orang Israel tidak mengindahkan "sabat-sabat" ini. Baik Yeremia (34:14-22) maupun Yehezkiel (20:12-16) menyatakan bahwa peristiwa pembuangan adalah hukuman Allah sebagai akibat pelauggaran sabat.[8]
Ketika Yesus ditanya, "Hukum manakah yang terutama dalam hukum Taurat?" Yesus menjawab dengan dua perintah (Mat 22:36-40): yang per­tama dikutip dari Kitab Ulangan ("Kasihilah TUHAN, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu') dan yang kedua dari Kitab Imamat ("Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri", bnd. Im 19:18).
Perintah untuk mengasihi sesama dalam Kitab Imamat terdapat pada akhir dari sekelompok hukum yang beraneka ragam yang mengungkap­kan kekudusan (lihat ay 2), seperti menghormati ayah dan ibu, memper­ingati sabat, menghindari penyembahan berhala, mempersembahkan korban keselamatan dan meninggalkan sebagian hasil panen untuk orang pendatang.  Perintah mengasihi sesama menyusul setelah larangan tentang fitnah atau mengancam hidup atau menuntut balas atau menaruh dendam terhadap sesama. Perintah itu merupakan ringkasan yang tepat mengenaj hubungan seseorang dengan sesamanya dalam kehidupan sehari-hari.



Hubungan Kitab Imamat dengan Kitab Lain

a. Kitab Yehezkiel
Dapat dimengerti jika Yehezkiel, seorang imam (Yeh 1:1) berbicara kepada orang Yahudi di pengasingan sesaat sebelum dan sesudah peng­hancuran Bait Allah di Yerusalem, mengenai penegak­kan kembali peraturan-peraturan upacara Imamat.

b. Surat Ibrani
Beberapa kali penulis Surat Ibrani mengutip Kitab Imamat, terutama fasal 16 (tentang hari raya Pendamaian).[9] Ada dua alasan mengapa Ibrani 8 - 10 menarik perhatian: Pertama, pasal-pasal itu menguraikan pengertian Perjanjian Baru (karenanya bersifat kanonik) tentang penting­nya upacara imamat. Kedua, pasal-pasal itu memberikan keterangan ten­tang para penerima Surat Ibrani.
Jika Surat Ibrani ditulis kepada orang Yahudi Kristen yang meng­hadapi kenyataan bahwa Bait Allah di Yerusalem telah (atau akan) dihancurkan dan sistem upacara korban diakhiri, maka surat ini merupa­kan jawaban atas masalah tentang menggantikan korban-korban yang diperintahkan oleh Musa.[10] Penulis surat itu menunjukkan bahwa korban-korban hewan adalah sekadar "bayangan dari keselamatan yang akan datang" (10:1) yang tidak mampu menghapuskan dosa. Korban Kristus adalah "wujud yang sebenarnya dari semua ini", sehingga korban tersebut tidak perlu diulangi. Sebagai kesimpulannya, peraturan Musa tidak diperlukan lagi; sesungguhnya "apa yang telah menjadi tua dan usang, telah dekat kepada kemusnahannya" (8:13).

c. Hukum dan anugerah
Kadang-kadang dikatakan bahwa keselamatan dalam perjanjian yang lama diperoleh dengan melaksanakan hukum, sedangkan dalam perjanji­an yang baru, orang diselamatkan oleh anugerah saja berdasarkan korban Kristus. Hal ini sebagian besar didasarkan atas pengertian yang keliru tentang ajaran Paulus dalam Surat Galatia.
Penelitian yang saksama tentang Taurat dan bagian Perjanjian Lama lainnya, menunjukkan bahwa manusia tidak pernah diselamatkan oleh usahanya sendiri, tetapi oleh anugerah Allah semata-mata. Manusia pan­tas menerima kutuk dan maut untuk dosanya, namun Allah dengan kemurahan-Nya bersedia menerima manusia atas dasar iman dan menyediakan sarana yang dipakai-Nya untuk menebus manusia. Inilah penebusan yang dinyatakan oleh Alkitab. Demikianlah pengertian Paulus mengenai perjanjian pokok antara Allah dengan Abraham.  Ia berkata bahwa hal itu tidak dihapus oleh Taurat yang diberi oleh Musa (Gal 3:6-18).[11]
Surat Ibrani, dalam membahas upacara korban Perjanjian Lama, menyatakan dengan ringkas: "Sebab tidak mungkin darah lembu jantan atau domba jantan menghapuskan dosa" (Ibr 10:4).  Demikian juga banyak orang Yahudi memahami bahwa keselamatan diperoleh oleh anugerah Allah yang berkuasa:

"Rabi Yokhanan berkata: 'Kamu harus sadar bahwa manusia tidak dapat memaksa Allah, karena Musa, yang terbesar di antara para nabi, datang menghadap Allah hanya dengan permohonan untuk memperoleh anugerah"'. (Ulangan Rabba wa'etkhanan 2:1)

"Bukan karena perbuatan mereka atau karena perbuatan leluhur mereka, maka orang Israel dibebaskan dari Mesir dan bukan pula oleh perbuatan mereka, maka Laut Merah terbelah, melainkan untuk memasyurkan nama Allah . . . Demikianlah Musa berkata kepada Israel: 'Bukan oleh perbuatanmu maka kamu ditebus, melainkan agar kamu dapat memuliakan Allah dan menyatakan kuasanya di antara bangsa-bangsa"'. (Midrasy Mazmur 44:1)

Banyak doa orang Yahudi menyatakan kebergantungan mereka pada Allah untuk memperoleh keselamatan:

"Ya Tuhan Raja seluruh dunia! Bukan bersandarkan pada kebenar­an perbuatan kami, maka kami menaikkan permohonan kami ke hadapan-Mu, tetapi oleh karena anugerah-Mu yang berlimpah ... Bapa kami, Raja kami, meskipun kami tidak mempunyai kebenaran dan perbuatan baik, ingatlah kami karena perjanjian dengan leluhur kami dan karena kesaksian kami sehari-hari akan keesaan-Mu yang kekal.[12]

Pengertian tentang korban yang diajarkan dalam Perjanjian Lama tidaklah bersifat magis.  Manusia patut mati untuk dosanya dan dengan mempersembahkan korban, ia menyerahkan dirinya pada kemurahan Allah. Korban adalah pengganti bagi dirinya dan darah korban menutupi dosanya. Orang Israel mengetahui, seperti ditunjukkan para nabi bahwa bukan korban yang berfaedah, tetapi kemurahan Allah dalam perjanjian­-Nya (lihat Mi 6:6-8; Yes 1:11-20; Hos 6:6).

d. Tipe dan lambang
Sepanjang sejarah gereja" para penafsir melalui tipologi telah berusaha untuk menemukan keseluruhan Injil dalam hampir setiap ayat Perjanjian Lama, hingga muncul-lah tafsiran yang dibuat-buat dan tidak masuk akal. Karena itu, pada zaman modern tipologi sering dikritik bahkan dicemooh. Baru akhir-akhir ini muncul kecenderungan yang sebaliknya. Von Rad (1965: 363-387), antara lain, telah memulihkan tipologi dalam pemahaman Perjanjian Lama.[13]
Penggunaan lambang dipahami dan dapat diterima sepenuhnya. Banyak hal dapat dinyatakan lebih baik dengan lambang daripada dengan gambaran abstrak.  Lambang ada di sekeliling kita, misalnya tangan, dilingkari jam tangan, kalender, bendera, salib dan sebagainya.
Pada dasarnya lambang adalah alat yang dapat dilihat yang menyata­kan gagasan yang abstrak.[14]  Salib adalah lambang kasih, pengurbanan, kematian dan keselamatan. Kemah ibadat di padang gurun melambang­kan kehadiran Allah, tempat pertemuan-Nya dengan umat-Nya.
Harun adalah seorang manusia biasa, tetapi juga seorang imam besar, dan dalam kedudukan itu ia melambangkan kekudusan (terpisah untuk pelayanan Allah). Korban-korban yang ia persembahkan pada hari raya Pendamaian melambangkan dosanya sendiri, dosa bangsanya, dan penyingkiran dosa, sehingga dosa itu tidak diingat lagi.
Apabila suatu lambang kemudian digantikan oleh wujud nyata yang dilambangkannya, lambang itu disebut tipe[15] dan wujud nyatanya dapat disebut antitipe.  Kemah ibadat Perjanjian Lama adalah contoh yang ter­baik. Sebagai lambang, kemah tersebut secara nyata mewakili kehadiran Tuhan Allah yang tidak kelihatan, yang tersirat dengan jelas dalam peris­tiwa turunnya kemuliaan-Nya di atas kemah suci (Kel 40:34,38). Tetapi, ketika "Firman itu menjadi manusia, dan diam di antara kita" (Yoh 1:14), lambang itu digantikan"oleh suatu wujud nyata. Karena itu, kemah suci adalah tipe (atau contoh) Kristus.[16]  Demikian juga, korban-korban imamat dapat disebut tipe-tipe, jika arti simbolisnya ditentukan dan wujud nyatanya dikenali. Dengan demikian, dalam Surat Ibrani korban tahunan hari raya Pendamaian dilihat sebagai tipe atau contoh korban Kristus yang berlaku sekali untuk selamanya (10:1,11-14).


Relevansi Kitab Imamat Pada Masa Kini

Dalam tafsiran tentang Kitab Imamat, Micklem (1953: hlm. 4) memper­tanyakan: "Apakah kitab seperti itu mempunyai tempat dalam Alkitab Kristen?" dan menurutnya jawabannya ialah "ya". Namun, tidak sedikit pembaca berpendapat bahwa kitab itu tidak penting pada zaman modern.  Bahkan Mikha (Mi 6:6-8) maupun para nabi yang lain agaknya memper­tanyakan keabsahan korban-korban darah dan penulis Surat Ibrani tampaknya menyingkirkan sistem imamat untuk selamanya (Ibr 8 - 10).
Akan tetapi, jika kasih Allah tetap relevan pada zaman sekarang, maka demikian pulalah Kitab Imamat (lihat Childs 1979: hlm. 188). Di balik syarat-syaratnya yang keras dan peraturan-peraturannya yang ketat terdapat kasih Allah yang mendambakan persekutuan dengan umat-Nya. Anugerah Allah yang sama yang membebaskan mereka dari perbudakan di Mesir, mengupayakan agar persekutuan dengan mereka dapat dipelihara. Agar persekutuan itu dapat dinikmati, kekudusan Allah meng­hendaki agar dosa diselesaikan dengan cara yang berkenan kepada-Nya. Dengan demikian Kitab Imamat lebih dari sekadar kumpulan rincian ten­tang korban dan perayaan, karena kitab itu menguraikan syarat-syarat persekutuan manusia dengan Allah itu.
Jika korban Kristus tetap relevan dan juga pembahasan dalam Surat Ibrani, maka demikian pula halnya dengan Kitab Imamat. Pengurbanan Kristus, sebagaimana digambarkan-Nya sendiri sebelum peristiwa itu ter­jadi dan dilukiskan oleh murid-murid-Nya kemudian, hanya dapat dipahami dengan latar belakang sistem persembahan korban Yahudi. Surat Ibrani justru menekankan hal ini.
Kitab Imamat juga relevan dari segi yang lain. Dalam menyatakan kasih-Nya yang menyelamatkan - bahwa Ia mengasihi orang berdosa tetapi membenci dosanya - Allah mempergunakan lambang-lambang dalam Kitab Imamat sebagai persiapan penyataan yang lebih penuh ten­tang diri-Nya dalam Kristus (bnd. Ibr 1:1).
Lambang atau tipe ini telah digantikan dengan wujud nyata. Korban-korban simbolis tidak perlu lagi, karena korban Kristus yang telah mewujudkannya. Meskipun demikian, lambang-lambang kuno masih mengandung banyak hal yang berguna sebagai pelajaran. Sebenarnya, kita tak dapat memahami sepenuhnya konsep-konsep Perjanjian Baru tentang dosa dan keselamatan terpisah dari Perjanjian Lama yang menyiapkan jalan untuk penyataan yang baru.
Kadang dikatakan bahwa Allah dan Bapa Yesus Kristus tidaklah sama dengan Tuhan Allah Perjanjian Lama. Yesus Kristus sendiri mem­bantah hal ini dengan keras melalui ucapan-Nya dan pengurbanan-Nya. Bapa Yesus Kristus adalah Allah yang kudus, sama sekali bertentangan dengan dosa dan Dia menuntut penumpahan darah untuk menghapuskan dosa.  Ia telah memberikan "domba" pengganti dalam diri Anak-Nya sen­diri dan melalui Dia pendamaian sudah terwujud (Rm 5:11). Untuk zaman sekarang Kristus mengingatkan hal ini ("sampai la datang kem­bali") dalam Perjamuan Kudus dan mempergunakan bahasa Perjanjian Lama dalam kata-kata penetapannya (Mat 26:26-28 sejajar dengan Kel. 24:8; bnd. jugs 1 Kor 10:23-27).
Dalam iman, dosa-dosa ditanggungkan atas "Domba Allah", yang seperti kambing korban pada hari raya Pendamaian, menghapus dosa-dosa (lihat Yoh 1:29). Tanpa memahami bahasa dan lambang-lambang dari Kitab Imamat, bagaimana kita dapat memahami sepenuhnya arti yang terdalam dari Perjanjian Baru?


KITAB IMAMAT

Pendahuluan
Di perkemahan dekat Gunung Sinai, umat Israel mengingat pengalaman mereka akan penyelamatan Allah yang dahsyat - pembebasan mereka dari perbudakan Mesir - yang tetap menjadi inti kepercayaan mereka dalam generasi seterusnya. Mereka telah melihat dan mendengar guntur di gunung Allah (Kel 19:16-19). Allah telah memberikan perintah-perintah-Nya (Kel 20:1-17). Ia telah menyatakan diri sebagai Allah mereka dan mereka sebagai umat-Nya. Allah adalah Maharaja yang mengikat mereka dengan Dia dalam perjanjian.
Namun, bagaimana ikatan ini dapat dipelihara? Israel tidak dapat tinggal selama-Iamanya di Gunung Sinai, karena hal itu bukan maksud Allah dalam janji-Nya kepada bapak-bapak leluhur mereka maupun dalam pembebasan mereka dari Mesir. Mereka akan diam di tanah tempat mereka dapat mengalami berkat-berkat sebagai umat-Nya. Selain itu, mereka akan menjadi sumber berkat bagi semua bangsa (Kej 12:3) dengan cara yang belum dinyatakan dengan jelas dan akan meneruskan kepercayaan mereka kepada bangsa-bangsa lain. Gurun Sinai juga bukan­lah tempat untuk itu. Tanah perjanjian itu adalah Kanaan.
Di Palestina, Israel akan berhadapan dengan kebiasaan-kebiasaan ibadat orang Kanaan, jadi sebelum memasuki tanah perjanjian itu mereka harus mempelajari cara-cara yang benar untuk menyembah Allah. Rincian tentang ibadat ini diberikan dalam Kitab Imamat.
Tujuan umum dari penulisan kitab Imamat ini adalah untuk memelihara dan mempertahankan hubungan perjanjian antara Israel dan Allah.

Konteks Historis
4.      Bangsa Israel diajar untuk Mempertahankan ibadah yang benar di tengah-tengah bangsa-bangsa kafir yang menyembah banyak dewa dengan berbagai macam cara.
5.      Maksud Allah memberikan tata cara ibadah ini adalah supaya Allah berdiam di antara ibadah dan persembahan mereka.
6.      Bangsa Israel dituntut untuk menghormati kekudusan Allah.

Konteks Sastra
Pada bagian ini banyak berisi tentang peraturan dan pelaksanaan ibadah, oleh sebab itu sastra dari kitab ini juga terdiri dari peraturan-peraturan (UU).  Meskipun kitab ini untuk bangsa Israel, namun kitab ini sering dikutip dalam kitab-kitab lain lebih lagi dalam Perjanjian Baru. 

Konteks Isi
Hal yang paling ditekankan adalah Kekudusan (Qadosh).  Semula qadosh berarti 'dipisahkan' atau 'dikhususkan', yaitu untuk mak­sud keagamaan. Sebidang tanah, sebuah bangunan, peralatan dalam tem­pat ibadat atau bahkan seekor kuda dapat dianggap kudus, yakni dikhususkan untuk maksud keagamaan atau peribadatan.  Allah menyoroti apa saja tentang kekudusan?
1. Persembahan
            Berkaitan dengan waktu, jenis, dan tujuan
2. Imam
Harus dari keturunan Harun, dan orang Lewi.
Imam besar masuk ke Ruang Maha Kudus setahun sekali.
Imam tugasnya menjaga api agar tetap menyala (1:7; 6:12-13).
3. Darah
Darah sebagai tanda bahwa dosa itu sudah dihapuskan.
4. Hukum kekudusan
Hukum ini mengatur kehidupan sehari-hari bangsa Israel, sehingga hidupnya tetap kudus di hadapan Allah.

Setelah mempelajari konteks dalam kitab Imamat ini, maka dapat diketahui tujuan penulisan kitab Imamat adalah:
5.      Bangsa Israel memiliki cara-cara khusus untuk menghampiri Allah
6.      Bangsa Israel memiliki cara hidup yang benar di hadapan Allah
7.      Di balik syarat-syaratnya yang keras dan peraturan-peraturannya yang ketat terdapat kasih Allah yang mendambakan persekutuan dengan umat-Nya. Anugerah Allah yang sama yang membebaskan mereka dari perbudakan di Mesir, mengupayakan agar persekutuan dengan mereka dapat dipelihara. Agar persekutuan itu dapat dinikmati, kekudusan Allah meng­hendaki agar dosa diselesaikan dengan cara yang berkenan kepada-Nya.
8.      Dalam menyatakan kasih-Nya yang menyelamatkan - bahwa la mengasihi orang berdosa tetapi membenci dosanya - Allah mempergunakan lambang-lambang dalam Kitab Imamat sebagai persiapan penyataan yang lebih penuh ten­tang diri-Nya dalam Kristus (bnd. Ibr 1:1). Lambang atau tipe ini telah digantikan dengan wujud nyata. Korban-korban simbolis tidak perlu lagi, karena korban Kristus yang telah mewujudkannya.


Nama dan Isi
a. Nama
Karena buku-buku kuno biasanya dinamai menurut kata-kata pertama­nya, maka judul Kitab Imamat dalam bahasa Ibrani adalah wayyiqra – “dan Ia memanggil” (Im 1:1). Nama "Imamat" berasal dari Septuaginta melalui terjemahan Alkitab dalam bahasa Latin, yang memberikan judul lengkap “orang Lewi."[17]
Kata "imam" lebih sering dipergunakan dalam Kitab Imamat daripada kata "Lewi".[18] Dalam peristiwa di Sinai, Allah telah menyatakan bahwa umat perjanjian-Nya adalah "kerajaan imam dan bangsa yang kudus" (Kel 19:6).
Secara ideal bangsa Israel merupakan teokrasi: setiap orang adalah imam dengan Allah sebagai rajanya. Namun, karena keadaan ini kurang praktis, maka dibentuklah prinsip perwakilan. Anak sulung laki-laki dari setiap keluarga harus mewakili keluarganya (13:2,13; 22:29). Tetapi, Allah menunjuk orang-orang Lewi untuk melayani ganti anak sulung laki-laki tersebut: "Sesungguhnya, Aku mengambil orang Lewi dari antara orang Israel ganti semua anak sulung mereka, yang ter­dahulu lahir dari kandungan di antara umat Israel" (Bil 3:12).
Tampaknya, pandangan yang menganggap Kitab Imamat sebagai "buku panduan para imam" dalam arti para petugas peribadatan saja, tidak sesuai dengan ajaran Alkitab karena kitab ini milik semua orang Israel.[19]

b. Isi
Kadang-kadang dikatakan bahwa Kitab Imamat mengemukakan hukum­-hukum upacara keagamaan Israel. Pernyataan semacam itu biasanya didampingi penelitian terhadap isi Kitab Imamat sebagai kumpulan hukum saja, tanpa usaha untuk memahami makna dasar kata Ibrani torah (dalam bahasa Indonesia "Taurat"). Dalam bahasa Ibrani kata itu berarti “pengajaran, hukum” yang mencakup melatih murid dan kalau perlu menghajarnya. Jadi, kata itu melukiskan pengajaran dari ayah atau ibu (Ams 1:8; 3:1).
Prinsip-prinsip yang berasal dari pengamatan ilmiah dapat pula disebut "hukum". Dalam arti demikian, prinsip-prinsip yang memerintah kehidupan umat perjanjian Allah mungkin dapat disebut "hukum". Lagi pula dalam Perjanjian Lama "hukum" mencakup peraturan, pengadilan, perintah dan ajaran. Karena itu, tepatlah jika torah diterjemahkan dengan “hukum.”
Meskipun demikian, jauh lebih berman­faat jika Kitab Imamat dipandang sebagai kitab petunjuk untuk bangsa imam dan wakil-wakil mereka, yaitu para imam. Petunjuk itu mencakup upacara dan ibadat, yaitu perbuatan dan sikap yang harus dipelihara umat Allah jika mereka menginginkan persekutuan yang tak terputus dengan Allah.
Tema inti Kitab Imamat dapat diungkapkan melalui istilah qadosh 'kudus' (Im 19:2). Dua pertanyaan muncul dari tema kekudusan ini. Pertama, bagaimana dosa dapat disingkirkan sehingga orang dapat menjadi kudus? Kedua, bagaimana orang dapat memelihara kekudusan yang penting untuk bersekutu dengan Allah yang kudus? Imamat 1 - 16 membahas pertanyaan pertama dan bagian selanjutnya membahas pertanyaan kedua.

Konsep Kekudusan

a. Pengertian dasar
Semula qadosh berarti 'dipisahkan' atau 'dikhususkan', yaitu untuk mak­sud keagamaan. Sebidang tanah, sebuah bangunan, peralatan dalam tem­pat ibadah atau bahkan seekor kuda dapat dianggap kudus, yakni dikhususkan untuk maksud keagamaan atau peribadatan.
Tokoh utama dalam Kitab Imamat adalah Harun dan tugas keimaman yang dilukiskan dalam kitab ini ter­batas pada putra-putranya. Kepada mereka diberikan tugas untuk melak­sanakan pelayanan imam. Tentunya Harun (seperti halnya dengan saudaranya, Musa) adalah salah seorang dari suku Lewi. Meskipun demikian, diadakan pembedaan antara "keimaman Harun" yang adalah keturunan Lewi melalui Harun dan "orang Lewi" yang bukan keturunan Harun. Kemudian hari ada pembedaan yang jelas antara "imam" dan mengandung nilai moral. Mungkin saja orang Israel mempunyai rasa hor­mat dan takut pada waktu ia menghampiri Kemah Suci, demikian juga Imam Besar pada waktu ia menghampiri tempat yang Mahakudus. Namun, perasaan mengenai kuasa mengagumkan yang terdapat dalam benda-benda kudus ini, tidak boleh disamakan dengan nilai-nilai moral atau etis.
Orang-orang tertentu dianggap kudus, karena mereka dikhusus­kan untuk maksud keagamaan, contohnya imam-imam Israel dalam pelayanan kepada Allah dan juga para pelacur bakti dalam pelayanan kepada Baal, dewa orang Kanaan.[20]
Perhatikanlah Imamat 10:10: "Haruslah kamu dapat membedakan antara yang kudus dengan yang tidak kudus, antara yang najis dengan yang tidak najis." Sesuatu yang kudus (misalnya nama Tuhan) tidak boleh diperlakukan seolah-olah hal itu bersifat biasa saja. Sesuatu yang "tidak najis" atau tahir menurut peraturan agama, boleh dipakai untuk beribadat kepada Allah, sedangkan sesuatu yang "najis" tidak boleh.

b. Pengertian yang dikembangkan
Pengertian Alkitab tentang kekudusan tidak terbatas pada pengkhususan. Sering dikatakan, "Allah adalah kudus" atau "Aku (Allah) adalah kudus". Penggunaan seperti ini berarti bahwa Allah terpisah, sebagaimana telah diterangkan. Allah bersifat rohani dan manusia bersifat jasmani, Allah tidak kelihatan dan manusia kelihatan. Lebih penting lagi, Allah terpisah dari dosa dan manusia yang berdosa.
Dalam tradisi Alkitab, Allah men­ciptakan Adam untuk bersekutu dengan-Nya, tetapi dosa memutuskan persekutuan itu, sehingga Adam dan Hawa diusir dari taman Eden. Secara simbolis, Allah berada dalam tempat kudus itu sedangkan keluarga manusia berada di luarnya karena dosa mereka. Jadi kesempur­naan Allah secara moral menjadi bagian dari konsep kekudusan-Nya dan tuntutan-Nya agar umat perjanjian-Nya menjadi kudus, selalu terikat dengan hukum moral. Oleh karena itu, kekudusan mulai mencakup arti kesempurnaan moral.[21]

a. Persembahan
Menurut Imamat 7:37 ada lima korban yang termasuk dalam hukum yang dinyatakan Tuhan Allah kepada Musa di Gunung Sinai.  Salah satu di antaranya Korban Keselamatan yang dibagi menjadi tiga jenis, sehingga jumlah jenis korban ada tujuh. Semuanya kecuali "Korban Sajian" mencakup penyembelihan hewan. Perkataan Ibrani yang diterjemahkan persembah­an berarti 'penyajian' atau 'barang-barang yang dibawa dekat'.
Ada beberapa istilah tentang korban yang perlu diperhatikan secara khusus. "Korban penghapus dosa" mudah dikacaukan dengan "korban penebus salah", karena keduanya sama, kecuali bahwa korban penebus salah menuntut ganti rugi kepada orang yang dirugikan oleh dosa tersebut.8 Dalam Ulangan 12:27 korban bakaran dibedakan dengan "korban sembelihan" (zevakh), karena korban bakaran seluruhnya dimakan api di atas mezbah, sedangkan sebagian korban sembelihan boleh dimakan oleh imam dan dalam keadaan tertentu oleh orang yang mempersembahkannya juga.

b. Peranan orang yang mempersembahkan korban
Penyajian dan penyembelihan korban digambarkan dengan teliti (lihat Im 1:3-9). Dengan sedikit pengecualian (seperti misalnya korban penghapus dosa untuk seluruh jemaah atau persembahan binatang kecil bersayap oleh orang yang kurang mampu), upacara pada semua korban itu lama, sampai pada penempatan korban itu di atas mezbah.

Korban dan Persembahan

Pembawa korban harus menyajikan korbannya secara pribadi di mezbah atau pintu kemah pertemuan, "supaya TUHAN berkenan akan dia" (1:3). Persembahan itu mewakili hidup orang yang mempersembahkannya - seekor hewan yang dipelihara atau biji padi-padian yang dipanennya - dengan mutu terbaik (biasanya seekor hewan jantan tanpa cacat atau tepung halus atau buah sulung yang terbaik).  Status ekonomi orang yang membawa persembahan dipertimbangkan. Di kemudian hari barulah orang yang membawa persembahan dapat membeli di sekitar Rumah Allah korban persembahan yang tidak berasal dari usaha pribadinya (bnd. Mrk 11:15 dan ayat-ayat yang sejajar dalam Yoh. 2:15-16).
Pembawa persembahan itu kemudian meletakkan tangannya atas kepala korban, mungkin sebagai tanda bahwa korban itu mewakili dirinya sendiri (1:4). Apakah pembawa persembahan mengakui dosanya pada waktu menyajikan korban, tidaklah jelas. Karena upacara hari raya Pen­damaian dengan jelas menetapkan pengakuan semacam itu (16:21), maka sangat mungkin bila hal ini merupakan bagian dari setiap upacara per­sembahan korban.
Dosa-dosa tertentu disebutkan dalam kaitan dengan korban penghapus dosa dan korban penebus salah (5:1 - 6:7) dan apabila orang berdosa mengakui bahwa ia telah berbuat dosa (4:14), atau dosa itu diberitahukan kepadanya (ay 28), maka ia harus mengadakan per­sembahan. Karena ia membawa persembahan untuk dosa tertentu, tentu ia membuat pengakuan di depan umum atas dosa itu.
Kemudian orang yang membawa persembahan itu harus menyem­belih hewan korbannya, menguliti serta memotong-motongnya.  Perbuatan ini memang tidak menjijikkan, mengingat bahwa setiap keluarga Israel memelihara dan menyembelih hewan sebagai makanan.  Meskipun demi­kian setiap orang yang memelihara ternak dapat membayangkan perasaan tak menyenangkan ketika harus membunuh hewan ternaknya, sekalipun hal itu dilakukan untuk mengakhiri penderitaannya.
Korban-korban dalam Kitab Imamat tidak dimaksudkan untuk menimbulkan rasa jijik, tetapi untuk menimbulkan kesan pada orang yang membawa korban bahwa korban itu mewakili dirinya sendiri (lihat 1:4). Pembawa per­sembahan tidak hanya mengurbankan seekor hewan pilihan yang telah diperliharanya, melainkan juga suatu pengganti bagi dirinya sendiri. Semua yang dilakukannya dalam mempersembahkan korban itu pasti mem­beri kesan kepadanya akan hukuman atas dosa, yakni: menuntut nyawa.

c. Peranan Imam
Imam diwajibkan menjaga agar api tetap menyala di atas mezbah (1:7; 6:12-13). Tampaknya ada upacara penerimaan korban, mungkin sebagian terlihat dalam kata-kata "sehingga baginya persembahan itu diperkenan untuk mengadakan pendamaian baginya" (1:4). Ketika pembawa persem­bahan menyembelih hewan, imam menampung darahnya dalam wadah, memercikkan sebagian ke sekeliling mezbah dan menempatkan selebih­nya di bagian bawah mezbah (ay 5).
Upacara korban penghapus dosa sedikit lebih rumit (bnd. 4:4-7). Bagian yang harus dibakar, setelah dicuci, diletakkan di atas mezbah. Untuk korban bakaran, seluruh hewan (kecuali kulitnya) harus dibakar; tetapi untuk korban-korban lain, sebagian korban itu menjadi bagian imam dan boleh dimakan olehnya.
Pembedaan yang teliti harus dilakukan. Dalam hal korban penghapus dosa, baik yang dipersembahkan imam untuk dosanya sendiri maupun untuk seluruh jemaat, imam tidak boleh mengambil bagian, karena ia bertindak sebagai imam dan orang berdosa. Dalam hal itu, ia membawa bagiannya ke luar perkemahan dan membakarnya. Sedangkan korban keselamatan tidak menyangkut dosa pembawa persembahan sehingga pembawa persembahan maupun imam mengambil bagiannya.
Setiap rincian mempunyai makna yang penting. Tanggung jawab imam untuk mengajar umat dan hukuman atas mereka bila mereka gagal melaksanakan tugas itu, memegang peranan yang sangat besar dalam pemberitaan para nabi sehingga kita tidak boleh
mengabaikannya.

d. Pentingnya darah
Dalam seluruh peraturan mengenai korban, darah ditekankan. Hal itu tidak menyenangkan banyak orang pada masa kini dan sehingga upacara pengur­banan sehingga ini kemudian dianggap sebagai "agama jagal". Meskipun demikian, fakta maupun lambang korban darah harus dipahami. Ini merupakan inti iman Kristen pula, baik dalam pengurbanan Kristus di atas kayu salib maupun dalam lambang-lambang Perjamuan Kudus. Arti harfiahnya sederhana saja: penumpahan darah berarti kematian korban. Arti simbolisnya ter­letak dalam identifikasi (penyamaan diri) si pembawa korban dengan korban itu sendiri, karena kematian korban melambangkan kematian orang yang berdosa. Hukuman atas dosa ialah kematian, tetapi hewan mati sebagai ganti orang yang berbuat dosa.

Korban Bakaran dan Korban Persembahan dalam Kitab Imamat

Upacara hari raya Pendamaian sangat penting artinya. Meskipun Rumah Allah dan sistem korban tidak dikenal lagi, namun hari raya Pendamaian (Yom Kippur) tetap menjadi hari tersuci dalam penanggalan Yahudi.
Istilah "pendamaian" dan "mengadakan pendamaian untuk" sulit dipahami. Dalam bahasa Ibrani arti dasarnya adalah 'menutupi'. Tidak semua ahli menyetujui bahwa itulah artinya dalam bahasa Ibrani, namun nampaknya pengertian itu lebih mendekati pengertian dalam Kitab Imamat daripada pengertian 'menyenangkan hati Allah'.[22]  Yang ditekankan di sini bukanlah hal menyenangkan hati Allah melainkan hal menutupi dosa, meskipun Perjanjian Baru dengan jelas mempergunakan istilah pendamaian sebagai salah satu segi penebusan (misal Rm 3:25; 1 Yoh 2:2). Penebusan melalui darah dan tutup pendamaian dalam Kitab Imamat (16:2) melatarbelakangi ajaran itu.
Imam Besar merupakan perantara antara Allah yang kudus dengan umat-Nya yang berdosa.  Dalam lambang kemah perjanjian (kelak, Rumah Allah), Allah hadir di antara kerub dalam Ruang Maha Kudus. Pada hari raya Pendamaian, Imam Besar Harun menanggalkan jubah imamatnya, memakai jubah putih dan melaksanakan upacara. Pertama­-tama, ia mengadakan pendamaian bagi dirinya sendiri dan keluarganya (16:6), karena ia juga seorang berdosa yang dosa-dosanya perlu ditutupi. Lalu ia mempersembahkan seekor domba jantan sebagai korban peng­hapus dosa bagi umat Israel (ay 15). Dalam kedua peristiwa ini, ia mengambil darah dan memercikkannya pada tutup pendamaian di Ruang Maha Kudus (ay 13,17).
Karena kenajisan umat itu, Ruang Kudus diang­gap tercemar dan karenanya memerlukan pendamaian (ay 6).  Kemudian Harun mengambil seekor kambing hidup dan meletakkan kedua tangannya di atas kepalanya, sambil mengakui di atas kepala kambing itu segala kesalahan orang Israel dan segala pelanggaran mereka, apa pun juga dosa mereka. Setelah "menanggungkan itu ke atas kepala kambing jantan itu" ia melepaskannya ke padang gurun (ay 21). Secara khusus dinyatakan bahwa "kambing jantan itu harus mengangkut segala kesalahan Israel ke tanah yang tandus" (ay 22, tentu saja dipahami secara simbolis dan bukan harfiah, seperti yang jelas dipahami oleh para nabi dan penulis Surat Ibrani).
Kambing itu dilepaskan "bagi Azazel" (ay 26). Ungkapan ini menimbulkan debat yang berkepanjangan antara para penafsir Yahudi dan Kristen. Apakah Azazel itu nama tempat atau nama salah satu dewa Sinai atau Iblis? Apakah kambing dilepaskan "bagi Azazel" itu merupakan korban untuk menenangkan Iblis atau suatu roh jahat? Setiap pandangan itu agaknya bertentangan dengan semangat hari raya Pen­damaian dan tidak didukung oleh apa pun dalam upacara korban dalam Alkitab. Istilah "Azazel" tidak disebutkan di tempat lain. Meskipun ada kesulitan, namun penjelasan terbaik adalah menganggap Azazel sebagai bentuk yang tidak lazim dari kata kerja Ibrani 'azal 'menyingkirkan' dan menerjemahkan istilah itu 'untuk penyingkiran (dosa).[23] Pengertian ini sangat tepat dengan perbuatan tersebut sebagai lambang, karena kambing hitam mengangkut dosa-dosa umat ke tempat jauh, tempat dosa-dosa itu tidak lagi berada di tengah-tengah Israel dan Allah yang kudus.

Kehidupan yang Kudus
a. Hukum Kekudusan
Imamat 17 - 26 kadang-kadang disebut Hukum Kekudusan. Menurut salah satu bentuk teori sumber, Hukum Kekudusan adalah salah satu dokumen yang dipergunakan dalam pembentukan Pentateukh (atau Heksateukh) dan disusun oleh penulis dari kalangan imam dalam abad ke-7 atau ke-6 sM (lihat Eissfeldt 1965: him. 233-239).
Sebenarnya kurang tepat untuk menyebut bagian ini sebagai suatu "hukum". Bagian ini lebih merupakan kumpulan prinsip-prinsip hidup untuk umat Allah yang dipanggil menjadi kudus sehingga mungkin lebih cocok disebut "Taurat Kekudusan". Prinsip-prinsip itu tidak dinyatakan sebagai patokan-patokan hukum, tetapi merupakan rincian-rincian yang di dalamnya umat Allah mesti hidup sesuai dengan konsep kekudusan.
Sebagai contoh, di dalamnya termasuk sejumlah pertemuan kudus (23:1-44) seperti Hari Sabat dan Paskah. Tahun Sabat harus diperingati setiap tahun ketujuh sebagai masa istirahat untuk tanah garapan (25:1-7).
Antara Kitab Imamat dan Kitab Yehezkiel ada banyak persamaan. Para ahli mempersoalkan apakah Yehezkiel mengutip Kitab Imamat ataukah Kitab Imamat disusun oleh para imam yang mengikuti pandangan Yehezkiel. Sebagaimana diakui sejumlah ahli sekarang, Kitab Imamat mengandung banyak unsur kuno dari ibadat orang Israel.
Karena itu, sabat tidak dapat dianggap sebagai suatu pranata yang diciptakan oleh seorang penulis sesudah masa pembuangan. Tentang bahan-bahan mula-mula dalam apa yang disebut Dokumen Imamat, lihat Clements (1979: him. 118-119).
Tahun Yobel harus diperingati setiap tahun kelima puluh sebagai tahun penebusan dan pada tahun itu para budak harus dibebaskan dan tanah dikembalikan kepada keluarga atau kaum pemilik asalnya (ay 8-55). Ternyata, orang Israel tidak mengindahkan "sabat-sabat" ini. Baik Yeremia (34:14-22) maupun Yehezkiel (20:12-16) menyatakan bahwa peristiwa pembuangan adalah hukuman Allah sebagai akibat pelauggaran sabat.[24]
Ketika Yesus ditanya, "Hukum manakah yang terutama dalam hukum Taurat?" Yesus menjawab dengan dua perintah (Mat 22:36-40): yang per­tama dikutip dari Kitab Ulangan ("Kasihilah TUHAN, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu') dan yang kedua dari Kitab Imamat ("Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri", bnd. Im 19:18).
Perintah untuk mengasihi sesama dalam Kitab Imamat terdapat pada akhir dari sekelompok hukum yang beraneka ragam yang mengungkap­kan kekudusan (lihat ay 2), seperti menghormati ayah dan ibu, memper­ingati sabat, menghindari penyembahan berhala, mempersembahkan korban keselamatan dan meninggalkan sebagian hasil panen untuk orang pendatang.  Perintah mengasihi sesama menyusul setelah larangan tentang fitnah atau mengancam hidup atau menuntut balas atau menaruh dendam terhadap sesama. Perintah itu merupakan ringkasan yang tepat mengenaj hubungan seseorang dengan sesamanya dalam kehidupan sehari-hari.



Hubungan Kitab Imamat dengan Kitab Lain

a. Kitab Yehezkiel
Dapat dimengerti jika Yehezkiel, seorang imam (Yeh 1:1) berbicara kepada orang Yahudi di pengasingan sesaat sebelum dan sesudah peng­hancuran Bait Allah di Yerusalem, mengenai penegak­kan kembali peraturan-peraturan upacara Imamat.

b. Surat Ibrani
Beberapa kali penulis Surat Ibrani mengutip Kitab Imamat, terutama fasal 16 (tentang hari raya Pendamaian).[25] Ada dua alasan mengapa Ibrani 8 - 10 menarik perhatian: Pertama, pasal-pasal itu menguraikan pengertian Perjanjian Baru (karenanya bersifat kanonik) tentang penting­nya upacara imamat. Kedua, pasal-pasal itu memberikan keterangan ten­tang para penerima Surat Ibrani.
Jika Surat Ibrani ditulis kepada orang Yahudi Kristen yang meng­hadapi kenyataan bahwa Bait Allah di Yerusalem telah (atau akan) dihancurkan dan sistem upacara korban diakhiri, maka surat ini merupa­kan jawaban atas masalah tentang menggantikan korban-korban yang diperintahkan oleh Musa.[26] Penulis surat itu menunjukkan bahwa korban-korban hewan adalah sekadar "bayangan dari keselamatan yang akan datang" (10:1) yang tidak mampu menghapuskan dosa. Korban Kristus adalah "wujud yang sebenarnya dari semua ini", sehingga korban tersebut tidak perlu diulangi. Sebagai kesimpulannya, peraturan Musa tidak diperlukan lagi; sesungguhnya "apa yang telah menjadi tua dan usang, telah dekat kepada kemusnahannya" (8:13).

c. Hukum dan anugerah
Kadang-kadang dikatakan bahwa keselamatan dalam perjanjian yang lama diperoleh dengan melaksanakan hukum, sedangkan dalam perjanji­an yang baru, orang diselamatkan oleh anugerah saja berdasarkan korban Kristus. Hal ini sebagian besar didasarkan atas pengertian yang keliru tentang ajaran Paulus dalam Surat Galatia.
Penelitian yang saksama tentang Taurat dan bagian Perjanjian Lama lainnya, menunjukkan bahwa manusia tidak pernah diselamatkan oleh usahanya sendiri, tetapi oleh anugerah Allah semata-mata. Manusia pan­tas menerima kutuk dan maut untuk dosanya, namun Allah dengan kemurahan-Nya bersedia menerima manusia atas dasar iman dan menyediakan sarana yang dipakai-Nya untuk menebus manusia. Inilah penebusan yang dinyatakan oleh Alkitab. Demikianlah pengertian Paulus mengenai perjanjian pokok antara Allah dengan Abraham.  Ia berkata bahwa hal itu tidak dihapus oleh Taurat yang diberi oleh Musa (Gal 3:6-18).[27]
Surat Ibrani, dalam membahas upacara korban Perjanjian Lama, menyatakan dengan ringkas: "Sebab tidak mungkin darah lembu jantan atau domba jantan menghapuskan dosa" (Ibr 10:4).  Demikian juga banyak orang Yahudi memahami bahwa keselamatan diperoleh oleh anugerah Allah yang berkuasa:

"Rabi Yokhanan berkata: 'Kamu harus sadar bahwa manusia tidak dapat memaksa Allah, karena Musa, yang terbesar di antara para nabi, datang menghadap Allah hanya dengan permohonan untuk memperoleh anugerah"'. (Ulangan Rabba wa'etkhanan 2:1)

"Bukan karena perbuatan mereka atau karena perbuatan leluhur mereka, maka orang Israel dibebaskan dari Mesir dan bukan pula oleh perbuatan mereka, maka Laut Merah terbelah, melainkan untuk memasyurkan nama Allah . . . Demikianlah Musa berkata kepada Israel: 'Bukan oleh perbuatanmu maka kamu ditebus, melainkan agar kamu dapat memuliakan Allah dan menyatakan kuasanya di antara bangsa-bangsa"'. (Midrasy Mazmur 44:1)

Banyak doa orang Yahudi menyatakan kebergantungan mereka pada Allah untuk memperoleh keselamatan:

"Ya Tuhan Raja seluruh dunia! Bukan bersandarkan pada kebenar­an perbuatan kami, maka kami menaikkan permohonan kami ke hadapan-Mu, tetapi oleh karena anugerah-Mu yang berlimpah ... Bapa kami, Raja kami, meskipun kami tidak mempunyai kebenaran dan perbuatan baik, ingatlah kami karena perjanjian dengan leluhur kami dan karena kesaksian kami sehari-hari akan keesaan-Mu yang kekal.[28]

Pengertian tentang korban yang diajarkan dalam Perjanjian Lama tidaklah bersifat magis.  Manusia patut mati untuk dosanya dan dengan mempersembahkan korban, ia menyerahkan dirinya pada kemurahan Allah. Korban adalah pengganti bagi dirinya dan darah korban menutupi dosanya. Orang Israel mengetahui, seperti ditunjukkan para nabi bahwa bukan korban yang berfaedah, tetapi kemurahan Allah dalam perjanjian­-Nya (lihat Mi 6:6-8; Yes 1:11-20; Hos 6:6).

d. Tipe dan lambang
Sepanjang sejarah gereja" para penafsir melalui tipologi telah berusaha untuk menemukan keseluruhan Injil dalam hampir setiap ayat Perjanjian Lama, hingga muncul-lah tafsiran yang dibuat-buat dan tidak masuk akal. Karena itu, pada zaman modern tipologi sering dikritik bahkan dicemooh. Baru akhir-akhir ini muncul kecenderungan yang sebaliknya. Von Rad (1965: 363-387), antara lain, telah memulihkan tipologi dalam pemahaman Perjanjian Lama.[29]
Penggunaan lambang dipahami dan dapat diterima sepenuhnya. Banyak hal dapat dinyatakan lebih baik dengan lambang daripada dengan gambaran abstrak.  Lambang ada di sekeliling kita, misalnya tangan, dilingkari jam tangan, kalender, bendera, salib dan sebagainya.
Pada dasarnya lambang adalah alat yang dapat dilihat yang menyata­kan gagasan yang abstrak.[30]  Salib adalah lambang kasih, pengurbanan, kematian dan keselamatan. Kemah ibadat di padang gurun melambang­kan kehadiran Allah, tempat pertemuan-Nya dengan umat-Nya.
Harun adalah seorang manusia biasa, tetapi juga seorang imam besar, dan dalam kedudukan itu ia melambangkan kekudusan (terpisah untuk pelayanan Allah). Korban-korban yang ia persembahkan pada hari raya Pendamaian melambangkan dosanya sendiri, dosa bangsanya, dan penyingkiran dosa, sehingga dosa itu tidak diingat lagi.
Apabila suatu lambang kemudian digantikan oleh wujud nyata yang dilambangkannya, lambang itu disebut tipe[31] dan wujud nyatanya dapat disebut antitipe.  Kemah ibadat Perjanjian Lama adalah contoh yang ter­baik. Sebagai lambang, kemah tersebut secara nyata mewakili kehadiran Tuhan Allah yang tidak kelihatan, yang tersirat dengan jelas dalam peris­tiwa turunnya kemuliaan-Nya di atas kemah suci (Kel 40:34,38). Tetapi, ketika "Firman itu menjadi manusia, dan diam di antara kita" (Yoh 1:14), lambang itu digantikan"oleh suatu wujud nyata. Karena itu, kemah suci adalah tipe (atau contoh) Kristus.[32]  Demikian juga, korban-korban imamat dapat disebut tipe-tipe, jika arti simbolisnya ditentukan dan wujud nyatanya dikenali. Dengan demikian, dalam Surat Ibrani korban tahunan hari raya Pendamaian dilihat sebagai tipe atau contoh korban Kristus yang berlaku sekali untuk selamanya (10:1,11-14).


Relevansi Kitab Imamat Pada Masa Kini

Dalam tafsiran tentang Kitab Imamat, Micklem (1953: hlm. 4) memper­tanyakan: "Apakah kitab seperti itu mempunyai tempat dalam Alkitab Kristen?" dan menurutnya jawabannya ialah "ya". Namun, tidak sedikit pembaca berpendapat bahwa kitab itu tidak penting pada zaman modern.  Bahkan Mikha (Mi 6:6-8) maupun para nabi yang lain agaknya memper­tanyakan keabsahan korban-korban darah dan penulis Surat Ibrani tampaknya menyingkirkan sistem imamat untuk selamanya (Ibr 8 - 10).
Akan tetapi, jika kasih Allah tetap relevan pada zaman sekarang, maka demikian pulalah Kitab Imamat (lihat Childs 1979: hlm. 188). Di balik syarat-syaratnya yang keras dan peraturan-peraturannya yang ketat terdapat kasih Allah yang mendambakan persekutuan dengan umat-Nya. Anugerah Allah yang sama yang membebaskan mereka dari perbudakan di Mesir, mengupayakan agar persekutuan dengan mereka dapat dipelihara. Agar persekutuan itu dapat dinikmati, kekudusan Allah meng­hendaki agar dosa diselesaikan dengan cara yang berkenan kepada-Nya. Dengan demikian Kitab Imamat lebih dari sekadar kumpulan rincian ten­tang korban dan perayaan, karena kitab itu menguraikan syarat-syarat persekutuan manusia dengan Allah itu.
Jika korban Kristus tetap relevan dan juga pembahasan dalam Surat Ibrani, maka demikian pula halnya dengan Kitab Imamat. Pengurbanan Kristus, sebagaimana digambarkan-Nya sendiri sebelum peristiwa itu ter­jadi dan dilukiskan oleh murid-murid-Nya kemudian, hanya dapat dipahami dengan latar belakang sistem persembahan korban Yahudi. Surat Ibrani justru menekankan hal ini.
Kitab Imamat juga relevan dari segi yang lain. Dalam menyatakan kasih-Nya yang menyelamatkan - bahwa Ia mengasihi orang berdosa tetapi membenci dosanya - Allah mempergunakan lambang-lambang dalam Kitab Imamat sebagai persiapan penyataan yang lebih penuh ten­tang diri-Nya dalam Kristus (bnd. Ibr 1:1).
Lambang atau tipe ini telah digantikan dengan wujud nyata. Korban-korban simbolis tidak perlu lagi, karena korban Kristus yang telah mewujudkannya. Meskipun demikian, lambang-lambang kuno masih mengandung banyak hal yang berguna sebagai pelajaran. Sebenarnya, kita tak dapat memahami sepenuhnya konsep-konsep Perjanjian Baru tentang dosa dan keselamatan terpisah dari Perjanjian Lama yang menyiapkan jalan untuk penyataan yang baru.
Kadang dikatakan bahwa Allah dan Bapa Yesus Kristus tidaklah sama dengan Tuhan Allah Perjanjian Lama. Yesus Kristus sendiri mem­bantah hal ini dengan keras melalui ucapan-Nya dan pengurbanan-Nya. Bapa Yesus Kristus adalah Allah yang kudus, sama sekali bertentangan dengan dosa dan Dia menuntut penumpahan darah untuk menghapuskan dosa.  Ia telah memberikan "domba" pengganti dalam diri Anak-Nya sen­diri dan melalui Dia pendamaian sudah terwujud (Rm 5:11). Untuk zaman sekarang Kristus mengingatkan hal ini ("sampai la datang kem­bali") dalam Perjamuan Kudus dan mempergunakan bahasa Perjanjian Lama dalam kata-kata penetapannya (Mat 26:26-28 sejajar dengan Kel. 24:8; bnd. jugs 1 Kor 10:23-27).
Dalam iman, dosa-dosa ditanggungkan atas "Domba Allah", yang seperti kambing korban pada hari raya Pendamaian, menghapus dosa-dosa (lihat Yoh 1:29). Tanpa memahami bahasa dan lambang-lambang dari Kitab Imamat, bagaimana kita dapat memahami sepenuhnya arti yang terdalam dari Perjanjian Baru?


KITAB BILANGAN

Judul asli kitab ini dalam bahasa Ibrani ialah "Di Padang Gurun", yang diambil dari fas. 1:1. Judul seperti itu sebenarnya lebih sesuai dengan isi kitab ini, yang mengisahkan perjalanan orang Israel dari Mesir ke dataran Moab. Judul "Bilangan" (bahasa Inggris "Numbers"), yang diambil dari versi LXX dan Latin Vulgata, menunjuk pada pembilangan/sensus orang Israel yang tercatat dalam fas. 1-4 dan fas. 26.
Kitab ini mengisahkan perjalanan orang Israel dari Sinai (titik akhir kitab Keluaran) ke perbatasan tanah Kanaan di Kadesh-Barnea, kemudian kembali lagi mengembara di padang gurun selama kurang-lebih 40 tahun sampai tiba di dataran Moab, di mana sekali lagi mereka bersiap-siap untuk masuk Kanaan.

Tujuan Umum: Meng­gabungkan hal-hal sejarah dengan peraturan-peraturan hukum.

Signifikansi Kitab Bilangan:
1.      Untuk menjelaskan mengapa bangsa Israel tidak langsung masuk ke tanah Kanaan.
2.      Mendeskripsikan perjalanan Israel dari gunung Sinai ke dataran Moab.
3.      Mengajar dan mengorganisasikan Israel sebagai bekas budak menjadi orang yang merdeka.

KITAB ULANGAN

Kitab Ulangan berisikan tentang:
a.      Kumpulan khotbah
b.      Amanat perpisahan Musa

Kitab Ulangan ini dalam bahasa Ibraninya diartikan sebagai "Inilah perkataan-perkataan" (1:1)

Mengapa harus ada kitab Ulangan (di ulang)?

Tujuan umumnya: Untuk mengingatkan anak cucu Israel tentang peristiwa yang Allah sudah lakukan.
Kitab Bilangan: Berakhir di dataran Moab
Kitab Ulangan: Merupakan khotbah-khotbah perpisahan sebelum masuk Kanaan.

Konteks Historis
Selama satu generasi (40 tahun) orang Israel telah mengembara di padang gurun Sin. Sekarang tiba saatnya mereka akan mencapai tujuan utama se­jak keluar dari Mesir, yaitu masuk tanah Kanaan. Akan tetapi mereka akan menghadapi:
Banyak godaan yang keras dan pencobaan yang berat di negeri yang baru itu (tanah perjanjian).
Pengangkatan pemimpin baru mereka (Yosua).

Musa yang telah diberitahu oleh Tuhan bahwa dia akan mati, mengumpulkan orang Israel dan menyampaikan beberapa khot­bah kepada mereka.  Khotbah itulah yang menjadi isi kitab Ulangan, antara lain:
1.      Musa mengingatkan mereka akan perbuatan-perbuatan Allah yang besar untuk menolong mereka.
2.      Musa juga menggariskan rencana Allah tentang undang-undang dasar negara baru yang akan mereka bangun di Kanaan, yaitu suatu "teokrasi" yang dipimpin oleh dan berpusat pada Tuhan.
3.      Dia mengan­jurkan umat Israel agar beriman dan taat, memperingatkan mereka tentang bahaya penyembahan berhala dan kemurtadan, dan tentang hukuman yang akan menimpa bangsa yang meninggalkan prinsip-prinsip Perjanjian Sinai.

Signifikansi dari kitab Ulangan:
1.      Mengingatkan bangsa Israel tentang perbuatan-perbuatan Allah yang besar.
2.      Memberikan Undang-Undang dasar bagi Negara yang akan dibentuk.
3.      Mendorong bangsa Israel untuk tetap taat dan setia kepada Allah.




[1] Untuk penelitian yang saksama, lihat Abba (1962). Menurut teori Wellhausen pemisahan imam dengan orang Lewi terjadi sesudah pembuangan, dan segala upacara yang digambarkan dalam Kitab Imamat dibuat dalam agama Yahudi sesudah masa pembuangan. Abba menunjukkan bahwa kumpulan hukum imamat berasal dari masa sebelum pembuangan bahkan sebelum penulis Kitab Ulangan. Nilai historisnya cukup kuat dan diterima oleh banyak ahli. Lihat Hubbard (1980) untuk penilaian atas hasil rekonstruksi Wellhausen.
[2] Istilah kohen 'imam' terdapat 730 kali, lewi 'orang Lewi' 40 kali, bentuk jamak 'orang-orang Lewi' 250 kali. Sering sebutan "orang-orang Lewi" hanya merupakan nama suku, tanpa acuan pada tugas mereka di kemah suci.
[3] Untuk keterangan mengenai peranan Israel sebagai kerajaan imam, lihat Lacocque (1979).
[4] Dalam bahasa Ibrani kata gedesyim 'laki-laki yang dikuduskan' (1 Raj 15:12) dan gedesyot 'perempuan yang dikuduskan' (Hos 4:14; bnd. Kej 38:21-22), berarti 'kain pelacur bakti'.
[5] Sekalipun menurut beberapa metode filologis cara yang dipakai di atas tidak benar, namun itulah satu-satunya cara untuk menetapkan definisi yang betul terhadap konsep-konsep yang ada dalam Alkitab. Kata harus dimengerti sesuai dengan maksud pemakainya. Dalam segala ilmu, kata-kata tertentu mempunyai arti khusus dalam ilmu yang bersangkutan. Hal itu sering diabaikan oleh para ahli Alkitab.
[6] Beberapa ahli menyangkal bahwa kipper berhubungan dengan kafar 'menutupi'. Kata kipper dianggap sebagai suatu akar kata tersendiri, yang berarti 'menyenangkan hati Allah'.  Tetapi sulit untuk mendukung gagasan 'menyenangkan hati Allah' dalam Kitab Imamat atau dalam bagian Perjanjian Lama lainnya, walaupun gagasan tersebut sering terdapat dalam studi terhadap agama-agama lain di luar Israel. Mengenai pendamaian, lihat Morris 1980.
[7] Ungkapan la'aza zel secara harfiah berarti 'orang yang melepas kambing kepada Azazel atau 'penghancuran'.
[8] Baik Yeremia maupun Yehezkiel berbicara tentang kegagalan yang berkepanjangan itu.
[9] Ada 24 kutipan dari Kitab Imamat, menurut Aland (1968: him. 900-901).
[10] Memang ini bukan satu-satunya penjelasan mengenai alamat Surat Ibrani. Tetapi, tidak mungkin surat itu dikirim kepada masyarakat yang tidak mempunyai pengetahuan tentang hukum-hukum upacara Perjanjian Lama dan tidak mempunyai alasan untuk memperhatikan upacara-upacara itu.
[11] Perikop ini dan yang berikutnya sering dianggap membuktikan pendapat yang berlawanan dengan pendapat di atas. Galatia 3:23 sering dikutip untuk mendukung pemisahan antara hukum dengan anugerah. Tetapi, keselamatan atas dasar ketaatan terhadap Taurat tidak pernah diajarkan dalam Perjanjian Lama. Yesus dan para rasul - termasuk Paulus - yang semuanya orang Yahudi, tidak pernah mengajarkan demikian.
[12] Montefiore dan Loewe (1974: ps 3). Doa-doa dikutip dari Siddur Avodat Israel. "Kesaksian sehari-hari" ialah deklamasi Syema (Ul 6:4-5) yang dikutip setiap hari oleh orang Yahudi yang saleh.
[13] Mulai dari zaman Klemens dari Aleksandria (150-215 M) dan Origenes (185-254 M) sampai masa kini. Dalam menafsirkan Kitab Kejadian Luther pun memakai tipologi yang fantastis.
[14] Lambang atau simbol dapat bersifat verbal, misalnya kata "salib" membuat kita membayangkan gambar salib. Bahasa dalam arti tertentu adalah lambang. Orang dapat menerjemahkan sesuatu dari satu bahasa ke dalam bahasa lain dengan memakai lambang-lambang yang berbeda tetapi menyampaikan gagasan yang sama.
[15] Yun. tupos 'tanda, bentuk, contoh, gambar, pola' (lihat Kis 7:44; Rm 5:14; Ibr 8:5).
[16] Ini tidak berarti bahwa setiap rincian tentang Kemah Suci melambangkan sesuatu yang berkenaan dengan pribadi atau karya Kristus. Lihat LaSor (1967).
[17] Untuk penelitian yang saksama, lihat Abba (1962). Menurut teori Wellhausen pemisahan imam dengan orang Lewi terjadi sesudah pembuangan, dan segala upacara yang digambarkan dalam Kitab Imamat dibuat dalam agama Yahudi sesudah masa pembuangan. Abba menunjukkan bahwa kumpulan hukum imamat berasal dari masa sebelum pembuangan bahkan sebelum penulis Kitab Ulangan. Nilai historisnya cukup kuat dan diterima oleh banyak ahli. Lihat Hubbard (1980) untuk penilaian atas hasil rekonstruksi Wellhausen.
[18] Istilah kohen 'imam' terdapat 730 kali, lewi 'orang Lewi' 40 kali, bentuk jamak 'orang-orang Lewi' 250 kali. Sering sebutan "orang-orang Lewi" hanya merupakan nama suku, tanpa acuan pada tugas mereka di kemah suci.
[19] Untuk keterangan mengenai peranan Israel sebagai kerajaan imam, lihat Lacocque (1979).
[20] Dalam bahasa Ibrani kata gedesyim 'laki-laki yang dikuduskan' (1 Raj 15:12) dan gedesyot 'perempuan yang dikuduskan' (Hos 4:14; bnd. Kej 38:21-22), berarti 'kain pelacur bakti'.
[21] Sekalipun menurut beberapa metode filologis cara yang dipakai di atas tidak benar, namun itulah satu-satunya cara untuk menetapkan definisi yang betul terhadap konsep-konsep yang ada dalam Alkitab. Kata harus dimengerti sesuai dengan maksud pemakainya. Dalam segala ilmu, kata-kata tertentu mempunyai arti khusus dalam ilmu yang bersangkutan. Hal itu sering diabaikan oleh para ahli Alkitab.
[22] Beberapa ahli menyangkal bahwa kipper berhubungan dengan kafar 'menutupi'. Kata kipper dianggap sebagai suatu akar kata tersendiri, yang berarti 'menyenangkan hati Allah'.  Tetapi sulit untuk mendukung gagasan 'menyenangkan hati Allah' dalam Kitab Imamat atau dalam bagian Perjanjian Lama lainnya, walaupun gagasan tersebut sering terdapat dalam studi terhadap agama-agama lain di luar Israel. Mengenai pendamaian, lihat Morris 1980.
[23] Ungkapan la'aza zel secara harfiah berarti 'orang yang melepas kambing kepada Azazel atau 'penghancuran'.
[24] Baik Yeremia maupun Yehezkiel berbicara tentang kegagalan yang berkepanjangan itu.
[25] Ada 24 kutipan dari Kitab Imamat, menurut Aland (1968: him. 900-901).
[26] Memang ini bukan satu-satunya penjelasan mengenai alamat Surat Ibrani. Tetapi, tidak mungkin surat itu dikirim kepada masyarakat yang tidak mempunyai pengetahuan tentang hukum-hukum upacara Perjanjian Lama dan tidak mempunyai alasan untuk memperhatikan upacara-upacara itu.
[27] Perikop ini dan yang berikutnya sering dianggap membuktikan pendapat yang berlawanan dengan pendapat di atas. Galatia 3:23 sering dikutip untuk mendukung pemisahan antara hukum dengan anugerah. Tetapi, keselamatan atas dasar ketaatan terhadap Taurat tidak pernah diajarkan dalam Perjanjian Lama. Yesus dan para rasul - termasuk Paulus - yang semuanya orang Yahudi, tidak pernah mengajarkan demikian.
[28] Montefiore dan Loewe (1974: ps 3). Doa-doa dikutip dari Siddur Avodat Israel. "Kesaksian sehari-hari" ialah deklamasi Syema (Ul 6:4-5) yang dikutip setiap hari oleh orang Yahudi yang saleh.
[29] Mulai dari zaman Klemens dari Aleksandria (150-215 M) dan Origenes (185-254 M) sampai masa kini. Dalam menafsirkan Kitab Kejadian Luther pun memakai tipologi yang fantastis.
[30] Lambang atau simbol dapat bersifat verbal, misalnya kata "salib" membuat kita membayangkan gambar salib. Bahasa dalam arti tertentu adalah lambang. Orang dapat menerjemahkan sesuatu dari satu bahasa ke dalam bahasa lain dengan memakai lambang-lambang yang berbeda tetapi menyampaikan gagasan yang sama.
[31] Yun. tupos 'tanda, bentuk, contoh, gambar, pola' (lihat Kis 7:44; Rm 5:14; Ibr 8:5).
[32] Ini tidak berarti bahwa setiap rincian tentang Kemah Suci melambangkan sesuatu yang berkenaan dengan pribadi atau karya Kristus. Lihat LaSor (1967).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar